Kitab

Menziarahi Peradaban Sarung, Santri yang Terus Bergerak

Hari Santri 2019

Peradaban Sarung dua kata ini identik dengan santri, kiai dan pesantren, kalau kita membaca literasi-literasi tentang santri, santri didefinisikan oleh non-santri yaitu Snouck Hurgronje (1857-1936) seorang orientalis dan sekaligus penasihat Hindia-Belanda yang mengasosiasikan kata ‘santri’ dengan hal-hal yang kurang apik yaitu orang yang mulutnya bau rokok, sarungnya tidak rapi, dan mempunyai penyakit kulit. Clifford Geertz (1926-2006) dalam bukunya ‘The Religion of Java’ menglasifikasi struktur sosial penduduk Indonesia menjadi tiga yaitu santri (manifestasi keagamaan sesuai dengan kaidah Islam tekstual), priyayi (para birokrat manifestasi relijiusitas yang eklektik dengan hindu) dan abangan (manifestasi relijiusitas eklektik animistik).

Sampai pada suatu saat santri didefinisikan oleh seorang santri itu sendiri yaitu Zamakhsari Dhofir (1983) melalui bukunya “Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai” yang menyatakan bahwa santri adalah seorang yang mencari ilmu agama kepada seorang kiai dan tinggal di pondok pesantren. Gus dhofir (juga seorang santri) dalam bukunya peradaban sarung (2018) juga mendefinisikan santri diadaptasi dari tradisi cantrik Hindu “shastri” yang berarti orang yang mempelajari shastra (kitab suci). Jika kita mencari makna filosofi santri bisa kita dilihat dari huruf arabnya yaitu terdiri dari huruf Sin, Nun, Ta’, Ra’ dan Ya’ apakah maknanya?

Sin artinya salik ilal akhirah (menempuh jalan spiritual menuju akhirat), Nun berarti Na-ib ‘anil-masyayikh (penerus para guru), Ta’ maksudnya Tarik ‘anil-Ma’ashi (meninggalkan maksiat), Ro’ akronim dari Raghib Ilal Khayr (selalu menghasrati kebaikan), Ya’ adalah singkatan dari Yarjus-Salamah (optimis terhadap keselamatan). Yang berarti santri adalah orang-orang yang mempunyai lima sifat tersebut di atas, jika anda tidak pernah mondok di pesantren tapi anda mempunyai lima prinsip tersebut di atas berarti anda juga masuk dalam  kategori seorang santri.

Baca Juga:  Digelar, Workshop Literasi Milenial bagi Santri dan Mahasiswa

Gus Dhofir secara epic menjelaskan istilah yang sudah familiar di telinga kita tentang ucapan dari Julius Caesar (100-44 SM) ketika orasi di hadapan siding senat Romawi tahun 47 SM yang menggambarkan kemenangannya atas Pharnaces II dari Pontus dalam pertempuran Zela yang dahsyat yaitu veni, vidi, vici yang berarti saya datang, saya melihat dan saya menaklukkan. Istilah tersebut diadopsi oleh beliau menjadi veni, visi, santri yang berarti saya datang, saya melihat dan saya menjadi santri.

Dalam buku tersebut juga dijelaskan tentang konsep panca kesadaran santri karya KH. Mun’im pendiri Pesantren Nurul Jadid Paiton-Probolinggo yaitu 1) kesadaran beragama, 2) kesadaran berilmu, 3) kesadaran berorganisasi, 4) kesadaran bermasyarakat, 5) kesadaran berbangsa dan bernegara. Yang berarti santri harus mempunyai lima kesadaran tersebut sebagai pedoman hidupnya.

Jika kita menziarahi dari bab ke bab dalam buku ini (peradaban sarung) kita akan melihat tiga hal, pertama mapping santri dalam era yang serba instan, kedua keberadaan posisi santri di era disrupsi dan revolusi industry 4.0 dan yang terakhir apa yang harus dilakukan oleh seorang santri.  Santri menjadi bagian dari warga negara Indonesia yang mulai dari zaman kemerdekaan menjadi garda terdepan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dengan pengorbanan darah, air mata bahkan nyawa.

Fatwa resolusi jihad 22 Oktober “berjihad mempertahankan tanah air hukumnya fardu ain (wajib)” menjadi bukti  kongkret bagaimana nasionalisme kaum sarungan, walaupun setelah Indonesia merdeka para santri dan kiai disingkirkan dari sejarah, dipinggirkan jasanya dan ditutup aksesnya oleh pemerintah, tapi para santri dan kiai tetap taat kepada pemerintah, mereka memilih hidup damai di pedesaan-pedesaan di pegunungan dan di tempat-tempat jauh dan terpencil lainnya, dengan rafalan ribuan doa agar negeri ini menjadi negeri yang baldatun tayyibatun warabbun ghafur, mereka tidak pernah berfikir untuk membrontak dan tetap taat kepada pemerintah.

Baca Juga:  Seperti Kamus Berjalan, Mengenal Abah Achmad Zuhdy

Ketika pemerintah mengkampanyekan pendidikan modern yang mahal, para kiai dan santri tetap istikamah dengan mengajarkan ilmu agama dan pendidikan karakter kepada kaum lemah dengan fasilitas seadanya bahkan gratis. Ketika banyak ideologi trans-nasional mengancam republik ini, para kiai dan santri menjadi garda terdepan dalam menjaga ideologi Pancasila, karena menurut para kiai dan santri mencintai tanah (tempat bersujud) dan air (alat untuk bersuci) adalah bagian dari iman.

Di buku gus dhofir ini juga dijelaskan juga tentang rahasia belajar para santri yaitu belajar dari pengalaman keseharian, tantangan sebagai semangat belajar dan keteladanan. Yang penting dijelaskan dalam buku ini juga adalah tentang tradisi santri sowan (silaturrahim ke rumah kiai) dan cium tangan kiai sebagai rasa tawadhu (rendah hati) santri kepada sang pengukir jiwa agar mendapatkan keberkahan (bertambahnya kebaikan). Selanjutnya tentang Trilogi Santri, yaitu 1) memperhatikan kewajiban personal (fardu ain), 2) mawas diri dengan meninggalkan dosa-dosa besar dan 3) berbudi luhur kepada Allah dan mahluknya.

Sesuatu yang menarik dalam buku ini, meminjam istilah Gus Baha “ini penting saya utarakan” adalah cara merespon  permasalahan yang datang yaitu bagaimana cara kita mensikapinya, lalu tentang konsep kebahagiaan, apakah kebahagiaan itu tegantung dari orang di luar kita atau tergantung dari diri kita sendiri? Gus Dhofir memberi tips semua kembali kepada diri sendiri, caranya bagaimana? Lakukan perjalanan dalam diri (inner journey) temukan dan cintai, panjatlah sampai ke puncak paling pahit, selamilah ke dasar paling sakit, jangan biarkan orang lain memiliki diri anda, supaya antara anda dan Tuhan tidak ada rahasia.

Saya jadi teringat sebuah puisi indah yang berjudul “Hasrat Mengubah Dunia” yang terpasang di sebuah makam Epitaph di Westminter Abbey-Inggris (1100 M) :

Baca Juga:  Gus Mus dan Umi Kultsum tentang Kultur Musik Kaum Santri

“Hasrat Mengubah Dunia”

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal

Aku bermimpi ingin mengubah dunia

Seiring bertambahnya usia dan kearifanku,

Kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah

Maka cita-citaku itu pun kupersempit,

Lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku.

Namun nampaknya,

Hasrat itupun tiada hasilnya

Kala usiaku telah kian senja

Dengan semangatku yang masih tersisa

Kuputuskan untuk mengubah keluargaku

Orang-orang yang paling dekat denganku

Tapi celakanya

Merekapun tidak mau berubah!

Dan kini,

Sementara aku berbaring saat ajal menjelang,

Tiba-tiba kusadari

“Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku

maka dengan menjadikan diriku panutan,

mungkin aku bisa mengubah keluargaku,

lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka,

bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku,

kemudian siapa tahu, aku bahkan bisa mengubah dunia”.

Wallahu a’lam bishawab.

Abdulloh Hamid
Co-Founder Pesantren.id, founder Dunia Santri Community, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di pengurus pusat asosiasi pesantren NU (RMI PBNU)

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Kitab