Mengapa Tidak Saling Menerima Saja

Manusia yang sebenarnya telah  dianugerahi akal  yang jernih dan nurani yang bening, pada kenyataannya kerap diliputi perasaan cemas dan galau dalam menjalani kehidupan. Kehidupan yang semestinya menjadi titik segala kebahagiaan, terkadang malah menjadi pemicu kegalauan tatkala manusia kesulitan memecahkan masalah yang  dihadapinya. Tak ayal bila kedapatan sebagian dari manusia justru berlaku di luar nurani dan akal sehatnya. Betapa banyak kasus bunuh diri, pemerkosaan, perampokan, bahkan diskriminasi atas nama apapun dilakukan oleh manusia yang dalam hal ini gagal mendarmabaktikan akal dan nuraninya tersebut.

Salah satu problem kehidupan manusia muncul dalam hubungan wilayah sosial. Manusia yang telah jamak dimafhumi sebagai makhluk sosial, tentu dalam berlaku atau istilah kerennya bergaul dengan manusia lain, tak melulu berjalan mulus tanpa hambatan. Seringkali terjadi gesekan- gesekan  yang  menggores  perasaan  satu  sama  lain,  sehingga  tak  elak  hal  demikian  kerap menyulut api kegalauan. Persinggungan antar-individu kerap menjadi api penyulut terjadinya pertengkaran dan kemarahan. Lebih jauh daripada itu, di Indonesia bila kita saksikan di tahun sebelum reformasi ke belakang, perang antar suku Dayak dan Madura begitu mengerikan. Atas nama etnisitas, mereka bersikeras menganggap etnis selain sebagai ‘pembawa masalah’ untuk tidak mengatakan sebagai ‘perusak’.

Tapi sebenarnya akan elok kedengarannya bilamana manusia bisa menjalin hubungan yang harmonis bersama manusia lain sehingga mengantarkan  manusia  ke garda harmonisasi sosial. Namun untuk melangkah ke sana, tentu ada momen-momen di mana perlu untuk diperhatikan. Salah satunya  yakni  momen  untuk  saling  mengerti  dan  memahami  perasaan satu sama lain. Hal semacam ini menjadi penting karena norma antar-manusia yang dilahirkan di suku yang berbeda akan memiliki kesopansantunannya yang berbeda pula.

Baca Juga:  Saya Siap Menjadi Kaya, Saya Bersedia Menjadi Manusia, Saya Bangga Menjadi Indonesia

Namun yang menjadi masalah berikutnya ialah manusia adalah makhluk yang ringkih dan riskan terhadap perasaan, terkadang mereka lebih memilih melarikan diri dan memilih jalan lain sebab tak kuat menanggung beban perasaan. Lebih jauh dari itu bahkan acap kali terjadi anomali dalam realita kehidupan dan mencari-cari alasan guna membenarkan yang ia lakukan, kendati sebenarnya yang langkah yang ia ambil tak lain hanya sebatas pembenaran dari kesalahannya semata.

Berselisih, saling menyangka-buruk, bertikai hingga terjadi permusuhan kerap mewarnai lanskap hubungan sosial. Pertanyaannya, Mengapa itu semua terjadi? Mengapa tidak memilih berdamai saja? Bukankah menerima dia, mereka atau siapa pun yang lain dengan lapang hati dan besar dada adalah satu jalan arif?

Tapi begitulah, dalam berlaku sosial yang kurang dibarengi sikap saling mengerti itu tadi, mereka lalu intimidasi, diskriminasi dan membenci satu dan yang lain. Tidak mau saling memahami dan mengerti. Kalimat tersebut memiliki kontras yang arif dan bijak. Apalagi sebagai manusia. Kalimat itu bersifat dialogis yang artinya bukan hanya satu individu yang melakukan, melainkan jalinan kedua belah pihak yang melakoni. Sama-sama mengerti satu sama lainnya. Rasa saling mengerti sepantasnya tidak boleh hilang dalam kehidupan manusia, Karena itulah aset istimewa yang mampu menormalkan dan mengharmoniskan kehidupan sosial manusia.

Mari sejenak kita beranjak dan menilik kembali adagium arab yang masyhur, yakni “Barang siapa yang menanam tentulah ia yang akan menuai”. Nasihat ini cocok dan pas untuk kita tarik garis lurus perihal memahami perasaan orang lain. Dengan artian, adagium tersebut mengingatkan kita bahwasanya ketika kita mau mengerti perasaan orang lain, tentu orang lain pun akan berlaku demikian. Dan tidak menutup kemungkinan dengan alasan peluang. Semakin banyak yang ditanam, tentu akan semakin banyak peluang hasil yang tidak melesat jauh dari harapan. Semakin kita sadar dan berani memulai untuk memperhatikan perasaan orang lain, tak jauh-jauh harapan kitapun berpeluang demikian.

Baca Juga:  Belajar Menjadi Manusia Seutuhnya dari Saadi Shirazi

Dalam hubungan pertemanan misalnya: sudah tentu saya, anda, dan kita semua ingin dimengerti, dipahami oleh teman kita. Namun terlepas dari itu, pertanyaannya kembali ke diri kita sendiri, sudahkan kita mengerti teman kita jua? Haruskah melulu teman kita mengikuti apa yang kita mau tanpa pertimbangan efek dari apa yang kita perbuat itu? Mengapa kita selalu menuntut teman kita musti se-ideal sebagaimana yang terpapar dimata kita. [HW]

Tri Faizah
Penulis adalah Mahasiswa UIN Raden Intan Lampung Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir sekaligus Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan Lampung.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini