Jamuna dan transmisi islam pesisiran

Membincang persoalan Islam Pesisiran pada saat sekarang agaknya menjadi urgen kembali ketika sebagian kelompok milenial khususnya di wilayah perkotaan merasa gandrung untuk belajar agama secara instan tanpa melalui proses periwayatan (transmition). Corak kajian keagamaan kelompok urban ini cenderung tekstual dan tidak jarang berputar pada persoalan eksoterik atau syariah an sich. Paradigma yang terbentuk menjadi biner dengan melihat persoalan secara hitam putih. Mereka lebih mudah menghakimi sesat kepada golongan lain dengan mengkreasi istilah-istilah dikotomis seperti salafbid’ah. Terhangat, didapatinya konten ceramah dari salah seorang “ustaz” atau tepatnya oknum yang diustazkan yang membidahkan praktik niṣfu shaʻbān setelah sebelumnya menilai Nabi Muhammad pernah sesat.

Diskursus Islam Pesisiran dapat saja dilabeli sebagai Islam kolaboratif  atau tradisi Islam lokal dari perpaduan penggolongan sosial yang ada dalam masyarakat pesisiran Jawa. Dalam literatur kajian keislaman masyarakat Jawa, Islam pesisir memberikan perspektif baru dan menjadi antitesis dari teori sebelumnya tentang Islam sinkretik oleh Geertz, Beatty, Murder atau tentang Islam akulturatif oleh Woodward (Nur Syam, 2005). Dalam konteks pembelajaran keagamaan, pendekatan yang digunakan tokoh agama atau kiai terlihat lebih utuh dengan melibatkan aspek esoterik dalam memahami pesan agama. Satu di antara kegiatan keagamaan di wilayah pesisiran adalah pengajian Jamaah Muji Nabi (selanjutnya: JAMUNA) di area Pesantren Girikusumo, Mranggen Kabupaten Demak, asuhan KH. Munif Zuhri atau lebih akrab dipanggil Mbah Munif.

Mbah Munif merupakan mursyid Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah, kelahiran 5 Maret 1962 di Desa Girikusumo, Mranggen, Demak dan putra keempat dari pasangan Kiai Muhammad Zuhri dan Nyai Rofi’ah. Pengajian JAMUNA sendiri merupakan sebutan lain dari pengajian “maulid dibāʻ” yang didirikan pada 1990 dengan susunan acara seperti khatmu Alquran, pembacaan istigasah, maulid dibāʻ dan diakhiri dengan ceramah. Kegiatan yang dilaksanakan secara rutin tiap malam jumat dan dimulai pukul 21.00 sampai pukul 01.00 dini hari, semula hanya diikuti khusus santri Girikusumo sebelum akhirnya diikuti masyarakat luas mulai dari Kendal, Semarang, Demak dan beberapa kota lainnya. Setidaknya ada dua faktor yang membedakan pengajian JAMUNA ini dengan gerakan keagamaan lainnya yang lazim dilaksanakan kalangan muslim urban di perkotaan. Pertama, aspek pola periwayatan (transmition method) dan kedua aspek pendidikan tasawuf atau akhlak.

Baca Juga:  Umat Islam di Persimpangan Jalan

Pertama, pola periwayatan (transmition method) merupakan model pembelajaran tradisional laiknya pola pendidikan ala pesantren yakni membacakan salah satu kitab turāts (Jawa: Bandongan) dengan menafsirkan satu kata ke kata berikutnya untuk kemudian dijelaskan secara komprehensif. Pada setiap makna kitab yang dibaca baik pada malam Jumat maupun selainnya, Mbah Munif selalu menambahkan perspektif tasawuf dengan menjadikan Nabi Muhammad sebagai role model ayat atau Hadis sebelum akhirnya dikontekstualisasikan dengan kehidupan lokal masyarakat pesisiran. Cukup beralasan jika ribuan jamaah pengajian tersebut merasa termotivasi baik pengetahuan maupun moral keagamaannya. Pada wilayah keagamaan, pendekatan ini dinilai paling apik dan relevan atau setidaknya menjadi counter strategi terhadap proses pembelajaran keagamaan yang instan sebagaimana marak belakangan. Tidak saja pada pengajian JAMUNA, pendekatan demikian lazim dipraktekkan hampir pada semua pengajian di wilayah pesisir. Pada Pengajian Ahad Pagi misalnya dengan pola periwayatan, Kiai Haris membacakan Kitab Al-Hikām karya Ibn ʻAṭāillāh al-Sakandārī setelah dibacakannya Kitab Tafsīr Al-Ibrīz karya Kiai Bisri Mustofa. Karakter seremoni pengajian mereka dapat dicirikan seperti pembacaan tawasul dan istigāsah, tahlil dan pembacaan maulid Nabi/dibāʻī.

Kedua, pendidikan tasawuf pada Pengajian JAMUNA menjadi asupan utama dengan menjadikan teks baik Alquran maupun Hadis yang dibaca sebagai pintu masuk perenungan diri (Jawa:olah rasa) yang melibatkan pendidikan hati (Jawa: manah). Dalam memahami Hadis “baitī jannatī” misalnya, Mbah Munif memaknainya sebagai kondisi immateri. Ketulusan hati yang dimiliki setiap penghuni rumah merupakan cerminan surga itu sendiri meski ia hidup dalam bangunan gubug reyot sekalipun. Ketulusan hati ini dapat diukur dari sejauh mana tingkat sikap syukur dan sabarnya dalam menghadapi realitas pada satu sisi dan konsistensinya dalam melakukan ibadah salat pada sisi lain. Beberapa indikator ini merupakan cerminan dari kelayakan seseorang menyabet predikat orang yang beruntung sebagaimana QS. Al-Mu’minūn ayat 1 dan 2 yang berbunyi “qad aflḥa al-mu’minūn. Alladhīnahum fī ṣalātihim khāshiʻūn”.

Baca Juga:  Islamophobia dan Radikalisme Islam: Apakah Sebuah Ancaman?

Meski menjadi asupan tambahan, materi tasawuf selalu bersanding dengan materi utama yang berbeda. Jamaah yang mengikuti kegiatan tersebut selalu diberikan materi tentang syariah yang disertai dengan materi akhlak dan pembersihan jiwa (tazkīyah al-nafs). Konsekuensinya, jamaah pengajian tidak terpusat pada persoalan eksoterik atau fikihisme yang membincang halal dan haram dan melihat persoalan secara hitam putih. Paradigma biner ini berpotensi melahirkan ketegangan pemikiran yang dapat mengantarkan pada klaim kebenaran (truth claim) dan berujung pada perasaan paling benar (megalomania) dengan menegasikan pendapat lain. Pembacaan yang melibatkan hati (Jawa:manah) tersebut menjadi pembeda dari kajian atau gerakan keagamaan yang tidak memperkenalkan tradisi periwayatan dan sanad. [HW]

Agus Irfan
Alumnus S1 FAI Unissula 2008, S2 UMS 2012, S3 UIN Sunan Ampel 2019, Tadrib al-Lughah wad Du'at di Al Azhar Mesir 2019, dan Pendidikan Pasca Tahfidz di Pesantren Bait Alquran, Pondok Cabe PSQ Ciputat Tangerang Selatan, 2009.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini