Saya selalu ingat kalimat, “presiden itu hanya buruh, rakyat adalah bosnya.” Kalimat ini dilontarkan Cak Nun berkali-kali dalam berbagai kesempatan, seperti misalnya di gedung KPK sewaktu mengisi diskusi bertema Novel Baswedan. Cukup menarik, kalimat ini menunjukkan beberapa pesan penting: pertama, bahwa sebenarnya buruh bisa berposisi apa saja, termasuk presiden; kedua, seorang yang jabatannya mulia dia adalah seorang buruh.

Tentu saja pesan yang kedua ini bisa diperdebatkan lebih lanjut. Sedang tulisan ini hendak memberikan argumentasi atas proposisi di atas: buruh adalah jabatan mulia. Argumentasi akan dimulai dengan mendasarkan pada dinamika islam, sampai kita mendapatkan bagaimana posisi buruh dalam islam yang sebenarnya. Kedua, akan dibangun juga argumentasi yang merupakan konsekuensi logis atas kesimpulan argumentasi pertama.

Tetapi sebelumnya, untuk mengingat betapa besarnya perjuangan buruh saya ucapkan, “jazakumullah... Buruh memberikan banyak sekali manfaat dalam kehidupan manusia, termasuk kehidupan bangsa Indonesia, dan bahkan bagi agama sekalipun, misal islam. Jasa besar yang kerap kali tidak dirasakan, karena saking dekatnya dengan kita, bisa mengakibatkan kelalaian yang sangat, jika kita tidak pernah mencoba melakukan penyadaran. Oleh karena itulah, faktor di atas termasuk yang menjadikan kenapa tanggal 1 Mei dijadikan sebagai hari buruh.

Buruh dalam Islam

Cukup menjadi perhatian serius ketika buruh di sebagian wilayah di Indonesia masih dianggap sebagai ‘yang buruk’ karena disifati kenegatifan dalam termonologinya. Persepsi masyarakat terhadap istilah buruh memang masih bernada negatif dan diskriminatif. Bahkan, jika boleh jujur, ada banyak orang yang seolah tidak mau mengakui bahwa dirinya bekerja sebagai buruh. “Lah, ya wong ngene mas, mung dadi buruh pabrik.” Ungkapan yang seolah membawa kepasrahan yang sangat atas apa yang terjadi, dan itu semua dialamatkan pada terminologi buruh.

Sementara dalam beberapa kajian kontemporer, buruh sebenarnya menjadi kekuatan yang ditakuti oleh kalangan penguasa. Baik kalangan pemerintah maupun kalangan kapitalis. Sejarah pernah membuktikan bahwa buruh pernah menjadi gerakan yang menggulingkan rezim yang tidak adil. Buruh dalam arti sekarang, juga sering melakukan aksi turun ke jalan untuk memberikan peringatan, setidak-tidaknya memperingatkan bahwa kebijakan tidak bijak. Inilah yang disebut sebagai aksi jalanan, turun ke jalan, aksi masa dan atau masa aksi. Gerakan buruh juga melahirkan partai bernama partai buruh, sementara di bidang keilmuan muncul komunisme dan sosialisme sebagai representasi buruh itu sendiri.

Baca Juga:  Work From Home: dari Delapan Jam Kerja ke Perbudakan Modern

Tetapi sudah tepat kah arti buruh selama ini? Seperti apa yang pernah diucapkan Cak Nun bahwa presiden itu adalah buruh, maka bisa kita identifikasi juga bahwa sebenarnya nabi sekalipun adalah buruh.

Nabi itu buruh dan Allah Swt adalah bosnya. Dalam identifikasi yang lebih sempit lagi, bahwa sebenarnya kita semua adalah buruh atas bos kita, Allah Swt. Kita senantiasa dihadapkan pada perintah dan larangan-larangan Allah Swt. Konsep ini sama dengan bos dalam dunia kerja dan pekerjaan yang berkonteks lebih serius, seperti yang pernah dianalisis oleh penganut marxis. Di mana dalam konsep buruh yang berkembang hari ini adalah ia harus taat pada aturan yang dibuat oleh atasan kita.

Dalam islam, seorang buruh dipandang sebagai manusia secara umum. Hakikat manusia yang jelas-jelas terikat pada aturan dan norma-norma baik agama atau masyarakat menjadi titik simpul penting untuk memahami siapa itu buruh. Jika hakikat manusia didefinisikan sebagai sejatinya buruh, maka kita juga berkeyakinan bahwa sebenarnya kehidupan kita selama ini tak pernah lepas dari aturan yang dibuat oleh bos, Allah Swt. Maka tidak heran jika kita, berani melanggar perintah dan sunnatullah, akan mendapat hukuman setimpal yang akan diberikan baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Nalar berpikir yang cukup jelas antara mana buruh mana bos dalam islam juga terepresentasi dalam kalimat, “…Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertakwa..” (QS. Al-Hujurat 49: 13). Pernyataan ini cukup jelas, di mana Allah bertindak sebagai bos memberikan ‘antention’ bagi semua buruhnya ‘jika ingin naik pangkat’ maka harus bertakwa kepada-Nya..

Seandainya saja kita mengenal Nabi Muhammad dari sudut pandang antroposentris, maka kita akan menjumpai beberapa perilaku yang berkaitan erat dengan buruh dalam arti modern seperti sekarang. Seperti di kala Nabi Muhammad menjadi penjaga barang bagi kabilah milik pamannya. Atau ketika Nabi Muhammad menjadi buruh di ‘perusahaan’ milik Khadijah. Namun semua buruh dalam arti seperti ini segera dilewati oleh Nabi Muhammad karena ketakwaan dan keimanannya yang meningkat. Sampai akhirnya, Nabi Muhammad diajak keliling perusahaan Allah saat perjalanan ke sidratul muntaha dan bertemu bos, Allah Swt.

Baca Juga:  Work From Home: dari Delapan Jam Kerja ke Perbudakan Modern

Mahkota Khalifah Fil Ard: Simbol Buruh dalam Islam

Saya menyadari penuh bahwa manusia punya segenap kekurangan, dan bahkan sering disebut sebagai makhluk tempatnya salah dan dosa. Argumentasi yang perlu diketengahkan selanjutnya adalah berkaitan simbol buruh dalam islam. Analisis ini bisa kita mulai dari proses penciptaan manusia oleh Allah Swt. Jika kita memahami, Allah menjadikan manusia di muka bumi sebenarnya hanyalah untuk menjadi buruh. Konsep ini teramu secara apik dalam kalimat manusia adalah khalifah fil ard (pemimpin di muka bumi).

Jika kita menyadari, khalifah fil ard jabatan paling mulai bagi manusia di bumi ini. Kesimpulan ini adalah hasil diidentifikasi dari protesnya para malaikat dan jin atas penciptaan manusia. Kendati sebenarnya malaikat mengatakan bawa manusia hanya bisa berbuat kerusakan di bumi, tetapi Allah Swt tetap bersikeras untuk menciptakan manusia. Walaupun, tentu saja, itu adalah kehendak dan hak prerogatif Allah sendiri.

Tetapi, dengan adanya protes dari malaikat mengindikasikan bahwa manusia yang diciptakan Allah itu nantinya akan mendapat keistimewaan. Terutama karena dalam perjalanan selanjutnya, umat manusia diberikan keleluasaan atas alam ini. Tetapi, sebelum manusia lahir dan menyadari semua kerja-kerja itu, ia sudah melakukan perjanjian suci (primordial) dengan Tuhan, bahwa “Allah adalah satu-satunya Tuhan.”

Proses peng-esa-an Allah ini berimplikasi logis bagi keberlangsungan umat manusia di bumi. Jika manusia tidak mengindahkan janji primordialnya dengan Allah, maka yang terjadi ia lupa dan pada akhirnya melakukan perusakan lingkungan hidup. Bahkan tidak jarang harus saling memusnahkan.

Dari berbagai analisis yang dilakukan kita dapat menyimpulkan bahwa dalam pandangan islam, kita semua adalah buruhnya Allah Swt. Kedua, dalam pandangan islam, kita dianugerahi sebagai khalifah fil ard merupakan bagian dari manifestasi teori buruh dalam islam tadi. Di mana kita diberi hak istimewa untuk mengelola alam, tetapi tetap tidak bisa lepas dari janji primordial dengan Allah Swt.

Baca Juga:  Work From Home: dari Delapan Jam Kerja ke Perbudakan Modern

Kesimpulan seperti di atas memberikan refleksi cukup penting bagi Hari Buruh 1 Mei 2020 kali ini. Di mana kondisi kita hari ini, tampak sudah melewati batas yang ditentukan oleh bos kita semua. Allah Swt. Sehingga, mungkin saja kita di beri hadiah pandemi corona dan berbagai bencana lain, karena melanggar aturan bos kita, Allah Swt. Selanjutnya, dalam pandangan islam, tidak ada buruh dalam arti modern seperti sekarang, di mana buruh harus menyembah pada atasan (manusia) sampai sebegitunya, demi uang. Artinya, hari ini kita telah melakukan kesalahan fatal dengan menganggap manusia sebagai bos kita dan menganggap uang sebagai Tuhan kita.

Sekali lagi, selamat hari buruh. Saya, kamu, mereka dan kita semua sejatinya hanyalah buruhnya Allah Swt. Ketakwaan menjadi kunci atas pendakian kualitas diri seseorang demi menuju bos kita semua, Allah Swt. [HW]

Muhammad Khasbi Minannurrohman
Penulis adalah Mahasiswa IAINU Kebumen. Aktif berorganisasi di PMII Cabang Kebumen. Selain itu, ia juga termasuk salah satu inisiator Institut Literasi Indonesia dan Forum Diskusi Dialektika serta Forum Kajian Islam Nusantara. Sampai sekarang aktif membaca, diskusi dan menulis esai lepas.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini