Opini

Kembali ke Misi Utama Nabi Muhammad Saw

(Ilustrasi: Altundo.com)

Publik Indonesia kembali dikagetkan dengan peristiwa teror. Terbaru, salah satu menteri Presiden Jokowi, Wiranto, mendapat teror dari orang tak dikenal di daerah Pandeglang, Banten. Dilansir dari Kompas, Kapolsek Menes menjadi korban. Ia dilarikan ke puskemas setelah sadar bajunya memerah karena rembesan darah.

Pelaku teror tersebut akhirnya tertangkap. Dilansir dari Tempo, pelaku berinisial SA alias Abu Rara. Tak hanya sendiri, pelaku juga mengajak orang lain yaitu Fitria.

Tujuan dari pemberi teror adalah untuk menebar ketakutan dan kengerian seluas mungkin. Khususnya untuk mereka yang tidak sependapat atau tak mau tunduk dengan pemberi teror. Pemberi teror bisa berasal dari kalangan mana pun. Tidak peduli dia berasal dari suku apa, bahkan agama apa.

Bila pelaku teror berasal dari kalangan Islam, maka muncul beberapa pertanyaan. Dari mana ia mendapat doktrinasi kekerasan atas nama Islam. Atau dari siapa ia mengambil ilmu keagamaan. Namun sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin timbul, mari sejenak bertanya soal misi kenabian seorang Muhammad Saw.

Apa sebenarnya misi utama kenabian seorang Muhammad? Apakah Muhammad mendapat tugas mengislamkan orang seluruh dunia? Atau ada misi lain yang lebih mulia?

Nadirsyah Hosen dalam bukunya Tafsir Al-Qur’an di Medsos menjelaskan bahwa misi utama Nabi Saw. adalah menebar rahmat dan memperbaiki akhlak. Hal itu gamblang tertulis dalam al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 107 yang artinya “dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Selain itu Nabi Saw. juga menjelaskan dalam salah satu hadits yang terkenal “sesungguhnya aku diutus menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR Bukhari).

Perilaku yang santun, sikap welas asih serta peka terhadap masalah sosial hendaknya menjadi prinsip hidup umat Islam, sesuai misi utama Nabi Saw. Kesantunan perilaku membuat lingkungan sekitar menjadi aman dan tenteram. Sikap welas asih memunculkan kehidupan kemanusiaan yang harmonis.

Baca Juga:  PCI NU dan Muhammadiyah Inggris Kolaborasi Lawan Covid-19

Perilaku-perilaku diatas memang terkesan mudah secara teoritis. Gesekan dalam lingkungan sosial juga banyak dijumpai. Apalagi sekedar berbeda pendapat saja sudah mampu memunculkan gesekan. Pada tingkat eksterem, muncul konflik yang berujung kekerasan, bahkan teror.

Adanya perbedaan dalam kehidupan adalah keniscayaan. Quraish Shihab dalam Islam Yang Saya Anut menjelaskan bahwa sepeninggal Nabi Saw, para ulama sepakat bahwa ada potensi-potensi kesalahan dalam pendapat mereka. Hal demikian muncul karena tidak ada yang terjaga dari kesalahan (ma’shum) selain Nabi Saw. Maka sebuah kelancangan kiranya bila seseorang merasa benar sendiri akan sebuah pendapat. Apalagi memaksakan pendapat mereka, hingga meneror orang agar setuju dengan pendapat mereka.

Berkaca dari peristiwa teror terkini, sudah sepantasnya pelaku diproses sesuai hukum yang berlaku. Meski demikian, cara-cara humanis tetap dipandang perlu untuk mengurangi pandangan-pandangan ekstrim soal perbedaan yang berujung kekerasan bahkan teror. Menghadapi mereka terlanjur ‘kaku’ itu tidak bisa hanya dengan pendekatan fisik. Perlu pendekatan persuasif lewat diskusi atau percakapan dari hati ke hati. Bukankah menebar kasih sayang ke alam semesta lebih diutamakan daripada menebar rasa takut?
Wallahu a’lam.

Hanif Nanda Zakaria
Penulis Buku "Bang Ojol Menulis" Alumnus Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini