New Normal Kacamata Maqasid Syariah

Melihat kata new normal sendiri, kita masih dibingungkan dengan pemberian pemahaman terhadapnya yang banyak beredar akhir-akhir ini. Pasalnya, pemahaman teks tersebut bisa dipahami sebaliknya yaitu, malah tidak normal, karena fakta empirik di negara ini masih tergolong jauh dengan new normal sendiri, artinya kondisi sekarang bisa dikatakan belum normal keadaannya dari virus corona atau yang biasa disebut COVID-19. Oleh sebab itu, menuju new normal harus dimulai dari pemahaman yang normal. Akan tetapi, disini tidak akan membahas dan memperdebatkan arti dari kata “new normal”. Lha terus mau bicara apa?. Tunggu dulu, jangan terburu-buru untuk semangat membaca layaknya baca chat-nya doi yang baru masuk di akun media sosial. Siapkan segelas kopi atau teh, dan nikmati seruputannya sambil baca tulisan yang tak panjang, namun akan ada ilmu datang tanpa diundang. Baik.

New Normal, disini kita artikan sebagai kenormalan baru, atau dimulainya kehidupan normal setelah sebelumnya kurang atau tidak normal, bisa dikatakan manusia sudah bisa beradaptasi dan berdampingan dengan virus corona.

Kehidupan normal dalam Islam bisa dengan terhindarnya seseorang dari situasi bahaya atau darurat. Dalam akidah atau kaidah fikih, menolak kerusakan atau kerugian itu lebih diutamakan atas upaya menarik keuntungan atau kebaikan (daf’ul mafasid muqoddam ‘ala jalbil masholih). Untuk itu dalam aspek ajaran Islam menekankan kepada pencegahan melalui konsep bersuci (thaharah), dan konsep ini hampir di semua literatur Islam (cabang ilmu fikih) berada di awal bab. Disinilah mengapa suci dan pola hidup bersih nan sehat itu sangat perlu dan penting.

Mari kita kupas sedikit kaidah ini.

Dar’ul mafaasid muqoddam ala jalbil masholih (دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح).

“Menolak mafsadah (kerusakan), lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan.”

Meski pemerintah sudah menetapkan dan memperbolehkan aktivitas umum layaknya sebelum pandemi terjadi, seperti membuka rumah ibadah, perkantoran, sekolah, pesantren, dan tempat lain yang bersifat terjadinya perkumpulan banyak orang, semuanya itu belum bisa dikatakan kondisi kembali normal sebagaimana kata new normal di atas. Mengapa?, karena hal ini perlu penelitian lebih lanjut lagi, dan tidak serta merta langsung kita ikuti. Mafsadah/kerusakan berupa dikhawatirkan adanya seseorang yang tertular atau menulari yang lainnya lebih menjadi pertimbangan yang harus didahulukan.

Baca Juga:  Diskursus Dalam Memahami Virus Covid-19

Bagi daerah yang dinyatakan zona merah (terdapat kasus COVID), penerapan new normal ini perlu pengkajian lebih lanjut dengan melibatkan para tenaga ahli dibidangnya masing-masing, baik medis maupun non medis. Sebagai contoh adalah salat jumat di masjid. Daerah yang terdampak COVID atau dinyatakan zona merah, dalam kondisi seperti ini harus lebih mendahulukan hifdz an-nafs (menjaga jiwa) sebagai pertimbangan atas dasar kemanusian untuk mencegah munculnya sebuah mafsadah atau kerugian, melihat salat berjamah di masjid atau tempat umum sangat riskan menularnya virus. Lantas bagaimana dengan kewajiban Salat Jumat?. Ibadah ini masih bisa di nego (tidak wajib melaksanakan salat jumat dan salat zuhur sebagai penggantinya), karena dalam kondisi darurat, kaidah الأمر إذا ضاق إتسع , yaitu “suatu perkara jika menjadi sempit, hukum yang ada akan menjadi luas”, boleh diterapkan dengan menggunakan keringanan berupa “takhfif ibdal” yaitu keringanan dengan mengganti, asalnya wajib jum’atan menjadi tidak wajib dan mengganti dengan salat zuhur. Walhasil, hukum yang ada dalam permasalahan ini bisa menjadi luas dan longgar. Adanya hukum tidak wajib jum’atan merupakan bukti dari pengembangan hukum sendiri melalui metode kontekstual dengan melihat kondisi. Maka, hukum yang ada bisa berubah melihat waktu, tempat, dan keadaan. Pernyataan ini sesuai kaidah تغير الأحكام بتغير الأزمان والأمكان والأحوال  .

Untuk daerah yang dinyatakan zona hijau, new normal mungkin bisa diterapkan dengan catatan harus melihat ketentuan yang ada dan menerapkan peraturan berupa protokol kesehatan pencegahan COVID yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini semata-mata untuk kewaspadaan bersama di masyarakat agar tidak terjadi kasus baru di daerah tersebut, juga lebih ke arah mencegah ketimbang harus mengobati, الدفع أولى من الرفع .

Kaidah ini merupakan bagian dari prinsip maqasid syariah (tujuan dibentuknya syariat) berupa hifdzun nafs (menjaga diri) yang mana dibangunnya syariat Islam ini berlandaskan kemaslahatan manusia.

Berarti new normal tidak normal dong, alias tidak usah dipakai.?

Tunggu dulu, jangan terburu-buru lagi memberi kesimpulan.

Baca Juga:  Salat Tarawih di Rumah; Hukum, Religiositas Familier dan Nilai Kepatuhan

Begini, meski sudah ada izin dari pemerintah pusat, wilayah, maupun daerah tentang diperbolehkannya membuka tempat umum, hal ini tidak boleh langsung diambil mudah dan enaknya. Untuk menerapkan new normal harus dikaji ulang dengan melibatkan para tenaga ahli yang lebih paham dang masalah ini (COVID-19), mungkin saja bisa diterapkan dengan batasan-batasan tertentu sesuai aturan mainnya.

Al-Amru Idza Ittasa’a Dhoqo/ الأمر إذا اتسع ضاق

(Suatu perkara yang menjadi longgar, hukumnya bisa sempit dan menjadi sempit).

Al-Amru Idza Ittasa’a

Dengan adanya new normal dan kondisi suatu tempat sudah bisa dikatakan lebih baik ketimbang sebelumnya, merupakan suatu kenikmatan tersendiri yang diberikan oleh Allah kepada hambanya. Dengan demikian, mereka bisa dikatakan mampu bersahabat dengan virus corona dan kompak untuk melawannya. Tetapi, sebagai manusia yang beriman tidak boleh bertakabur dengan kenikmatan tersebut. Dengan kata lain, tidak boleh menganggap remeh wabah Covid-19 yang masih ada sekarang ini. Pola kehidupan dengan mematuhi protokol kesehatan harus tetap dijalankan, agar kita semua dapat terhindar dari wabah penyakit. Amin.

Dhoqo

Jika masih dimungkinkan adanya bahaya atau mafsadah, maka hukum menjadi sempit, dalam hal ini yaitu penerapan new normal di tempat umum.

Merupakan keringanan jika pemerintah mengeluarkan perizinan bagi tempat-tempat umum untuk dibuka kembali dengan tetap memakai aturan protokol pencegahan. Tetapi, dalam kajian ilmu qowaid fiqhiyyah terdapat yang namanya “takhfif isqoth” yaitu, menggugurkan keringanan yang ada demi terjadinya kemaslahatan. Seperti menggugurkan kewajiban menunaikan ibadah haji, umrah dan salat jumat karena adanya uzur (halangan). Begitu juga dengan keringanan diperbolehkan membuka tempat umum seperti rumah ibadah dan lain-lain, boleh digugurkan terlebih dulu dengan alasan masih ada kekhawatiran terjadi kembali kasus baru. Sebagai contoh rumah ibadah di distrik pertambangan. Dokter menyarankan pengurus atau pengelola tempat tersebut untuk tidak membuka dan melaksanakan kegiatan dulu, karena secara medis masih sangat dimungkinkan terjadinya kasus positif lewat perkumpulan banyak orang, meskipun kasus positif corona sudah turun secara grafik, dan dianggap normal menurut banyak orang. Atas dasar ini, new normal yang ada harus ditahan dulu dengan tetap memberlakukan pembatasan-pembatasan yang mampu mengurangi terjadinya kasus baru, atau bisa juga dengan memberlakukan peraturan seperti tidak diperbolehkan mengadakan kegiatan yang melibatkan banyak orang. Disinilah letak hukum menjadi sempit karena adanya pertimbangan kemaslahatan bersama.

Baca Juga:  Syauqi Empat Belas Hari

Dari sini dapat kita ketahui bahwa suatu perkara yang masih berpotensi munculnya dharar (melakukan sesuatu yang membahayakan), secara syariat Islam dilarang. Maka, tidak halal bagi seorang muslim mengerjakan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri atau orang lain, saudaranya, orang-orang yang dekat dalam pergaulannya, baik berupa perkataan atau perbuatan, tanpa alasan yang benar.

Beberapa kaidah tadi sesuai dengan pemahaman Ulama dari mashdar at-tasyri’ yaitu:

  1. Al-Baqarah, ayat: 185

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”

  1. Al-Hajj, ayat: 78

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ

“Allah tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”

Hadis Nabi riwayat Imam Malik di dalam kitab Al-Muwattho’ No. 1424, 1461

عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى المَازِنِي عَنْ أَبِيْهِ عَنْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلَّمَ قَالَ : لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ . رواه مالك في الموطإ مرسلا.

“Dari Amr bin Yahya, dari bapaknya, dari Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “dilarang segala yang bahaya dan menimpakan bahaya.” (HR. Imam Ahmad)

Islam telah mengatur tatanan kehidupan manusia dengan normal untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Sehingga umat muslim akan terdorong untuk melakukan tindakan yang normal dan bermanfaat bagi orang lain. Perbuatan yang normal menjadi titik awal dimana masyarakat akan bangkit.

Maka dari itu, penerapan new normal dalam maqasid syariah bisa tercapai dengan memelihara agama, jiwa, keturunan, harta, akal, dan kehormatan. Semua itu sebagai kewajiban manusia menuju kehidupan new normal, dalam pandangan Islam. Wallahu A’lam. [HW]

Referensi:

  1. Al-Quran
  2. Al-Muwattha’ Karya Imam Malik
  3. I’lamul Muwaqqi’in an rabbil alamin, karya Ibnu Qayyim Al-Jauzi
  4. Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi
  5. Maqasid Asy-Syariah karya Umar Muhammad Jabah-ji
  6. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Juz 29
Badruzzaman
Santri Pesantren Maslakul Huda, Pati.

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. SAE Gus…

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini