Eksistensi Manusia dalam Perspektif Pendidikan Islam dan Tasawuf

Ada satu istilah yang cukup menarik dalam pembahasan tentang manusia. Istilah tersebut adalah ‘insan kamil’. Ditelisik secara harfiah, istilah tersebut berasal dari dua kata, yakni insan (manusia) dan kamil (sempurna). Insan kamil merupakan satu istilah yang disematkan pada manusia yang memiliki kesempurnaan wujud dan pengetahuan. Kesempurnaan wujud insan kamil tersebut merupakan pancaran dari kesempurnaan citra Allah swt. Sementara itu, kesempurnaan pengetahuannya didapat apabila ia mampu menyadari kesatuan esensinya dengan Allah swt. Keadaan ini masyhur disebut dengan ‘makrifat’.

Insan kamil memiliki beberapa ciri khusus yakni.

  • Akal yang berfungsi secara optimal. Manusia dikatakan memiliki akal yang optimal apabila dirinya mengetahui seluruh perbuatan baik seperti jujur, adil, mengedepakan akhlak karimah dan merasa harus mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari meski tanpa perintah wahyu.
  • Berfungsinya intuisi. Ibn Sina berpendapat bahwa intuisi merupakan jiwa manusia itu sendiri. Apabila dalam diri seseorang intuisi menjadi yang paling dominan, maka derajatnya bisa lebih tinggi daripada malaikat.
  • Mampu menciptakan budaya. Dalam sudut pandang Ibn Khaldun, manusia tak hanya menjalani kehidupan dengan kemampuan berpikirnya, tapi juga menempuh berbagai cara untuk mendapat makna dari kehidupan. Proses tersebut di kemudian hari melahirkan sebuah peradaban.
  • Menghiasi diri dengan sifat-sifat ketuhanan.
  • Berakhlak mulia
  • Memiliki jiwa yang seimbang. Hal ini bisa didapat dari pemenuhan terhadap kebutuhan material dan spiritual.

Setiap manusia memiliki tanggung jawab―setidaknya untuk diri sendiri. Musababnya karena manusia telah ditunjuk langsung oleh Allah swt sebagai khalifah. Tanggung jawab manusia terhadap diri sendiri setidaknya ada tiga. Pertama, manusia wajib mencari ilmu; di sini manusia ditempatkan sebagai makhluk yang dapat dididik sekaligus dapat mendidik. Kedua, menjaga diri dari segala sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan dan bahaya; ini bisa dilakukan dengan memakan makanan yang halal dan berolahraga untuk menjaga kesehatan fisik. Ketiga, berperilaku baik (entah dalam interaksi vertikal maupun horizontal).

Baca Juga:  Imam Al Ghazali dan Nasihatnya

Kaitannya dengan pendidikan, di atas telah disinggung bahwa manusia adalah makhluk yang dapat mendidik dan dididik. Dalam perspektif pendidikan Islam, ada tiga hal pokok yang berkaitan dengan eksistensi manusia. Pertama, manusia sebagai pendidik. Terdapat beberapa istilah dalam bahasa Arab yang bersinggungan dengan istilah pendidik/guru. Contohnya yakni al-‘alim atau al-mu’allim (orang yang mengetahui), ulu al-albab, al-rashihuna fi al-‘ilm, ulu al-nuha, ulu al-abshar, dan al-mudzakkir. Orang tua menempati posisi ‘pendidik qudraty’ yang mana mereka menerima amanah secara langsung untuk mendidik anak-anaknya. Selain orang tua, pihak yang juga berperan sebagai pendidik adalah orang-orang yang memiliki keluasan pengetahuan dan keluhuran kepribadian. Dalam al-Qur’an, mereka disebut sebagai ahl al-dzikr dan ‘ulama. Allah swt memerintahkan supaya bertanya kepada mereka (ahl al-dzikr dan ‘ulama) apabila menemukan sesuatu yang pelik dan belum terlalu dipahami oleh orang awam.

Kedua, manusia sebagai peserta didik. Ada yang berpandangan bahwa peserta didik adalah manusia yang belum dewasa, oleh sebab itu ia membutuhkan arahan dan bimbingan pendidik untuk menuju kedewasaan. Namun, pada dasarnya setiap manusia adalah peserta didik karena Allah swt sendiri adalah pendidik bagi seluruh makhluk-Nya. Saat menjalankan peran sebagai peserta didik, ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan manusia. Kewajiban-kewajiban tersebut yakni [1] niat belajar untuk mendekatkan diri kepada Allah swt; [2] berkenan mencari ilmu meski harus meninggalkan wilayah asal; [3] menghormati guru; [4] tidak merepotkan guru; [5] tidak menipu guru; [6] bersungguh-sungguh; [7] tidak menabur kebencian pada sesama peserta didik; [8] memiliki kemauan untuk menuntut ilmu hingga akhir hayat.

Ketiga, implikasi manusia terhadap pendidikan Islam. Selain sebagai pendidik dan peserta didik, manusia juga menempati peran lain dalam pendidikan. Sebagai contoh, manusia sebagai pengelola pendidikan, evaluator pendidikan, atau manajerial pendidikan. Dilihat dari sini bisa dipahami bahwa manusia memiliki peran yang banyak sekaligus penting dalam pendidikan. Hal ini juga bisa dilihat dari proses perumusan seluruh komponen pendidikan (mulai dari visi-misi hingga kurikulum), yang mana seluruhnya berdasar pada pandangan atau pemikiran manusia. Peran penting manusia dalam pendidikan ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang ada dan keberadaannya terus mengalami serangkaian proses ‘menjadi’. Dalam proses tersebut, manusia berjalan menuju arah kesempurnaannya (atau sesuatu yang dianggap sempurna).

Baca Juga:  Perbedaan Pemahaman Manusia Terhadap Al-Qur'an

Lantas, bagaimana posisi manusia dalam tasawuf?. Sebelum ke sana, tampaknya perlu diulas terlebih dahulu problematika yang melingkupi tasawuf. Terdapat pandangan yang kontradiktif terhadap keberadaan tasawuf. Pada satu sisi, tasawuf dianggap sebagai faktor penyebab kemunduran umat Islam. Hal ini didasarkan pada dugaan bahwa tasawuf mengajarkan kepasifan dan apatisme terhadap eksistensi manusia. Namun, di sisi lain tasawuf justru dipandang sebagai upaya mempertahankan prinsip-prinsip agama dan kemanusiaan di tengah badai ketidakmenentuan arah kehidupan manusia.

Tasawuf memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki kedudukan tinggi di hadapan Allah swt. Tasawuf mengulas kemungkinan manusia ‘mendekati’ Allah swt. Para sufi berpendapat bahwa memang benar Allah swt berbeda secara esensial dari manusia dan seluruh makhluk ciptaan-Nya, tetapi hal tersebut bukan berarti Allah swt tidak dapat didekati oleh manusia. Tanda-tanda Allah swt yang tampak pada alam semesta menjadi indikasi bahwa Allah swt sebenarnya ‘mengizinkan’ manusia untuk mendekati-Nya. Menurut para sufi, manusia dapat mendekat kepada Allah swt secara ruhaniah.

Upaya mendekat kepada Allah swt di atas suatu saat akan mencapai titik final. Imam al-Ghazali menyebut titik final tersebut dengan ma’rifatullah. Secara sederhana, ma’rifatullah adalah puncak kepuasan pengetahuan manusia di mana ia telah mengetahui Allah swt. Ma’rifatullah bisa dikatakan sebagai jawaban atas semua pencarian manusia terhadap kepuasan dan kebahagiaan. Ma’rifatullah bisa didapat apabila manusia telah melewati persaksian hati yang sangat meyakinkan (musyahadah al-qalb). Imam al-Ghazali berpendapat bahwa apabila seseorang telah mencapai titik ma’rifatullah, ia akan merasakan kebahagiaan yang begitu sulit dilukiskan. Sayangnya, tak semua manusia bisa mencapai titik ma’rifatullah. Wallahu a’lam.  []

Sumber Rujukan

Asmaya, Enung. “Hakikat Manusia dalam Tasawuf Al-Ghazali”, Komunika: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, vol. 12, no. 1. Januari-Juni 2018.

Baca Juga:  Ketika Manusia Harus Memilih

Hamzah, Andi Abdul. “Eksistensi Manusia dan Tugas Pokoknya dalam Tinjauan Pendidikan Islam”, Ash-Shahabah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, vol. 1, no. 2. Januari 2015.

Lidinillah, Mustofa Anshori. “Eksistensi Manusia dalam Perspektif Tasawuf”, Jurnal Filsafat, vol. 33, no. 1. April 2003.

Syakban, Ismail. “Eksistensi Manusia Perspektif Pendidikan Islam”, Jurnal Kajian dan Pengembangan Umat, vol. 2, no. 1. 2019.

Mohammad Azharudin
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya dan Alumni Pondok Pesantren Miftachussa'adah Genteng, Banyuwangi.

    Rekomendasi

    akibat-pikiran-cingkrang
    Opini

    Mentas dari Kegagalan

    Kesuksesan yang diraih melewati kegagalan merupakan bukti kemampuan menemukan anugerah yang terpendam” – ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini