Kado Hardiknas II: Riwayat Mandulnya Serikat Guru

Tuntutan kompetensi digital membuat banyak organisasi profesi guru lebih sibuk mengurusi kegiatan pelatihan guru. Lambat laun, serikat kerja profesi ini melupakan tugas utama mereka dalam melindungi hak-hak dan kesejahteraan guru. Padahal kesejahteraan dan hak-hak mendasar para guru merupakan prasyarat dari peningkatan kompetensi digital. Sulit membayangkan para guru berhasil menggunakan perangkat digital secara efektif dalam keadaan terancam karena gaji yang rendah, status honorer dan fasilitas yang tidak memadai.

Tentu advokasi terhadap nasib guru dan perjuangan meningkatkan kesejahteraan profesi ini tidak lagi relevan jika semua guru di negeri ini sudah sejahtera. Masalahnya, kesejahteraan guru masih menjadi persoalan utama di negeri ini. Berbeda dengan saudaranya, profesi buruh justru selalu bisa meningkatkan daya tawar mereka dalam setiap perubahan industri.

Menjaga Ingatan

Jika menengok sejarah, serikat yang pertama lahir di Hindia Belanda bukan serikat buruh, tetapi serikat guru bernama Persatoean Goegoe Hindia Belanda (PGHB) yang didirikan tahun 1912. Saat itu belum ada dikotomi antara guru dan serikat buruh. Keduanya sama-sama progresif dalam pengertian disiplin soal berorganisasi dan konsisten memperjuangkan nasib para anggotanya.

Bahkan untuk melindungi masa depan guru, PGHB telah berhasil menghimpun iuran untuk mendirikan asuransi guru bernama Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera atau Onderlinge Levensverzekering Maatschappij. Selain itu PGHB sudah menerbitkan surat kabar bernama ‘Persatoean Goeroe (PG).’Setiap periodik, surat kabar PG selalu merilis hasil perolehan iuran guru dibagian belakang surat kabar tersebut sehingga bisa dibaca oleh banyak orang dan mengindikasikan upaya transparansi dalam mengelola kas organisasi (Persatoean Goeroe, 1930).

Hubungan antara organisasi guru dengan Departemen pendidikan, Ibadah dan industri kerajinan tangan (Departement van Onderwijs Erediens en Nijverheid) Hindia Belanda berlaku seimbang. Setiap kebijakan pendidikan Belanda baik di daerah dan pusat selalu dikomentari oleh para guru dalam surat kabar tersebut melalui rilis resmi organisasi, cerpen hingga opini satir dengan nama samaran. Sangat sulit membayangkan hari ini terdapat wadah yang disediakan oleh organisasi profesi guru yang dianggap generasi ketiga dari PGHB.

Baca Juga:  Kisruh Kamus Sejarah Kemendikbud, Nahdlatul Ulama Harapkan Revisi

PGHB juga memiliki mitra strategis di Volksraad, semacam lembaga dewan perwakilan penduduk Hindia Belanda. Meskipun belakangan lembaga ini mengecewakan karena segala hasil keputusannya tidak mempengaruhi sama sekali Keputusan Pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini tidak mengurangi sikap tegas organisasi profesi guru tersebut dalam menolak setiap kebijakan pendidikan diskriminatif seperti disparitas gaji antara guru berdasarkan latar belakang rasial.

Saat itu gaji terendah disebut skala A yang diisi oleh guru pribumi, gaji skala B diisi oleh guru Indo-Eropa dan gaji tertinggi disebut skala C yang diisi oleh guru Eropa murni. Secara kasat mata, disparitas ini masih terjadi hingga sekarang seperti perbedaan gaji guru yang mengajar di sekolah elit ‘internasional.’ Gaji guru ‘Indonesia’ dibawah 20% dari gaji ekspatriat yang mengajar disekolah yang sama.

Meskipun kondisinya demikian, serikat profesi guru seperti PGHB tidak lantas mengikuti begitu saja kebijakan pendidikan Pemerintah Kolonial Belanda. Mereka melakukan segala upaya untuk memprotes dan menekan pemerintah kolonial belanda agar menghapus diskriminasi terhadap guru. Berbeda dengan organisasi profesi guru hari ini yang hubungannya dengan Pemerintah seperti agen-agen humas sosialisasi program pemerintah. Sehingga para anggota mereka yang menderita karena karena status honorer dan kesejahteraan yang tidak kunjung datang, tidak pernah menjadi agenda utama organisasi yang malah sibuk membuat beragam program pelatihan guru.

Pada masa itu, PGHB diisi oleh guru intelektual yang tidak diragukan lagi kompetensinya. Tentu bukan karena para guru rajin mengikuti pelatihan dari pemerintahan kolonial Belanda.

Kunci utamanya karena motor organisasi sebagian besar dijalankan oleh para guru. Jika organisasi profesi guru dijalankan oleh guru maka mereka akan merepresentasikan kepentingan guru, kegelisannya, hak-hak, dan pikiran-pikirannya. Hal ini didukung oleh UU Guru dan Dosen no.14 tahun 2005 bahwa Organisasi Profesi guru didirikan dan diurus oleh guru. Oleh sebab itu jika organisasi profesi guru tidak dijabat oleh guru maka setiap keputusan dan cara berfikirnya akan bertentangan dengan kepentingan, kegelisahan, hak dan pikiran guru.

Baca Juga:  Kematian Begitu Dekat
Simpang Jalan

Pemisahan regulasi guru dan buruh hingga saat ini merugikan kesejahteraan guru. Para buruh diselamatkan oleh kerja organisasi serikatnya karena mereka berhasil membuat hak buruh berlaku untuk semua anggota (universal) sehingga mendapatkan standar minimum upah. Sedangkan guru sendiri karena posisinya yang tidak menguntungkan tersebut malah terjebak dalam regulasi yang mengijinkan berbagai pihak, baik sekolah negeri dan sekolah swasta untuk menggaji mereka secara tidak layak. Persoalan ini tidak banyak menjadi perhatian kecuali oleh organisasi guru honorer yang tergabung dalam situasi lemah dan sulit menerima dukungan dari para guru yang sudah pada level tertentu cukup sejahtera.

Terdapat periode krusial dalam sejarah pergerakan nasional ketika kekuatan radikal ditumpas pemerintah kolonial Belanda paska pemberontakan PKI 1926. Kita menyebutnya periode bertahan karena Pemerintah Kolonial Belanda bersikap lebih represif kepada seluruh organisasi pergerakan yang menuntut kemerdekaan Indonesia. Disaat genting semacam itu para tokoh pergerakan sepakat dalam kesenyapan bahwa mereka akan bekerja dibawah tanah sambil menunggu saat yang tepat mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.

Disaat pergerakan Nasional mengalami turbulensi karena Pemerintah kolonial belanda semakin represif, PGHB malah merubah namanya menjadi Persatoean Goeroe Indonesia (PGI). Pencantuman nama Indonesia saat ‘periode bertahan’ menunjukan bahwa PGI memiliki komitmen yang sangat kuat untuk mendukung kemerdekaan –untuk tidak menyebutnya sebagai sikap yang ‘nekat.’ Padahal berbagai organisasi buruh saat itu juga tidak mengalami pergerakan signifikan akibat monitoring pemerintah kolonial terhadap mereka.

Perlu diketahui, sekolah juga menjadi tempat paling aman dari monitoring pemerintah kolonial Belanda atas gagasan kemerdekaan Indonesia. Proses edukasi kemerdekaan Indonesia terus berjalan meskipun pergerakan di luar tembok sekolah sangat sulit dilakukan. Artinya guru adalah aktor penting yang mengantarkan kemerdekaan, dengan menggenggang estafet perjuangan pada masa-masa yang paling sulit. Setelah Indonesia merdeka nyatanya persoalan guru sejak zaman kolonial hingga pasca kemerdekaan Indonesia tidak berubah.

Menjaga Independensi

Untuk membuktikan bahwa pemerintah indonesia saat ini berbeda dengan pemerintah kolonial Belanda, Kemdikbud selalu menyertakan perwakilan berbagai organisasi guru untuk ikut merumuskan kurikulum yang hendak dibentuk. Sayangnya, kebanyakan para ketua organisasi profesi tersebut terjebak dalam situasi bahwa mereka terlibat hanya untuk rapat dengar atas konsep yang sudah rampung.

Baca Juga:  Kemendikbud Resmi Luncurkan Program Kampus Mengajar Angkatan Pertama

Kenyataannya perumusan kurikulum bukan lagi pertentangan antara system maker yakni para pejabat di Pusat Kurikulum dan perbukuan (Puskurbuk) Kemdikbud yang jelas digaji negara untuk mempersiapkan kurikulum dan user dalam hal ini adalah guru dan tenaga pendidik. Penyederhanaan kurikulum yang sedang dilaksanakan kemdikbud kini malah memasukkan pihak ketiga.

Dari sepuluh anggota tim perumus kurikulum, lima diantaranya adalah pihak swasta atau konsultan yang disebut sebagai ‘mitra kemdikbud.’ Akibatnya guru tersingkir dari meja diskusi, padahal keterlibatan guru secara nyata dalam perancangan kurikulum akan memperpendek jarak antara realitas dan gagasan pendidikan yang hendak dibentuk. Dengan demikian sangat jelas terjadi genosida hak politik guru dalam mengawasi kebijakan pendidikan Nasional. Guru dirancang pasif, bungkam dan disudutkan untuk terus menyalahkan dirinya oleh situasi semacam ini.

Secara praktis kini organisasi guru tidak dipandang sebagai kekuatan independen yang opininya bisa menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk membentuk peta masa depan pendidikan Indonesia. Mereka lebih tepat disebut tukang cap yang ironisnya adalah jenis pekerjaan yang paling besar lowongannya pada masa awal politik etis.

Seperti diketahui, alasan utama Pemerintah Kolonial Belanda membuka akses pendidikan kepada rakyat Indonesia karena mereka membutuhkan pegawai administrasi rendahan yang tidak bisa lagi dikerjakan oleh orang Eropa yang jumlahnya sedikit. Zaman penjajahan dengan era sekarang memang jauh berbeda, namun baik pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia hari ini memiliki watak yang sama selama belum menyelesaikan persoalan kesejahteraan guru.

Selamat hari buruh, Selamat hari Pendidikan. Hari kita berbeda, perjuangan kita sama. []

Foto: Koran Persatoean Goeroe, 1930-1936. Koleksi Pribadi

Iman Zanatul Haeri
Guru Sejarah MA Al-Tsaqafah Said Aqil Siroj Foundation, Alumnus Universitas Negeri Jakarta.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini