saya-siap-menjadi-kaya-saya-bersedia-menjadi-manusia-saya-bangga-menjadi-indonesia

Menjadi kaya, Anda tahu, seringkali lebih mudah dari yang Anda perkirakan. Banyak orang yang mendadak kaya, entah karena warisan, menang lotre, undian, menjadi selebgram musiman, sosialita karbitan pemenang pencarian bakat, menjadi dukun tiban atau mendapat gusuran, tetapi mendadak miskin hanya dalam hitungan pekan. Saat ini, televisi dan media sosial sangat memungkinkan yang serba dadakan itu.

Bandingkan, misalnya, dengan pengusaha tulen yang jatuh-bangun bangkrut-bangkit sampai sekian kali, tapi kemudian memiliki ketahanan ekonomi dan pohon uang yang panen tujuh turunan. Kekayaan ekonomi dan ketahanan uang mereka bukan dengan menumpuk materi dan menimbun aset dalam jumlah banyak, tapi dengan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar, entah itu berbasis online atau kerja-kerja tradisional lainnya.

Melalui merekalah barang dan jasa menembus sekat-sekat suku dan daerah, sampai ke sisi-sisi terluar Indonesia dan bahkan ujung dunia. Jasa para pekerja (yang disediakan para pengusaha) inilah yang menarik dan memutar roda keuangan sampai ke tingkat paling bawah. Dengan cara inilah ketangguhan ekonomi dan ketahanan moneter dibangun, bukan simsalabim abracadabra.

Satu hal yang Anda butuhkan untuk menjadi kaya dalam segala hal, materi dan non materi, kaya gagasan, mental yang kuat serta kaya hati dan lapang dada, yakni kata “siap”. Jika Anda siap menerima sesuatu, maka sesuatu itu akan datang. Hal ini tidak lantas berarti yang kita butuhkan itu akan muncul tanpa alasan, karena jelas ada perbedaan mendasar antara “kebutuhan” dengan “kesiapan” menjadi kaya. Jika perbedaan ini tidak dipahami dengan seksama, jelas tulisan ini tidak akan membawa perubahan apa-apa bagi Anda.

Memang, tak ada kemajuan yang instan. Karbitan adalah kematangan palsu. Belum lagi watak dasariah manusia yang enggan legowo menerima ide-ide baru. Mau bukti?

Baca Juga:  Rasa Inferioritas dan Superioritas Manusia

Nikola Tesla dan Thomas A Edison selama lebih kurang 2 tahun menjadi bahan ejekan semua kalangan dengan temuan generator listrik dan bola lampu pijarnya. Penemu kendaraan otomotif pertama ini merasakan pengalaman yang lebih buruk ketika menawarkan kepada dunia sebuah kendaraan otomatis pengganti kuda. Sudah cukup?

Ketika Samuel Morse mengemukakan sistem komunikasi melalui telegraf, tak hanya keluarga dan lingkungan, bahkan dunia mengecamnya. Mengapa? Karena sistem telegraf temuannya dianggap baru dan tidak ortodoks, menyalahi kemapanan, dan karenanya menjadi obyek sinisme dan kecaman semua kalangan, bahkan pihak gereja. Selesai? Tidak, Kak!

Dunia mengutuk Guglielmo Marconi ketika memproklamirkan kesempurnaan sistem Morse yang dikembangkannya lebih jauh, yakni sistem komunikasi nirkabel alias radio. Ada lagi?

Begitu Wilber dan Orville Wright mengumumkan penerbangan mesin terbang praktis, dunia tak begitu antusias dan apalagi terkesan, sehingga wartawan surat kabarpun menolak untuk menyaksikan dan memberitakan demonstrasi mesin terbang itu. Mengapa? “Tak akan sehebat balon udara!” kata mereka yang sinis.

Pada gilirannya, radio modern ditemukan, manusia tak lagi tersekat oleh jarak, lantas televisi, disusul komputer, dibuntuti oleh internet, rekayasa DNA dan ragam kecerdasan artifisial lainnya. Benak yang “tidak siap” akan menganggap temuan-temuan hebat itu sekadar mainan anak-anak, bukan karya monumental sebagai sumbangsih untuk kemanusiaan.

Demikian, setiap merancang dan berkomitmen meraih kemajuan, alih-alih hanya orang lain, bahkan diri kita sendiripun menolak. Diri yang mana? Tentu saja “diri yang lama” yang belum siap bertemu dan digantikan “diri yang baru”. Nah, siapkah diri Anda yang lama yang kerdil, dangkal, tertutup dan miskin untuk digantikan oleh diri yang baru yang gagah, elegan, terbuka, menerima kemajuan dan kaya-raya? Berani?

Baca Juga:  TUNAS GUSDURian 2022 Hasilkan Lima Poin Resolusi dan Rekomendasi untuk Indonesia

Well, jika berani mari kita naikkan level tantangan untuk bersedia menjadi manusia. Bagaimana caranya?. [HW]

(bersambung)

Ach Dhofir Zuhry
Alumni PP Nurul Jadid Paiton, Penulis Buku Peradaban Sarung, Kondom Gergaji dan Mari Menjadi Gila, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Penasehat Dunia Santri Community dan pengampu kajian Tafsir Tematik NUonline tiap ahad sore 16.30 WIB

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini