Kado Hardiknas

Selama berbulan-bulan sejak diluncurkan, slogan ‘Merdeka belajar’ nyaris hadir tanpa penjelasan. Melalui Peta Jalan Pendidikan Indonesia (PJPI) 2020-2035, kali pertama Kemdikbud menjelaskan konsep ‘Merdeka Belajar’ secara sistematis. Sayangnya konsep ini juga tidak orisinil, mengingat sebagian besar juga plagiasi dari OECD Learning Compass (OLC) 2030.

Misal, dalam OLC menekankan peran guru, orangtua, sebaya (teman), sekolah dan komunitas. Kemudian diadaptasi oleh Konsep Merdeka Belajar dalam PJPI menjadi guru, keluarga, institusi, masyarakat dan dunia usaha/ industri. Sedikit revisi dari versi OLC, konsep Merdeka Belajar menghilangkan peran ‘teman sebaya’ dan menambahkan pentingnya dunia usaha atau industri.

Pelibatan dunia usaha atau industri adalah keniscayaan karena pendidikan butuh pembiayaan. Salah satu produk industri atau dunia usaha terhadap pendidikan adalah lahirnya perusahaan teknologi edukasi. Perkembangan industri pendidikan semacam ini dikenal sebagai MOOCS (Massive Open Online Courses).

Harga Merdeka Belajar

Namun yang sangat mengherankan, konsep merdeka belajar mengkategorikan perusahaan teknologi edukasi dan organisasi penggerak sama-sama bagian dari masyarakat. Padahal lazimnya ‘perusahaan’ seharusnya masuk kategori dunia usaha.

Oleh sebab itu masuk akal jika kemudian Kemdikbud memperlakukan organisasi penggerak dan organisasi masyarakat setara dengan perusahaan teknologi edukasi. Penyetaraan ini tidak mudah diterima sebagaimana kisruh Program Organisasi Penggerak (POP). Saat itu PGRI, LP Maarif NU dan Muhammadiyah mengundurkan diri dari POP karena tidak terima disetarakan dengan Tanoto Foundation atau Sampoerna Foundation. Meskipun yang satu adalah lembaga non-profit/ organik dan yang lain adalah bagian dari CSR korporasi.

Penyetaraan akses dari negara tanpa membedakan komunitas dan perusahaan menunjukan bahwa konsep merdeka belajar akan mendorong komersialisasi pendidikan dengan cara mensubsidi perusahaan teknologi edukasi.

Hal ini diindikasikan oleh dua hal. Pertama, pemilihan tujuh perusahaan teknologi edukasi yang menjadi rekomendasi aplikasi pembelajaran dari Kemdikbud pada saat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) pertama kali dilaksanakan setahun silam, Maret 2020. Kedua, subsidi kuota khusus Kemdikbud pada aplikasi pembelajaran milik perusahaan teknologi edukasi tertentu. Meskipun belakangan daftar aplikasi yang mendapatkan kuota khusus semakin beragam.

Baca Juga:  NU Jakpus : Kamus Sejarah Bukti Kelalaian Kemendikbud Terhadap Tokoh Nasional

Sebagai Merek dagang, konsep Merdeka Belajar sudah didaftarkan Sekolah Cik*l sejak tahun 2015 ke HAKI. Setelah menuai kontroversi karena pihak Cik*l menekankan kepemilikan hak intelektual atas merdeka belajar, belakangan slogan tersebut akhirnya dihibahkan kepada pihak Kemdikbud. Hibah ini masih diragukan, mengingat pihak Cik*l masih menggunakan slogan tersebut untuk kepentingan lembaganya. Jika ditambah klaim bahwa merdeka belajar terinspirasi dari Ki Hajar Dewantara, hal ini makin problematik. Karena warisan pemikiran ki Hajar ternyata bisa dijadikan hak milik pribadi dan dihibahkan.

Aktor-Jaringan

Turunan dari Merdeka belajar adalah berbagai program yang dikeluarkan Kemdikbud dengan diksi ‘penggerak.’ Sayangnya, diksi ini sudah menjadi branding utama lembaga-lembaga yang didirikan oleh NS atau–ijinkan saya menyebutnya–Cik*l Connection (CC). Seperti Sekolah Cik*l, Yayasan Guru Cik*l, Kampus Guru Cik*l, dan perusahaan teknologi edukasi sekolah.m*.

Berkaitan dengan pelatihan guru, Cik*l Connection sudah mengembangkan komunitas guru belajar N**** sejak tahun 2016. Artinya program ‘guru penggerak’ Kemdikbud berhutang banyak pada gagasan yang dikelola oleh jaringan kelompok ini.

NS juga mendirikan Pusat Studi Pendidikan dan K**** (PSPK) yang sangat mempengaruhi kebijakan Kemdikbud dari hulu hingga hilir. Tim PSPK menjadi konsultan untuk pembuatan soal Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Penulis pernah ikut dalam pembekalan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) Madrasah di Kemenag tahun 2020 yang tidak lain pembicaranya berasal dari PSPK. Orang tersebut baru saja diresmikan pada pertengahan April 2021 ini dilantik menjadi Pejabat Kemdikbud.

Oleh sebab itu selain mendominasi dari level gagasan, CC mengirimkan orang-orang terbaiknya untuk membantu Nadiem Makarim mengeksekusi slogan pendidikan yang sebenarnya berasal dari mereka-mereka juga.

Monopoli

PSPK juga mendominasi kebijakan penyederhanaan kurikulum. Separuh—lima dari sepuluh–diantara tim pengembang kurikulum adalah Tim PSPK. Dalam slide Power point (PPT) penyederhanaan Kurikulum yang bocor ke publik, terlihat hanya tiga orang yang terlibat secara aktif (dalam percakapan) menyederhanakan kurikulum tersebut.

Baca Juga:  Kemendikbud Resmi Luncurkan Program Kampus Mengajar Angkatan Pertama

Ini tidak lazim mengingat kurikulum Pendidikan Nasional adalah pekerjaan raksasa, bukan pekerjaan konsultan.

Ketiga orang tersebut diketahui juga beraktivitas sebagai dosen dan alumni di Universitas S. Mungkin kebetulan, Nadiem Makarim juga mengangkat Stafnya menjadi Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) yang pada awalnya adalah dosen dan dekan di kampus yang sama. Kampus swasta tersebut sepertinya melahirkan orang-orang hebat dalam dunia pendidikan. Beserta koneksinya yang kuat.

Kesamaan diantara jaringan intelektual tersebut, selain menjadi pionir lembaga yang didirikan oleh NS, juga mencoba mengarusutamakan pemikiran ‘berpihak pada anak.’ Selain tidak pernah ada penjelasan sistematis atas gagasan ‘berpihak pada anak,’ slogan ini bertendensi bahwa selama ini tanpa ‘mereka,’ pendidikan cenderung tidak berpihak pada anak (?). Lagi-lagi slogan CC ‘berpihak pada anak (murid)’ dipinjam oleh Nadiem Makarim ketika meresmikan Program Guru Penggerak (15/10/2020).

Produk CC yang ditiru oleh Nadiem Makarim seperti Merdeka Belajar dan Guru penggerak, serta program yang melibatkan koneksi mereka seperti AN dan penyederhanaan kurikulum secara langsung maupun tidak adalah upaya untuk mengevaluasi guru sebagai pekerja dan mendudukkan peserta didik sebagai konsumen dengan dalih ‘berpihak pada anak.’ Bentuk evaluasi ini mengikuti logika pabrik yang akan terus menuntut kompetensi tertinggi bagi guru sehingga hasil ketidaktercapaian kompetensi akan selalu menjadi dalih untuk tidak memenuhi kesejahteraan guru.

Dalih kompetensi juga dipakai perusahaan teknologi edukasi untuk membayar murah guru yang bekerjasama dengannya. Hal ini berbanding terbalik dengan biaya iklan yang mereka keluarkan dan keuntungan terlibat proyek pemerintah seperti menjadi pelatih dalam program kartu pra kerja.

Salah satu produk CC seperti SekolahdotM* pun sama-sama tidak memiliki penghargaan yang layak kepada guru. Dari laporan yang kami terima, aplikasi ini membayar murah pembuatan konten video pembelajaran yang dibuat guru dan meminta hak cipta atas pembayaran rendah tersebut (data primer, 2020).

Baca Juga:  Mungkinkah Sistem Trisentra Ki Hajar Berbasis Digital?

Padahal Presiden Joko Widodo menekankan agar kita jangan sampai jadi korban ‘unfair practices’ industri digital.

Monopoli segelintir orang, kelompok atau jaringan intelektual untuk mendominasi kebijakan pendidikan nasional yang tidak merepresentasikan keragaman bangsa dan bias kelas sosial, tidak hanya merugikan guru namun juga merugikan peserta didik, orang tua, masyarakat, dan cita-cita pendiri bangsa yang ingin mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia.

Selamat hari Pendidikan Nasional

Pandemik berakhir kita ngopi di Meulaboh. []

Iman Zanatul Haeri,
Guru Sejarah
Kepala Bidang Advokasi Guru
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)

Iman Zanatul Haeri
Guru Sejarah MA Al-Tsaqafah Said Aqil Siroj Foundation, Alumnus Universitas Negeri Jakarta.

Rekomendasi

1 Comment

  1. […] hari buruh, Selamat hari Pendidikan. Hari kita berbeda, perjuangan kita sama. […]

Tinggalkan Komentar

More in Opini