Selain menguatkan, cinta juga mampu mencerahkan. Kekuatan tersebut ada dalam energi cinta dan mutlak. Cinta, begitu disebut, ia semacam sinar yang akan memberi ruas cahaya yang memijar kepada siapa pun. Sedangkan asmara, ia laksana bara api yang dengan kobarnya siap melahap siapa pun. Namun pijar cinta tak seta-merta ditemukan dalam kerumunan dan khalayak masif.

Ritus kehidupan manusia modern yang teramat riskan bersentuhan dengan keramaian sudah menjadi rahasia umum. Apalagi kerumunan kerap kali bukan hanya dijumpai dalam rapat, pertemuan, kuliah umum atau festival-festival. Namun lebih dari itu kerumunan pula kerap telah terjadi dalam dunia maya yang kadang kali riuhnya melebihi dunia nyata sehingga membuat manusia modern menjadi gagap untuk bersikap dan bisu untuk berbuat dan bertindak.

Hal ini menjadi wajar karena kita terlalu menghabiskan hidup untuk memperjuangkan visi dan misi di keramaian. Terlalu terpesona dengan hal-hal tertentu sehingga membuat diri mesti bekerja keras banting tulang bahkan bila perlu kepala untuk meraih hal tersebut sampai lupa bahwa kehidupan manusia bukan soal keramaian dan hiruk pikuk semata. Manusia bukan cuman mereka yang memperjuangkan komunitas atau lembaga, manusia bukan hanya mereka yang bertarung habis-habisan melawan pesaing dagangnya, manusia juga bukan hanya mereka yang sibuk mengurusi kehidupan orang lain.

Ketika manusia hanya disibukkan dengan kegiatan di atas, maka jangan heran bila kita menemui ialah manusia yang ringkih serta rapuh akan mengalami tekanan batin, stres, bingung, kerap berkeluh kesah, atau bahkan temperamental dengan menyalahkan semua keadaan ketika dirinya kedapatan dirundung masalah jangankan dalam porsi banyak, dalam masalah yang receh pun manusia kerap menyalahkan keadaan.

Maka untuk menjaga stabilitas dalam diri dan konsitensinya, manusia perlu mencari cahaya cinta, ialah energi yang tak terpancar di keramaian. Sehingga sebagai manusia yang biasa disebut sebagai makhluk sosial, perlu menepi men-sunyi, mengasing, menarik diri, dan meninggalkan sejenak keramaian.

Baca Juga:  Khutbah Nabi di Bulan Ramadan

Menepi, yang dalam bahasa agama akrab disebut berkhalwat, yang dalam bahasa populer akrab disebut berkontemplasi atau bermeditasi adalah bukan sebuah kesalahan bagi manusia. Terlepas sebagian di kita menyebut kegiatan tersebut sebagai bentuk kesia-siaan semata, namun penilaian itu hanya sebatas sinisme yang tak memiliki landasan

Mari kita merentangkan pikiran ke masa lalu guna bertamasya edukatif. Dalam tradisi Islam kita mafhum dengan Nabi yang menyepi di gua demi mengontrol dirinya agar lebih bijak dan mencari cahaya cinta yang hakiki sehingga turunlah mukjizat Tuhan berupa ayat-ayat suci. Sebelum nabi, bangsa Arab pun sudah intim dengan kegiatan demikian untuk membuat diri lebih bersih dari sejumlah prasangka dalam hati manusia sehingga ketika menjalani hidup, mereka cenderung siap dengan segala sengkarut yang terperikan.

Dalam filsafat, kita mafhum menjumpai para filsuf dan terutama Sokrates menyepi meninggalkan keramaian. Mereka yang penat dengan pikirannya atau mengalami gejolak batin, akan mengambil jarang dengan sosial untuk memusatkan pikirannya dalam kesunyian dan suasana hening sehingga pikirannya dapat kembali pulih dan gejolak batinnya pun lekas rontok.

Pun dalam dunia filsafat, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali adalah seorang yang gemar menepi dari keramaian. Ia meninggalkan hiruk pikuk demi memusatkan dirinya kepada Tuhan, mempersembahkan egonya untuk di didik Tuhan agar lebih bijak. Dalam situasi yang seperti ini, Imam Al-Ghazali dapat mengalami mukasyafah dan terlebih beliau kerap kedapatan intuisinya terisi sehingga ilmunya tak sebatas yang zahiriah saja, namun pula yang batiniah.

Belajar dari mereka, yang dapat mengambil jarak dengan sosial dan hiruk pikuk hidup, maka kita sebagai manusia rasa-rasanya tepat bila di situasi seperti ini melakukan penepian diri daripada  mencaci maki keadaan yang tak kunjung habis dan malah hanya menimbulkan kelelahan di diri sendiri, maka menepi sembari mencintai diri sendiri adalah satu pekerjaan mulia.

Baca Juga:  Para "al-Ghazali Kecil" di Nusantara

Terlalu intim dengan keramaian yang hanya membuat manusia menjadi congkak dan angkuh ini mesti diimbangi dengan kesepian dan kesunyian agar jati diri manusia tak terkikis dan ia sebagai makhluk dapat berlaku arif. Sebab kesunyian diciptakan Tuhan agar manusia lebih intim mencintai dirinya sendiri, agar manusia mampu berdialog dengan dirinya secara mesra dan hangat. Dengan begitu ketika ia mencintai siapa pun ia tak takut kehilangan, mengapa? Karena ia mengerti dan paham bahwa sesuatu yang baik dirinya maupun di luar dirinya adalah tak lain sebatas semu dan kefatamorganaan semata. Kendatipun cinta sebagai energi atau kekuatan akan tetap bernyala pijar sebagai energi alamiah dari semesta.

Akhiru kalam, menjadi makhluk sosial tentu keniscayaan logis, namun menjadikan sosial sebagai pemberhalaan kehidupan dan terlampau sibuk di ruang sana tentu tak elok. Maka menyepi dan menyendiri adalah satu tindakan solutif dan efisien. Sebab, hidup perlu seimbang dalam porsi dan proposionalnya. Mereka yang tak seimbang hanya akan mendapatkan hampa dan kesemuan semata. Apalagi dalam bulan suci, berlaku suci dan sunyi dapat dilakukan sekaligus. Wallahu A’lam. [HW]

Teni Maarif
Mahasiswa UIN Raden Intan jurusan Pendidikan Agama Islam semester 7 sekaligus Mu’allim (Pengurus Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan)

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Hikmah