Wanita Berbisnis, antara Anjuran atau Polemik

Dalam era yang serba modern ini, kita dihadapi dengan segala sesuatu yang praktis dan kemudahan-kemudahan dalam kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain,  kita dihadapi dengan berbagai problematika kehidupan yang tentu nya perlu diteliti agar tidak menimbulkan kemudharatan bagi umat Islam.

Di zaman yang serba instan ini, bukan hanya dalam kondisi keseharian saja yang berubah mengikuti arus, tetapi juga dalam pemikiran tentang kedudukan seseorang antara satu dengan yang lainnya. Mereka berfikir setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban tersendiri sehingga perlu adanya kesamaan gender dalam kehidupan ini. Inilah yang dijadikan landasan oleh para wanita muslimah untuk melakukan bisnis, tujuannya yaitu agar mereka dapat memiliki penghasilan sendiri dan menanggung biaya keluarga sama halnya laki-laki.

Lalu, bagaimana fiqh menyikapi hal yang demikian?

Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin, semua telah diatur oleh Islam sedemikian rupa meski dalam hal yang sekecil apapun tanpa terkecuali. Selain itu, Islam juga mengikuti perkembangan zaman, termasuk dalam hal wanita. Kita sebagai umat muslim, harus memahami tentang kodrat wanita dalam Islam. Meski hukum negara mengatakan bahwa kita sama dalam hak dan kewajiban, tapi kita juga harus tahu kedudukan wanita dengan laki-laki dalam aturan Islam.

Dalam Islam, laki-laki dijadikan sebagai kepala keluarga, di pundak laki-laki ada tanggung jawab utama lahir batin keluarga. Islam juga sangat proporsional dalam membagi tugas rumah tangga, kepala keluarga diberikan tugas utama untuk menyelesaikan segala urusan di luar rumah, sedang sang ibu memiliki tugas utama yang mulia, yakni mengurusi segala urusan dalam rumah.

Norma-norma ini terkandung dalam firman-Nya:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Baca Juga:  Inilah Rekomendasi Hasil Silatnas Bunyai Nusantara 2

 “Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).

Begitu pula dalam firman-Nya dijelaskan:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

 “Hendaklah kalian (para istri) tetap di rumah kalian” (QS. Al-Ahzab:33).

Ahli Tafsir ternama Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan perkataannya: “Maksudnya, hendaklah kalian (para istri) menetapi rumah kalian, dan janganlah keluar kecuali ada kebutuhan. Termasuk diantara kebutuhan yang syar’i adalah keluar rumah untuk shalat di masjid dengan memenuhi syarat-syaratnya”

Berdasarkan ayat diatas, dapat kita pahami adalah bahwa seorang laki-laki harusnya menjadi kepala keluarga sebagai penanggung jawab utama urusan luar rumah, dan ibu sebagai penanggung jawab utama urusan dalam rumah. Tapi kita tidak boleh terpaku dalam ayat tersebut, karena zaman sudah berbeda, dan tatanan masyarakat juga berbeda maka dari itu kita perlu melihat sisi negatif dan positifnya dengan melihat ayat lain yang dapat menimbulkan kemaslahatan bersama.

Dalam Islam memang bekerja adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam juga tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.

Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan:

“Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan bisnis, karena Allah Jalla wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hamba-Nya untuk bekerja, dalam firman-Nya:

وَقُلِ اعۡمَلُوۡا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُوۡلُهٗ وَالۡمُؤۡمِنُوۡنَ‌ؕ

“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! Maka Allah, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“  (QS. At-Taubah:105) 

Perintah ini mencakup pria dan wanita. Allah juga mensyariatkan bisnis kepada semua hamba-Nya, karenanya seluruh manusia diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria maupun wanita, Allah berfirman :

Baca Juga:  Al-Qur'an dan Hak-hak Perempuan

 يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29)”

Ayat tersebut telah dijadikan landasan oleh sebagian ulama’ kontemporer dalam kebolehan wanita bekerja untuk membantu beban keluarga. Akan tetapi, kita juga tidak boleh menafikan kemudhatan yang akan timbul dari hal tersebut. Maka dari itu, ulama’ kontemporer memberi syarat-sayarat tertentu dalam kebolehan wanita dalam berbisnis atau bekerja.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi wanita dalam berbisnis yaitu:
  1. Bisnis atau pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utama sebagai seorang wanita karena sesuatu yang wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.
  2. Harus dengan izin suaminya atau mahramnya, karena istri wajib mentaati suaminya.
  3. Dijemput dan diantar oleh muhrimnya atau suaminya
  4. Menerapkan adab-adab Islami dalam bekerja atau berbisnis

Seperti : Menjaga pandangan, memakai hijab Syar’i, tidak memakai wangi-wangian, tidak melembutkan suaranya kepada pria yang bukan mahram, tidak bermudah-mudahan memasang foto wajah di social media apalagi yang bisa mengundang fitnah bagi kaum adam, tidak juga chatting dengan lawan jenis di luar konteks bisnis

  1. Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at sebagai seorang wanita

Seperti: mengajar, dokter, perawat, penulis artikel, buku, bisnis pakaian muslimah, bisnis katering dan bisnis-bisnis lainnya yang tidak keluar dari fitrahnya.

  1. Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam rumah. Jika tidak ada, baru cari pekerjaan luar rumah yang khusus di kalangan wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak boleh cari pekerjaan luar rumah yang campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya darurat atau keadaan sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu mencukupi kehidupan keluarganya, atau suaminya sakit, dan lain-lain
  2. Kalau pekerjaannya campur antara laki-laki dan perempuan, maka wanita tidak boleh berduaan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, meskipun dalam hal berbisnis sekalipun, harus ada orang ketiga yang mengawasinya.
Baca Juga:  Sayyidah Aisyah dan Keluasan Ilmunya #3

Dari pembahasan diatas, kita dapat simpulkan bahwa seorang perempuan boleh berbisnis atau bekerja untuk membantu nafkah keluarga dengan memenuhi syarat yang telah disebutkan diatas. Semoga kita dapat menjalankan syariat Islam dengan semangat dan selalu taat pada ajaran Allah Swt. Amiiin. Wallahu A’lam. []

Idris Andrianto
Mahasiswa Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Fakhri Al-Razi
    Kisah

    Fakhri Al-Razi (4)

    Ulama Rasionalis-Progresif Membaca karya-karya Fakhri al-Razi yang membentang luas, berjilid-jilid dan bermacam-macam itu, ...
    post power syndrome
    Opini

    Post-Power Syndrome

    Pada hakekatnya manusia bermula dari lahir, tumbuh dan berkembang mencapai puncak, menurun dan ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini