Dibalik Kepemimpinan Wanita dalam Islam

Manusia diciptakan untuk menjadi mandataris Allah SWT untuk mengatur dan mengelola bumi. Perintah tersebut tidak dibatasi dalam jenis kelamin tertentu, melainkan perintah secara umum kepada seluruh umat manusia. Akhir-akhir ini banyak sekali yang membincangkan mengenai kepemimpinan wanita. Hal tersebut adalah hal yang wajar, karena dari dulu sampai sekarang wanita menjadi objek penelitian yang dinamis sampai saat ini. Khususnya dalam hal kepemimpinan yang melahirkan pro dan kontra baik dari kalangan ulama, cendekia, praktisi dan masyarakat pada umumnya.

Dengan mengajukan dalil QS. An-Nisa’ ayat 34 dan Hadis yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah bahwa tidak sah kepemimpinan wanita dan suatu bangsa yang mengangkat wanita sebagai pemimpin baik dalam dampak dunia maupun ukhrawi. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, sebagai kepala dan menguasainya. Karena itulah nubuwwah (kenabian) hanya dikhususkan kepada kaum laki-laki.

Mengenai pembolehan terhadap kepemimpinan wanita, juga mengacu kepada fakta sejarah yang telah terjadi. Diantaranya kepemimpinan Sayyidah Aisyah rah. dalam perang Jamal bersama para sahabat dan inilah yang menjadi bukti konkret kepemimpinan kaum wanita.  Jauh sebelum kisah Aisyah, terdapat kisah Ratu Bilqis yang hidup di zaman Nabi Sulaiman sebagai pemimpin wanita di Kota Saba’ yang adil, bijaksana dan tanggung jawab dalam kepemimpinannya. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an:

إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS:An-Naml: 23)

Kepemimpinan adalah suatu gerakan dalam mempengaruhi, mengajak orang lain yang sesuai dengan kompetensi dan kemampuan masing-masing untuk mencapai tujuan bersama. Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki jiwa kepemimpinannya masing-masing. Jiwa laki-laki yang identik dengan ketegasan dan kelugasan, dan jiwa perempuan dengan kelembutan dan kasih sayangnya. Maka bisa dikatakan bahwa kepemimpinan lahir dari proses internal leadership from the inside out, artinya keberhasilan seorang pemimpin tidak terlepas dari kepribadian maupun ilmu pengetahuan yang dimiliki dan juga didorong oleh keinginan menciptakan suatu perubahan dan kebaikan untuk orang banyak. Merujuk kepada hal itu, maka pada dasarnya peran dan fungsi wanita dan laki-laki adalah sama dalam hukum Islam. Allah SWT berfirman:

Baca Juga:  Islam yang Tidak (Mau) Dipahami

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS:An-Nisa: 124)

Lalu lebih utama mana, menjadi ibu rumah tangga atau ikut beraktivitas di luar rumah (bekerja, berkarir atau memimpin)?

Mahmud Syaltut dalam M. Quraish Shihab menyatakan bahwa kedudukan wanita dalam pandangan Islam sangatlah terhormat dan tinggi. Tak heran terdapat banyak ayat Alquran yang menjelaskan bahwa Allah telah menganugerahkan kepada laki-laki dan perempuan potensi dan tanggung jawab yang sama yaitu sebagai khalifah di muka bumi ini. Dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan tugas secara umum dan khusus.

Namun demikian, dalam Al-Qur’an dan Hadis telah menjelaskan bahwa kedudukan wanita yang paling utama adalah di dalam rumah. Dalam artian bahwa tugas wanita di dalam rumah lebih utama daripada tugas dan kewajiban di luar rumah baik itu aspek sosial, ekonomi maupun pemerintahan. Allah SWT berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS:Al-Ahzab: 33)

Dalam ayat tersebut menyatakan bahwa Islam mengatur sedemikian rupa bagaimana menempatkan posisi wanita yang tugasnya di luar rumah dianggap sebagai hal yang sekunder. Sedangkan tugas primernya telah dibebankan kepada laki-laki (suami). Tapi bukan berarti Islam mengharamkan wanita aktif di ranah sosial dan kepemimpinan seperti menjadi guru, dosen, politikus, direktris, muballighah, presiden, dan lain-lain, tetapi harus disesuaikan dengan karakter bawaannya, karena antara pria dan wanita baik secara normatif tekstual maupun realitas kontekstual telah banyak diketahui terdapat persamaan di samping perbedaan dalam hal-hal tertentu. Meskipun antara keduanya sesungguhnya saling melengkapi dalam ranah kehidupan. Hamka mengatakan bahwa baik di dalam rumah tangga atau dalam masyarakat umumnya, sangatlah terasa bahwa laki-laki dengan perempuan adalah saling melengkapi.

Baca Juga:  Strategi Dakwah Rasulullah Membentuk Masyarakat Baru

Menurut Buya Yahya, beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wanita sebelum menjalani aktivitas di luar rumah (berkarir atau memimpin), antara lain:

Tidak menghilangkan kewajiban kepada suami dan anak-anaknya.

Hak yang dimiliki seorang suami atas istri lebih besar daripada hak orang tua kepada anaknya. Sehingga wajib seorang istri memenuhi kewajibannya terlebih dahulu kepada suami sebelum melakukannya. Selain itu, perannya sebagai ibu tetap harus dijalankan, dengan menyandang gelar “madrastul ula” bahwa ibu harus menjadi teladan dan mendidik anaknya.

Tidak melakukan keharaman

Keharaman disini diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat menghilangkan kehormatan dirinya sebagai istri. Seperti, membuka aurat, bercampur dengan laki-laki yang bukan mahram, dan lain-lain. Maka pastikan ranah yang akan ditempati harus sesuai dengan syariat Islam dan terhindar dari perbuatan maksiat.

Pamit dengan cara yang baik

Poin ketiga ini sangat bersangkutan dengan terpenuhinya syarat kesatu dan kedua. Jika istri telah berkomitmen dan meminta izin dengan baik kepada suami akan rela hati memberikan ridha bahkan memfasilitasi istri untuk tugasnya tersebut.

Dengan demikian, dalam mengartikan teks Al-Qur’an haruslah dikaji tentang makna kontekstualitasnya. Surah An-Nisa ayat 34 bukanlah melarang wanita untuk ikut berkecimpung di ranah publik tapi ayat tersebut berbicara mengenai perannya sebagai istri yang setinggi apapun pangkat dan jabatannya tetap kedudukannya berada di bawah suami. Dalam catatan, dalam kondisi yang sangat menentukan (dlarurat) dan demi kemaslahatan bangsa dan negara, kaum wanita diperbolehkan menjadi pemimpin jika memiliki kredibilitas yang memadai. [HW]

Siti Junita
Mahasiswi Manajemen Pendidikan Islam Institut Agama Islam Negeri Jember

    Rekomendasi

    Sportif
    Hikmah

    Sportif

    Syahdan, ada dua orang wali. Wali pertama meyakini keutamaan syariat. Dia yakin hukum ...

    1 Comment

    1. […] bekerja adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam juga tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Perempuan