Biografi dan Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Tasawuf 

Taqi al-Din Ahmad bin Abd, Al-Halim bin Abdi Salam bin Taimiyah adalah nama lengkap dari seorang Ibnu Taimiyah. Lahir pada tanggal 22 januari 1263M (10 Rabiul Awwal 661) tepatnya di Haram. Abdal Halim adalah ayah dari Ibnu Taimiyah, Fakhruddin adalah pamannya. Sedangkan ulama besar dari mazhab Hambali yaitu Maduddin merupakan kakeknya. Diumur 7 tahun keluarganya mengungsi ke Damaskus pada tahun 1262 M, tepatnya menjelang kedatangan pasukan mongol. Tidak seperti anak pada umumnya, ibnu Taimiyah menyelesaikan pendidikannya di usia yang sangat muda. Pendidikan yang ia selesaikan diantaranya yaitu bidang tafsir al-Qur’an, Yurisprudensi (fiqih), Hadis nabi, Matematika, dan Filsafat. Pencapaian tersebut juga didukung dengan adanya guru-guru yang berjasa, seperti diantaranya yaitu Ibnu al-Yusr, Yahya bin al-Shairafi, al-Maqdisi, al-kamal bin abd Majid, Ahmad bin abu al-Khair dan guru-guru lainnya. (Amalia,1996:206)

Ibnu Taimiyah dikenal sebagai seorang pembaharuan, yang mana merupakan pengertian dari memurnikan ajaran Islam agar tidak tercampur dengan hal-hal yang berbau bid’ah. Adapun elemen Gerakan reformasinya yaitu: melakukan reformasi melawan praktek-praktek yang tidak islam, kembali ke arah prioritas fundamental dan semangat keagamaan yang murni dan memperdebatkan ajaran yang tidak fundamental dan sekunder, berbuat untuk kebaikan masyarakat umum melalui intervensi pemerintah dalam ikut serta menjaga mereka dari sikap eksploitatif dan mementingkan diri sendiri. (Amalia,1996: 206)

Deretan karya-karya Ibnu Taimiyah

Beliau membahas prinsip-prinsip pada masalah ekonomi dalam dua buku seperti pada sebelumnya yaitu: 1. Al-Hisbah fi al Islam (Lembaga Hisbah dalam Islam), disana beliau banyak membahas tentang pasar dan intervensi pemerintah dalam kehidupan ekonomi, sedangkan dalam buku keduanya yaitu 2. Al-Siyasah al syar’iyyah fi Ishlah al Ra’I wa al Ra’iyah (Hukum Publik dan Privat dalam Islam), dalam keryanya tersebut, beliau membahas tentang masalah pendapatan serta pembiayaan publik.

Ibnu Taimiyah juga mengemukakan pandangannya terhadap pasar bebas, dimana suatu harga dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan permintaan, beliau mengatakan bahwa naik turunnya sebuah harga tidak selalu berkaitan dengan kezaliman yang dilakukan seseorang. Mungkin alasannya adalah dengan adanya kekurangan dalam produksi atau mungkin penurunan impor dari barang-barang yang diminta. Jika kemampuan menurun sedangkan permintaan naik, maka harga akan naik dengan sendirinya. Sebaliknya, jika permintaan barang sedikit dan persediaan banyak maka harga barang akan turun. Kelangkaan dan kelimpahan tidak mungkin hanya disebabkan oleh satu orang saja. Mungkin saja berkaitan dengan ketidakadilan. (Taimiyah,1993:5832)

Tasawuf Menurut Pandangan Ibnu Taimiyah

Seperti para peneliti pada umumnya, Ibnu Taimiyah memiliki pandangan yang berbeda seputar awal sejarah kemunculan tasawuf. Menurut Ibnu Taimiyah istilah “sufi” telah ada sejak masa jahiliyyah. Beliau juga menyimpulkan bahwa istilah baru muncul pada awal abad 2 H. tetapi, penggunaannya baru terkenal setelah satu abad berikutnya.

Baca Juga:  Eksistensi Manusia dalam Perspektif Pendidikan Islam dan Tasawuf

Adapun berbagai pertanyaan yang lahir seperti contohnya: Apa “sufi” adalah kata asli bahasa arab atau kata asing yang ‘diarabkan’? kalaupun kata ini berasal dari kata asing, lalu dari mana bahasa tersebut? serta jika ia berasal dari bahasa arab, maka kata apa yang jamid atau musytaq?

Banyak sekali perdebatan yang muncul seputar asal pembentukan “Tasawuf” atau “sufi” hal ini tentu tak luput dari ulasan seorang Ibnu Taimiyah. Dalam ulasannya, beliau menguraikan pandangannya yang ada dalam permasalahan ini, tentu beliau juga mendiskusikannya dan kemudian menyampaikan pandangannya sendiri yang tentu disertai dalil dan argumentasinya. Berbagai pendapat bermunculan, umumnya kritik yang beliau lontarkan terkait dengan kaidah kebahasaan dalam penisbatan sebuah kata untuk kemudian menjadi “Sufi”. Meski demikian terkadang kritikannya juga terkait dengan wawasan tentang sejarah.

Pada akhirnya, Ibnu Taimiyah lebih menguatkan pandangan yang menyatakan bahwa “sufi” adalah sebuah penisbatan pada pakaian shuf ( صوف )bulu domba. Di samping karena alasan kaidah kebahasaan, dari segi fakta, para sufi dan zuhhad juga banyak mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba.

Ibnu Taimiyah juga memberikan sebuah catatan penting yang sudah sepantasnya kita renungkan. Beliau mengingatkan kita bahwa mengunakan sebuah model pakaian tertentu (seperti terbuat dari bulu domba) tidak dapat dijadikan tanda atau bukti kewalian seseorang. Ia juga mengatakan, bahwa para wali Allah tidak memiliki ciri yang khas. Mereka tidak menjadi beda ketika menggunakan pakaian yang memiliki model yang berbeda dengan orang lain.

Adapun kesimpulan lain yaitu, Ibnu Taimiyah lebih mementingkan ‘isi; dan; kandungan’ yang sesungguhnya daripada harus memastikan penampilan luarnya. Hal inilah yang menyebabkan dalam mengulas tentang tasawuf, beliau tidak terpaku pada istilah baku. Beliau menggunakan istilah Ashab al-Tashawwuf al-Masyru’ (pelaku tasawuf yang diisyaratkan). “Ashab al-Shufiyah” (pelaku dan pemilik hati), “Al-Salikin” (para penempuh jalan menuju Allah), Ashab al-Qalb” (pemerhati dan pemilik hati), “Arbab al-Ahwal” (para penempuh ahwal), “al-Zuhhad” (Kaum pelaku kezuhudan), dan “al-Fuqara” (kaum fakir). Untuk menunjukkan satu makna yakni para penempuh jalan rohani dalam islam, Ibnu Taimiyah melakukan hal tersebut. Ia juga menegaskan sebagaimana bahwa jalan ruhani ini sama sekali tidak menjadi monopoli kelompok tertentu. Para ulama, qurra’ dan yang lainnya pun dapat dikategorikan sebagai para penempuh jalan ini, sebab islam adalah sebuah keutuhan antara zhahir dan bathun, jiwa dan raga.

Sufi Menurut Ibnu Taimiyah

Menurut Ibnu Taimiyah, para sufi itu dapat dibagi menjadi 3 golongan:

  1.         sufi yang hakiki (shufiyyah al-haqa’iq)
  2.         sufi yang hanya mengharapkan rezeki (shufiyyah al-arzaq)
  3.         sufi yang hanya mementingkan penampilan (shufiyyah al-rasm)

Menurut Ibnu Taimiyah, Sufi yang sebenarnya adalah mereka yang berkonsentrasi demi ibadah menjalani kezuhudan di dunia. Mereka yaitu sekelompok orang yang memandang bahwa seorang sufi adalah “orang yang telah bersih (hatinya) dari kotoran, dipenuhi dengan adanya tafakur, serta yang menjadikan sama baginya nilai emas serta batu.”

Baca Juga:  Tasawuf Millenial: Mewujudkan Ekonomi Islam Berperadaban

Kelompok inilah yang diakui dan dijalani oleh Ibnu Taimiyah. Ia mengatakan tentang kelompok ini, “Sebenarnya kelompok ini adalah salah satu bagian dari ‘Shiddiqun’. Mereka merupakan ‘shiddiq’ yang memberikan perhatian kepada kezuhudan serta ibadah secara sungguh-sungguh. Maka seorang ‘shiddiq’ ada yang menjadi salah satu penempuh jalan ini, sebagaimana ada ‘shiddiq’ yang berasal dari kalangan ulama serta umara’. Ada jenis (manusia) ‘shiddiq’ lebih khusus dari pada (manusia) ‘shiddiq’ secara mutlak, akan tetapi masih berada di bawah para (manusia) ‘Shiddiq’ yang mana ke’shiddiq’annya lebih sempurna dari pada kalangan para sahabat, tabi’ tabi’in, serta tabi’in.

Adapun shufiyyah al-arzaq (yang hanya mengharapkan rezeki) adalah mereka yang bergantung pada harta-harta wakaf yang diberikan kepada mereka. Sedangkan shufiyyah al-rasm adalah sekumpulan orang yang merasa cukup dengan menisbatkan diri kepada sufi. Bagi mereka yang penting adalah penampilan dan perilaku lahiriah saja, tidak hakikatnya. Menurut Ibnu Taimiyah, mereka ini sama dengan orang yang merasa cukup berpenampilan seperti ulama, hingga menyebabkan orang bodoh menyangka mereka benar-benar ulama, padahal sebenarnya bukan.

Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah telah mencermati perkembangan Tasawuf dari waktu ke waktu. Beliau seperti menegaskan bahwa adanya semacam pergeseran dalam memahami Tasawuf yang sesungguhnya. Itulah sebabnya, sebagaimana telah disinggung sebelumnya- bagi Beliau, wali Allah yang hakiki itu tidak memiliki model penampilan khusus yang berbeda dengan kaum muslimin lainnya. Mengapa? Karena –menurutnya- para wali itu sebenarnya tersebar dan ada dalam setiap kelompok dan lapisan masyarakat yang berpegang teguh pada Syariat Allah yang benar dan meninggalkan bid’ah. Mereka ada di tengah para ulama, qurra’, prajurit yang berjihad, atau profesi-profesi lainnya. Para wali itu bergerak menunaikan kewajiban duniawi mereka dengan tidak melepaskan penghambaan mereka kepada Allah Ta’ala.

Pengaruh tokoh terhadap ulama sufi lainnya

Beberapa pengaruh Ibnu Taimiyah terhadap beberapa tokoh dibawah ini:

  1. Pengaruh terhadap tokoh Nurcholis Madjid

Bagi Nurcholis Madjid, pemikiran Ibn Taymiyyah menjadi sesuatu yang doktrinal bagi banyak sekali gerakan pembaruan Islam zaman modern, baik yang fundamentalistik maupun yang liberal. Kuatnya pengaruh pemikiran Ibn Taymiyyah tercermin pada gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Bagi Nurcholis Madjid, pemikiran Ibn Taymiyyah menjadi sesuatu yang doktrinal bagi banyak sekali gerakan pembaruan Islam zaman modern, baik yang fundamentalistik maupun yang liberal. Selain itu, kritik Ibn Taymiyyah terhadap Kalam dan Falsafah dilakukan dengan kompetensi keilmuan Islam yang helenistik.

  1. Pengaruh terhadap tokoh Muhammad ibn Abd al-Wahab
Baca Juga:  Tuhan Aku Ingin Bahagia, Bukan Kaya

Ada dua macam keberhasilan Muhammad ibn Abd al-Wahab dan pergerakannya. Pertama, membentuk sebuah simbiosis mutualisma dengan Muhammad ibn Saud yang kemudian berhasil mendirikan sebuah negara Islam periode awal yang diberi nama al-Mamlakah al- ‘Arabiyyah al-Su‘udiyyah dan Muhammad ibn Sa‘ud menjadi rajanya yang pertama. Kedua, Wahabisme menjadi mazhab resmi negara dan Muhammad ibn Abd al-Wahab memiliki dukungan politik yang sangat kuat untuk menyiarkan ajaran-ajarannya di seantero negeri.

Dengan adanya Pemikiran yang diberikan Ibnu Taimiyah membawa penawaran tentang solusi Negara, yakni menjadi supervisor moralitas pembangun untuk menyadarkan rakyatnya bahwa betapa pentingnya nilai etika dan normal moral sebagai asa pembangunan dan dapat mewujudkan dalam kehidupan perekonomian. Hasil dari renungan dan pemikiran beliau sangat tidak terbatas seperti pada ekonomi saja, bahkan beliau bisa mencakup Sebagian aspek kehidupan dalam Negara dan agama. []

DAFTAR PUSTAKA

Afrohah. “Fundamentalisme: Korelasi Ideologi Fundamentalisme Dengan Ideologi Gerakan Islam Modern.”
Al-Tahrir 18, no. 1 (2018). Ahmad, La Ode Ismail dan Muhammad Amri. “Epistemologi Ibn Taymiyyah Dan Sistem Ijtihadnya Dalam Kitab Majmu Fatawa Dalam Jurnal.” Al-Ulum Vol. 19, no. I (2019).
Baso, Ahmad. NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam Dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Jakarta: Erlangga, 2006.
Black, Antony. The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present, terj. Abdullah Ali “Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi hingga Masa Kini”, Jakarta: Serambi, 2006
Ikhsan, Muhammad dalam “Tasawuf Ibnu Taimiyyah Mengurai Sikap dan Pandangan Ibnu Taimiyyah yang Sesungguhnya terhadap Tasawuf. Internet up-date tanggal 30 April 2010 pukul 06.00
Mulkhan, Munir. “Agama Publik dalam Sufisme dan Titik Balik Perkembangan Islam” dalam Jurnal Media Inovasi no 3 TH. X/2001
Muslim, Balyta. Imam Ibnu Taimiyah dan Sufisme Tue, 31 Jul 2007 02:17:17 -0700, up-date tanggal 30 April 2010 pukul 06.00
Taymiyah, Ibn. Minhāj Al-Sunnah Al-Nabawiyah Fi Naqdh Kalām Al-Syi’ah Wa’lQadariyah. I-IV. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, n.d. Taymiyyah, Ibn. Majmu’ Rasa’il Wa Masail. IV. Cairo: Al-Hisbah., n.d.
Washil, Izzuddin dan Ahmad Khairul Fata. “Pemikiran Teologis Kaum Salafi: Studi Pemikiran Kalam Ibn Taymiyyah.” Ulul Albab 19, no. 2 (2018).
Washil, Izzuddin dan Ahmad Khairul Fata. “Pemikiran Ibn Taymiyyah Tentang Shari’ah Sebagai Tujuan Tasawuf.” Teosofi: Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam 7, no. 2 (2017).

Nur ‘Aisya Jaffa Zaida
Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama