Mempelajari fikih tentu harus melewati tahapan yang berjenjang sebagaimana yang diajarkan di pesantren di Indonesia. Terlebih dulu kita dikenalkan dasar fikih madzhab Syafi’I dengan kitab taqrib karya Abu Syuja’ al-Asfihani yang sangat tipis. Kemudian, setelah itu kita mempelajari kitab Fathul Qarib karya Ibnu Qasim al-Ghazi yang merupakan syarh (komentar) atas kitab taqrib. Setelah itu, kita mendalami kitab Hasyiyah Baijuri yang merupakah penjelasan lanjutan dari kitab Fathul Qarib.

Tujuan tradisi pengajaran yang berjenjang ini adalah untuk menekankan pemahaman yang kokoh sedikit demi sedikit kepada para pelajar. Sebagaimana seorang pemula yang dilatih untuk berenang di tepian lautan kemudian sedikit demi sedikit diajak menyelam lebih dalam ke tengah lautan.

Dalam penulisan kitab salaf, ada beberapa istilah yaitu kitab matan (kitab yang dijadikan patokan), kitab syarh (kitab yang berisi catatan atas kitab matan tertentu), kitab hasyiyah (kitab yang berisi catatan atas kitab syarh tertentu), dan hawasyi (kitab yang berisi kumpulan hasyiyah yang dijadikan satu judul kitab). Dan kitab Hasyiyah Baijuri ini adalah kitab berisi catatan atas kitab syarh Fathul Qarib atas kitab matan Ghayah at-Taqrib.

Kitab monumental ini ditulis oleh syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Baijuri yang dilahirkan di desa Baijur, daerah Manufia pada tahun 1198 H. Beliau seorang ulama bermadzhab Syafi’I yang memulai pendidikannya di Universitas Al Azhar di Kairo pada tahun 1212 H.

Beliau sempat mengungsi di provinsi Giza selama tiga tahun (1213 H – 1216 H) karena adanya penjajahan perancis dan kondisi kota Kairo yang tidak kondusif saat itu. Kemudian, diakhir tahun 1216 H, syeikh Ibrahim al-Baijuri kembali ke kota Kairo untuk belajar kepada syeikh Abdullah bin Hijazi (Grand Syeikh Azhar ke-12) dan syeikh Hasan bin Darwish al-Quwaishini (Grand Syeikh Azhar ke-17) yang merupakan dua pakar besar madzhab Syafi’I terkenal di zamannya. Selain itu, beliau juga belajar fikih madzhab Maliki kepada syeikh Muhammad bin Muhammad al-Maliki yang berjuluk al-Amir al-Kabir (pemimpin besar) karena kepakarannya dalam fikih madzhab Maliki.

Baca Juga:  Covid-19 di Pesantren (5): Berlaku Moderat di Masa Pandemi

Syeikh Ibrahim al-Baijuri pada akhirnya menjabat sebagai Grand Syeikh Azhar yang ke-19 menggantikan syeikh Abdul Jawwad as-Safthi yang wafat sebelumnya. Diantara keputusannya yang sangat terkenal adalah menetapkan empat wakil untuk membantu tugas Grand Syeikh Azhar memimpin Al Azhar Al Syarif sebagai lembaga pendidikan juga rujukan fatwa dalam dunia islam. Syeikh Ibrahim al-Baijuri wafat di waktu shubuh hari kamis pada tanggal 28 Dzul Qa’dah pada tahun 1276 Hijriah. .(lihat kitab Juhud asy-Syeikh Ibrahim al-Baijuri fi Khidmah al-Madzhab asy-Syafi’I karya Dr. Ali Zainal Abidin al-Husaini)

Dalam tulisan ini, kita akan mengulas kelebihan metode penulisan syeikh Ibrahim al-Baijuri dalam kitab Hasyiyah Baijuri, yaitu:

1.Beliau menampilkan pendapat ar-Rafi’I dan an-Nawawi kemudian beliau mengunggulkan salah satu pendapat dari keduanya yang menurut beliau paling tepat. Misal contoh, apakah menghilangkan najis termasuk fardhunya mandi wajib? Disini ar-Rafi’I menyatakan termasuk fardhunya mandi wajib, sedangkan an-Nawawi menyatakan tidak. Maka, al-Baijuri mengunggulkan pendapat an-Nawawi.

2.Beliau menampilkan pendapat ar-Ramli dan Ibnu Hajar al-Haitami dan pada banyak permasalahan beliau lebih mengunggulkan pendapat ar-Ramli. Akan tetapi, di sebagian permasalahan beliau lebih mengunggulkan pendapat Ibnu Hajar. Misal contoh, apabila seseorang wudhu kemudian batal wudhunya kemudian mandi besar, apakah dia disunnahkan untuk wudhu lagi sebelum memulai mandi besar? Menurut Ibnu Hajar disunnahkan, menurut ar-Ramli tidak disunnahkan dan dalam hal ini al-Baijuri mengunggulkan pendapat Ibnu Hajar.

3.Beliau konsisten menampilkan pendapat yang mu’tamad (paling kukuh) meskipun bertentangan dengan pendapat Ibnu Qasim al-Ghazi, penulis fathul qarib. Misal contoh, menurut Ibnu Qasim al-Ghazi, membaca tasbih secara mutlak ketika imam lupa melakukan rukun sholat tidak batal. Akan tetapi, menurut pendapat mu’tamad hal ini membatalkan sholat karena membaca tasbih harus ada niatan mengingatkan imam dan sejenisnya.

Baca Juga:  Hari Santri, Dokter Santri dan Tantangan Menyambut Serangan Covid Gelombang Ke-3 bagi Dunia Pesantren Kita

4.Beliau menampilkan pendapat yang di luar madzhab Syafi’I. Misal contoh, beliau menampilkan pendapat madzhab Hanafi yang membolehkan memakai bejana emas atau perak yang khusus dipakai untuk memasak kopi.

5.Beliau memilih pendapat lain dibandingkan pendapat mu’tamad karena melihat kondisi yang ada di zamannya. Misal contoh, menurut pendapat mu’tamad diperbolehkan melihat wajah perempuan karena wajah bukan termasuk aurot. Akan tetapi, beliau memilih pendapat yang mengharamkan karena di zamannya banyak perempuan yang membuka wajah di tempat umum.

6. Beliau menampilkan redaksi Hadits dan al-Qur’an sebagai rujukan dalil sebagian hukum madzhab Syafi’I secara ringkas.

7. Beliau membahas etimologi istilah dalam madzhab Syafi’I lengkap dengan syi’ir arab sebagai landasan tatabahasa arab.

Kitab Hasyiyah Baijuri ini selesai ditulis setelah shalat dzuhur di hari rabu bulan Jumadil Akhir tahun 1258 Hijriah. Syeikh Ibrahim al-Baijuri menulis sebagian kitab ini di kota Makkah dan sebagian lagi di kota Madinah. Kitab Hasyiyah Baijuri mendapatkan banyak pujian diantara para ulama. Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas dalam kitab Tadzkir an-Nas mengatakan “Para ulama salaf kami mengatakan, orang yang membaca kitab hasyiyah sebelum memahami kitab matan pasti tidak akan meraih apapun kecuali kitab Hasyiyah Baijuri karena kitab ini selaras pembahasannya dengan kitab matan-nya”.

Adapun kecondongan beliau terhadap mendapat imam ar-ramli dapat dimaklumi karena ketersambungan sanad keilmuan beliau dengan ar-ramli melalui guru-gurunya di Mesir. Syeikh Muhammad Sulaiman al-Kurdi dalam kitab Fawaid al-Madaniyah mengatakan “Telah menjadi kesepakatan dan perjanjian diantara para ulama Mesir untuk tidak berfatwa kecuali memakai pendapat imam ar-Ramli kecuali syeikh Ibrahim al-Baijuri yang mengunggulkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam sebagian permasalahan”.
Dari tulisan ini dapat diambil beberapa poin penting, yaitu:

Baca Juga:  Wajah Baru Pesantren, Mencetak Santri Millenial

1.Dalam mempelajari fikih madzhab Syafi’I hendaknya memulai dari kitab yang paling dasar seperti kitab matan Ghayah at-Taqrib karya syeikh Abu Syuja’ Ahmad bin Hasan al-Asfihani. Kemudian, mempelajari kitab syarh Fathul Qarib karya syeikh Ibnu Qasim al-Ghazi. Dan dilanjutkan dengan mempelajari kitab Hasyiyah Baijuri karya syeikh Ibrahim al-Baijuri.
2.Kitab Hasyiyah Baijuri karya syeikh Ibrahim al-Baijuri sangat direkomendasikan untuk para pelajar yang ingin mempelajari pendapat ar-Ramli dalam fikih madzhab Syafi’i. Adapun bila ingin mendalami pendapat Ibnu Hajar al-Haitami maka dianjurkan memakai kitab Fathul Muin karya syeikh Zainuddin al-Malibari.

Muhammad Tholhah al Fayyadl
Mahasiswa Jurusan Ushuluddin Univ. Al-Azhar Kairo, dan Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri Jatim

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kitab