Jilbab dan Gerakan Sosial

Wacana mengenai jilbab selalu muncul di permukaan setiap tahunya, ntah itu bahasan yang korelasinya dengan wacana keagamaan, politik, kebudayaan, ataupun aksi sosial. Belum lagi banyak sekali fakta sosial masyarakat yang masih menstigma perempuan yang memakai jilbab ataupun tidak memakai jilbab. Sebab itu banyak wacana jilbab yang dinarasikan oleh berbagai pegiat sosial (aktivis) ataupun para pemikir untuk menjelaskan kerangka mengenai jilbab dalam berbagai tinjauan. Misal saja seperti Qasim Amin, Amina Wadud, Syahrour, Leila Ahmed,  Fatima Mernissi dan lain sebagainya.

Jika kita tinjau secara historis, maka kita menemukan hipotesa bahwa jilbab merupakan suatu fenomena sosial yang penuh makna dan nuansa. Bisa dikatakan demikian karena jilbab merupakan representasi dari simbol-simbol tertentu. Seperti simbol beragama, kesalehan dan ketakwaan, atau bahkan simbol perlawanan dan perjuangan, tergantung persepsi seseorang dalam memahami jilbab. Perbedaan persepsi tersebut nampaknya semakin memantapkan bahwa pemahaman tetang fungsi jilbab mengalami pergeseran secara struktural yang kemudian menjadi kultural.

Misal saja pada zaman Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria, legitimasi jilbab disimbolkan bagi kaum perempuan bangsawan yang mempunyai harta berlimpah, status kedudukan yang tinggi, dan power yang kuat. Bahkan kala itu modelisasi jilbab sudah marak seperti model asnimah (punuk unta), secara struktural model ini memproduksi sekat-sekat sosial di masyarakat yaitu si kaya dan si miskin. Kultur tersebut sudah menjadi pranata sosial masyarakat kala itu yang kemudian menyentuh pada dunia Arab. (Lihat Nasiruddin Umar, Fenomenologi Jilbab).

Dalam perkembangan konstruk jilbab pasca Islam mulai terlihat pergeseran yang sifatnya evolutif, dari yang parsial menjadi general, lalu yang awalnya domainya historis menjadi idiologis. Coba kita amati dalam Q.S an-Nur ayat 31, secara hermeneutik jilbab merupakan suatu instrumental untuk melindungi para wanita dari gangguan orang-orang munafik. Karena pada saat itu memang kondisi sosial masyarakat mempunyai stigma miring terhadap perempuan. Pada masa itu juga jilbab secara struktural sebagai identitas untuk mengenali perempuan yang telah memiliki suami, serta menjaga kehormatanya dan harga dirinya (dalam artian bukan pelacur). Karena secara kultural saat itu memang terdapat persinggungan dengan budaya persia yang menganggap sebagai objek seksualitas.

Baca Juga:  Hijab, Jilbab dan Khimar

Sampai akhirnya pada masa abad pertengahan dan modern, jilbab merangkak masuk ke ranah idiologis yaitu berupa simbol bukti ketakwaan seorang perempuan sehingga menjelma suatu kewajiban bagi perempuan ketika di ranah publik, ditambah dengan merebaknya fenomena jilbabisasi yang menghiasi negara muslim. Hal ini yang kemudian dikritisi oleh para feminis modern karena hal tersebut menjadikan instrumen untuk mengontrol dan juga mengasingkan perempuan untuk selalu di ranah domestik.

Seperti yang digaungkan oleh tokoh pemikir Mesir, yaitu Qasim Amin. Dia mengkritisi jilbab karena dianggap sebagai biang keladi kemunduran perempuan Mesir dan juga penghambat untuk mengeluarkan potensinya. Bagaimana tidak, ketika keluar rumah saja perempuan harus berpakaian serba tertutup semuanya sampai wajah dan telapak tangan. Sehingga mereka merasa keluar rumah sangat menyulitkan karena harus menutup seluruh badan. Dengan kata lain pandangan ini mengisyaratkan adanya keterbelakangan dari jilbabisasi yang kontra produktif dengan sepirit modernisasi, bisa dikatakan jilbab saat itu merupakan fenomena segregasi sosial khususnya bagi perempuan. Pandangan Qasim Amin sejatinya hanya ingin mematahkan ideologis tentang jilbab sebagai kewajiban dan bentuk ketakwaan. Pendapat ini memang tidak bisa disalahkan juga mengingat konteks tercetusnya pemikiran tersebut disaat perempuan terbebani dengan adanya jilbabisasi di ruang publik.

Antitesis dari Ideologis

Seiring berkembangnya zaman, pandangan Qasim Amin nampaknya perlu dikritisi. Bagaimana tidak, selama hampir lebih dua dekade terakhir jilbab menjelma sebagai kekuatan bagi perempuan, simbol akan kebebasan terhadap pemberontak yang menganggap perempuan adalah objek seksual. Bahkan jilbab sendiri merupakan simbol dari modernisasi. Kita bisa membuka wawasan ini melalui banyaknya perempuan-perempuan muslimah yang secara sadar mengenakan jilbab dengan motif untuk melindungi diri, dan tren motif fashion masa kini.

Baca Juga:  Konflik Sosial Keagamaan di Poso: Latar Belakang dan Upaya Penyelesaian Konflik

Elowe Macleod pernah mengadakan penelitian pada akhir abad 20-an tentang motivasi perempuan untuk menggunakan jilbab, hasilnya cukup menarik. Kenapa demikian? Karena di sekian banyak perempuan yang diwawancari sebanyak 56 persen berpendapat sesungguhnya jilbab hanyalah fashion yang sedang naik daun. Seiring berkembangnya zaman fashion akan berubah dan motif jilbab akan berubah semakin modern tanpa mengurangi eksistensi jilbab itu sendiri. Terdapat temuan yang menarik juga, yaitu sebagian besar perempuan mengemukakan jilbab sebagai kedamaian, dengan berjilbab secara rasional perempuan mendikte bahwa dialah makhluk yang cinta kedamaian, tidak ada kekerasan dan perbuatan pelecahan yang terjadi padanya.

Layaknya suatu antitesis dari apa yang telah dikemukakan oleh Qasim Amin, jilbab di masa modern berevolusi menjadi kontrol sosial yang mengandung unsur pembebasan bahkan menjadi bentuk solidaritas kemanusiaan. Bahkan penggunaan jilbab tidak semerta-merta dalam struktur kerangka ideologis, tetapi juga faktor perjuangan sebagai bentuk perlawanan yang termanifestasikan dalam berbagai aksi. Masuknya Islam di dunia barat nyatanya membuka ragam style baru bagi perempuan, mereka yang berjilbab dipandang anggun dan cantik -berdasarkan penelitian dari University of Westminster Inggris-.

Akan tetapi tidak sedikit juga masyarakat memandang jilbab merupakan fenomena yang aneh bahkan mendapatkan stigma-stigma yang miring terlebih pada tahun 2005 sampai 2010 an dengan menguatnya isu-isu islamophonia dan radikalisme global. Stigma tersebut memunculkan efek yang luar biasa, dimana muslim -khususnya perempuan- yang selalu di sorot dan menjadi target persekusi, bahkan dalam suatu kasus di Manhattan seorang perempuan berjilbab di bakar karena dianggap merepresentasikan sebagai seorang teroris. Tindakan Islamophobia dan radikalisme nyatanya membentuk polarisasi di dunia barat sehingga muslim-muslimah di berbagai negara mengalami diskriminasi yang hebat.

Munculnya fenomena tersebut juga memunculkan aksi solidaritas yang diperuntukan untuk kalangan muslim, terlebih pada perempuan muslim. Seperti munculnya aksi solidaritas sosial bagi perempuan berjilbab di beberapa negara. Misal saja di Perancis pada tahun 2009, adanya gerakan mengkampanyekan solidaritas untuk perempuan muslim berjilbab yang berujung kulminasi yaitu hari solidaritas hijab Internasional tanggal 4 September. Kemudian pada tahun 2010 juga lahir komunitas hijab Indonesia sebagai wadah untuk membela hak-hak muslimah berjilbab yang mendapatkan streotip atau diskriminasi lainya. Lalu negara Swedia tahun 2013 yang viral dengan tagar #hijabuppropet, pada tahun yang sama wanita Swedia menggelar kampanye aksi solidaritas terhadap perempuan muslimah yang dipicu oleh penyerangan seorang wanita muslimah yang sedang hamil di Kota Stockholm.

Baca Juga:  Berjilbab menurut Syariat Islam

Kemudian juga di Amerika Serikat, di tahun yang sama muncul gerakan yang membela perempuan muslim di seluruh dunia. Aksi yang diprakarsai oleh Nazma Khan disambut hangat oleh para simpatisan dan aktivis gender sehingga tanggal 1 Februari -sampai sat ini- dijadikan hari hijab sedunia (world hijab day). Hal ini menunjukan adanya kepedulian yang disimbolkan melalui pemakaian jilbab oleh simpatisan dari berbagai kalangan.

Bahkan baru-baru ini pada tahun 2019 muncul gerakan serupa di negara New Zealand, gerakan dengan aksi demo turun di jalanan dengan menggunakan jilbab sebagai bentuk solidaritas kepada wanita muslim yang sering menjadi bahan persekusi. Bahkan seorang pelopor gerakan tersebut yaitu Thaya Ashman mengaju adanya gerakan ini merupakan simbol kekuatan untuk menagkal segala retorika kebencian atas dasar apapun, baik identitas ras, budaya, dan agama.

Adanya aksi dan gerakan peduli dengan memakai jilbab secara tidak langsung menggeser suatu pemaknaan jilbab secara ideologis menjadi sosialis-partisipatoris. Artinya jilbab bukan hanya bentuk labelling suatu ketakwaan seseorang, melainkan tumbuh kesadaran akan bentuk gerakan sosial yang mampu mendukung kebebasan berekspresi perempuan di ranag publik. Tidak sedikit masyarakat yang berhilbab hanya karena bentuk fashion dan style semata, bahkan sudah merujuk kepada simpatisan yang menandakan suatu gerakan sosial. []

Mohammad Fauzan Ni'ami
Mohammad Fauzan Ni'ami biasa di panggil Amik. Seorang santri abadi pegiat gender dan Hukum Keluarga Islam.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini