Kebahagiaan Menurut Syed Naquib Al-Attas

Pada hakikatnya tujuan semua manusia yang dilahirkan ke alam dunia ini secara naluri alamiahnya pasti tidak mengelakkan untuk dapat mencapai kehidupan yang bahagia. Hal  ini  tidak  hanya  sebatas  penekanan, tetapi  juga strategi  yang  jitu  pada  jiwa  manusia  yang  dilahirkan. Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengingatkan bahwa, penekanan pada individu mengimplikasikan pengetahuan akal, nilai, jiwa, tujuan, dan maksud yang sebenarnya dari kehidupan ini. Sebab akal, nilai, dan jiwa adalah unsur-unsur inheren setiap individu.

Al-Attas  adalah  salah  seorang  intelektual  yang  melihat  ruh  manusia  terdiri dari jiwa hewani (al-nafs al-ḥayawaniyyah)  dan jiwa rasional (al-nafs al-naṭiqah).  Kemudian memberikan jawabannya terhadap bagaimana manusia ini dapat mencapai kehidupan yang ideal atau kehidupan yang bahagia dari pengalaman kehidupannya.  Manusia  menurut  Al-Attas  memiliki  kesiapan  untuk menerima ilmu pengetahuan yang benar, yaitu menekankan pentingnya perolehan pengetahuan  yang  didapatkan  dari  pandangan  alam  Islami. Al-Attas menawarkan al-Sa‘adah (kebahagiaan) sebagai pencapaian dari pengalaman kehidupan manusia.

Menurut  al-Attas,  kedudukan  manusia  tidak  hanya  sebagai  subyek,  tetapi juga obyek dari  ilmu pengetahuan. Sebab, cara mendidik yang benar harus mempertimbangkan pelatihan fisik dan moralitas. Di samping hal-hal yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan dirinya. Dengan kata lain dari pencapaian kebahagiaan inilah yang menentukan faktor kebahagiaan manusia yang beragam. karena itu menurutnya, manusia  merupakan makhluk ciptaan Tuhan  yang memiliki  potensi  untuk  dapat  berkembang  ke arah yang  positif  sekaligus  ke arah yang negatif.

Potensi-potensi pada diri manusia ini merupakan modal dasar dalam mengekspresikan kebahagiaan yang sesuai dengan world view Islam dalam memberikan petunjuk kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, alih-alih kebahagiaan dengan diri sendiri, yang menyentuh pada pengetahuan dan karakter yang baik. Islam mengajarkan bahwa tempat bersemayamnya pengetahuan pada manusia adalah sebuah substansi spiritual yang secara beragam ditunjuk Qur’an sebagai hati (qalb), atau jiwa (nafs), atau intelek (aql) atau ruh.

Menurut tradisi pemikiran Barat, ada dua konsepsi kebahagiaan: yang kuno, kembali pada  Aristoteles  dan  yang  pada  abad  pertengahan kembali pada filsuf dan teolog Muslim seperti Ibn Sina Sina dan al-Ghazali, dan yang modern secara bertahap muncul dalam sejarah Barat sebagai hasil dari sekularisasi. Proses filosofis dan saintifik ini yang kemudian al-Attas sebut, sebagai ̳sekularisasi yang melibatkan penghilangan makna spiritual dari dunia alamiah, desakralisasi politik dari  urusan  manusia,  dan  dekonsentrasi  nilai  dari  pikiran  dan  prilaku  manusia. Kedua yang terakhir disebutkan akibat dan sebab logis dari yang pertama, yang menurut pendapat al-Attas, hal ini menemukan pergerakan awalnya dalam pengalaman dan kesadaran manusia Barat dalam fondasi filosofis yang dipimpin peletakkannya oleh Aristoteles sendiri.

Konsepsi modern tentang kebahagiaan yang diakui lazim kini di Barat, berarti bagi peradaban tersebut makna kebahagiaan dan tentunya kebajikan yang memimpin padanya telah mengalami perubahan dengannya. Bukan hanya dekadensi dan krisis moral, tetapi juga pertikaian dan konflik politik. Konsepsi  yang  kuno  dan  modern sepakat  bahwa  kebahagiaan  itu  akhir  pada dirinya. Tetapi, yang sementara dan terdahulu  menganggap  akhir tersebut dalam pengertian standar perilaku yang pantas sebagai  terminal  kondisi  psikologis  yang  tidak  memiliki  hubungan dengan kode moral. Kebahagiaan tidak menunjuk kepada keseluruhan fisik pada manusia, tidak kepada jiwa dan raga hewani manusia, atau bukan pula suatu keadaan pikiran.

Baca Juga:  Mengapa Nabi Isa As Diturunkan Kembali di Akhir Zaman?

Menurut  al-Attas,  ̳kebahagiaan itu  harus  bertalian  dengan  keyakinan  kebenaran terakhir  dan  pemenuhan  dari  perbuatan-perbuatan yang sesuai  dengan  keyakinan tersebut. Dan  keyakinan  adalah  suatu  kondisi  permanen  yang  menunjuk  kepada apa  yang  permanen  pada  manusia  dan  yang  dilihat  oleh  organ  spiritual  yang dikenal dengan hati (al-qalb, kalbu). Ini adalah kedamaian, keamanan, dan ketenangan hati. Ini adalah pengetahuan dan pengetahuan adalah kepercayaan sejati, dan mengetahui tempat seseorang yang berhak dan oleh karena itu layak dalam kerajaan ciptaan-Nya, dan hubungan seseorang yang layak dengan Sang Maha Pencipta. Ini suatu kondisi yang dikenal sebagai adil (al-adl) atau keadilan. Dengan demikian, penjelasan makna dalam pengalaman kebahagiaan di kehidupan ini bukan akhir pada dirinya. Menurut al-Attas, akhir dari kebahagiaan dalam Islam adalah Cinta Tuhan.

Sekilas tentang Al-Attas

Al-Attas merupakan salah satu intelektual terkemuka di wilayah Melayu Nusantara yang memiliki keahlian keilmuan yang kompleks. Darah intelektualnya berasal dari garis keturunan yang berasal dari kedua orang tuanya yaitu, Syed Ali bin Abdillah al-Attas dan Syarifah Raquan al-Aydrus. Intelektual Muslim yang  kini  berdomisili di Negeri Jiran Malaysia  ini  lahir  di  Bogor  pada  tanggal 5 September 1931. Ia mempunyai nama lengkap Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdillah bin Muhsin al-Attas. Anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak kandung al-Attas merupakan seorang intelektual terkenal dengan spesifikasi keahlian dibidang sosiologi yang bernama Syed Hussein al-Attas. Sedangkan adiknya bernama Syed Zaid al-Attas seorang intelektual di bidang Kimia.

Transmisi keilmuan yang didapatkan al-Attas diawali dengan bimbingan intensif dari orang tuanya. Ketika berusia 5 tahun, al-Attas di ajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Di Malaysia, al-Attas masuk pendidikan dasar Ngee Heng Primary School (1936-1941) sampai usia 10 tahun, akhirnya kondisi Malaysia memburuk karena dikasai tentara Jepang. Hal ini mengakibatkan al-Attas dan keluarganya pindah kembali ke Indonesia. Di Indonesia, ia melanjutkan pendidikannya di daerah Sukabumi di sekolah Urwah al-Wusqa (1941-1945).  Daerah  Sukabumi  merupakan  salah  satu  daerah  yang  di  dalamnya berkembang  cukup  pesat  tradisi  tarekat, khususnya tarekat Naqsyabandiyyah. Rupa-rupanya kondisi ini tampaknya memengaruhi minat intelektual al-Attas pada kemudian hari untuk mendalami khazanah intelektual Islam lebih massif.

Tak hanya itu, Al-Attas merupakan pemikir Islam yang termasuk produktif dalam menghasilkan karya.  Tercatat  tidak  kurang  dari  26  buku  telah  dikarangnya  yang ditulis  dalam  bahasa  Inggris  dan  Melayu.  Pada  umumnya  karya  yang  dihasilkan dapat  dikelompokkan  menjadi  dua  bagian,  yaitu  karya-karya  kesarjanaan  dan karya-karya  pemikiran.  Pada  bagian  pertama,  al-Attas  dapat  digambarkan  sebagai seorang  ahli  atau  sarjana  (scholar).  Hal  ini  dapat  dibuktikan  dengan  karya-karyanya  yang  berkaitan  dengan  kebudayaan  Melayu  dan  Nusantara  khususnya mengenai  mistisisme (The  Mysticism  of  Hamzah  Fansuri, adalah salah satu karyanya). Pun pada sisi yang lain, ia digambarkan sebagai seorang pemikir sejati.

Baca Juga:  Menjadi Indonesia
Manusia dan Hakikat Kebahagiaan

Al-Attas dalam Prolegomena banyak mengadopsi pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh al-Ghazali. Tampaknya ia sangat mengagumi al-Ghazali sebagai intelektual Muslim yang memiliki pemahaman keislaman yang komprehensif. Sehingga tidak mengherankan apabila dalam mengemukakan tentang konsep kebahagiaan manusia banyak terpengaruh oleh pemikiran al-Ghazali terutama dalam Iḥya Ulum al-Din, Kimiya al-Sa‘adah dan Mizan al-Amal. Al-Attas menjelaskan bahwa manusia terdiri atas dua unsur utama yaitu tubuh (al-jism) dan jiwa (al-nafs). Tubuh  merupakan  unsur  yang  bersifat  gelap, kasar  dan  memiliki  sifat-sifat  sama  seperti  halnya  semua  zat  yang  ada  di  alam dunia. Ia merupakan unsur materi yang bersifat dapat rusak. Adapun jiwa (al-nafs) merupakan unsur yang memiliki daya mengetahui, memiliki kemauan, dan menjadi penyempurna bagi unsur lainnya yaitu tubuh.

Selain dua unsur di atas, al-Attas menyebutkan dua unsur lain yaitu al-nafs al-ḥayawaniyyah (jiwa hewani) dan al-nafsal-naṭiqah (jiwa rasional). Al-nafs al-ḥayawaniyyah adalah jism yang halus (al-jism al-laṭif) yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi ke bagian tubuh yang lain. Al-nafs al-ḥayawaniyyah merupakan pendorong terhadap kebutuhan makanan yang dapat menggerakkan syahwat dan emosi. Unsur ini tidak dapat memberikan petunjuk kepada pengetahuan, dan ia akan mati seiring dengan matinya badan. Al-Attas, sebagaimana al-Ghazali,  menjelaskan  bahwa  al-nafs al-ḥayawaniyyah adalah sejenis “ uap”  yang  sangat  halus,  berpusat  dirongga  jantung  dan  menyebar  ke seluruh  tubuh  melalui  syaraf  dan  pembuluh  nadi  dan  menggerakkan  anggota-anggota  badan  untuk  melakukan  sesuatu.

Adapun al-nafsal-naṭiqah atau dalam bahasa al-Ghazali adalah “al-ruḥ al-ṭabi‘i” merupakan suatu kekuatan yang mendorong terhadap kebutuhan intelektual, makanan dan kekuatan yang bertempat di hati. lebih jauh, Al-Attas mengatakan bahwa tujuan manusia dalam menggapai kebahagiaan tergantung  pada  lebih  besar  mana  kecenderungan  manusia  dalam  menggunakan kedua  unsur  dalam  tubuh  tersebut.  Kedua aspek tersebut memiliki kekuatan atau fakultas (al-quwwah). Fakultas jiwa hewani ialah penggerak (motive) dan persepsi, dan fakultas jiwa rasional itu aktif dan kognitif.  Sejauh  hal  tersebut berfungsi  sebagai  intelek  aktif,  maka fakultas  tersebut  merupakan  prinsip penggerak atas tubuh  manusia.  Fakultas tersebut merupakan rasio praktis, dan mengarahkan tindakan individu dalam persetujuan dengan fakultas teoritis dari intelek kognitif.

Sementara, dalam hubungan dengan daya penggerak dari jiwa hewani, bertanggung jawab untuk penggunaan keinginan.  Sehingga hasrat atau keengganan muncul dalam tindakan, dimana fakultas tersebut menghasilkan emosi manusia. Dalam hubungan dengan kekuatan perseptif dan fakultas representatif, estimatif, dan imajinatif, fakultas tersebut mengatur obyek fisik dan menghasilkan kemahiran manusia dan seni. Dan dalam hubungan dengan fakultas imajinasi rasional tersebut, maka fakultas memunculkan premis dan kesimpulan. Sejauh fakultas  memerintah  dan  mengatur  tubuh  manusia,  sudah jelas fakultas  tersebut akan memengaruhi perilaku etis manusia yang melibatkan pengenalan akan sifat buruk dan  kebajikan. Kedua sifat inilah yang akan mengantarkan manusia memeroleh kebahagiaan atau bahkan kesengsaraan.

Baca Juga:  Pesan Kiai yang Terlupakan

Jiwa (al-nafs) sebagai esensi dari eksistensi manusia, menurut al-Attas, tetap saja memiliki suatu skala ketergantungan kepada badan (al-jism).  Hubungan antara  jiwa  dan  badan  diibaratkan  seperti  hubungan  antara  penunggang  kuda  dan kudanya.  Hubungan  ini  merupakan  hubungan  antivitas,  dalam  arti  bahwa  yang memegang kendali  aktivitas adalah penunggang kuda bukan kudanya. Kuda merupakan alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peran yang tepat adalah badan merupakan alat bagi jiwa untuk memenuhi tujuannya. Hubungan tersebut tidak hanya sebatas hubungan di dunia saja, namun yang paling penting dan utama adalah hubungan di akhirat juga. Jiwa tidak mati, tetapi  hanya  meninggalkan  badan,  dan  menunggu  kembali  kepadanya  di  hari kiamat.

Penalaran yang dibangun al-Attas, pada dasarnya merupakan pengembangan konsep al-Ghazali. Ia dalam Kimiya al-Sa‘adah mengatakan bahwa, diri manusia terdiri atas jasad sebagai sebuah kerajaan, jiwa sebagai raja, nalar sebagai perdana menteri, nafsu sebagai pemungut pajak dan emosi sebagai polisi. Dengan berpura-pura mengumpulkan pajak, nafsu cenderung untuk terus-menerus merampas demi kepentingannya sendiri. Sementara emosi cenderung mengarah pada kekerasan.  Pemungut  pajak  dan  polisi  harus  senantiasa  berada  di  bawah perintah  raja.  Namun, tidak boleh dimusnahkan karena keduanya memiliki fungsi kehidupan yang juga penting.  Raja (jiwa) yang membiarkan fakultas-fakultas lebih rendah (nafsu dan emosi) untuk menguasai yang lebih tinggi (nalar), hingga pada akhirnya akan mengalami kehancuran.

Berdasarkan konsepsi mengenai eksistensi manusia inilah, al-Attas membangun suatu pandangan mengenai kebahagiaan. Terdapat dua jenis kebahagiaan yaitu, kebahagiaan yang dirasakan oleh badan dan kebahagian yang dirasakan oleh jiwa. Sifat kebahagiaan badan adalah berubah-rubah dan cepat rusak. Adapun kebahagiaan jiwa bersifat kekal. Badan yang sifatnya tidak berbeda dengan materi dunia akan memeroleh kebahagiaannya dari kehidupan dunia. Sedangkan  jiwa  yang  bersifat  kekal  akan  memeroleh  kebahagiaan  dari  suatu bentuk kehidupan yang kekal. Mulai dari dunia hingga akhirat. Konsep al-Attas mengenai tujuan hidup yang lebih mengutamakan kehidupan akhirat bukan berarti ia menolak akan keberadaan kebahagiaan dunia. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Akan tetapi tujuan akhir yang di prioritaskan adalah kebahagiaan akhirat, karena lebih utama dan sifatnya abadi. []

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah