Opini

Tuhan Aku Ingin Bahagia, Bukan Kaya

Harta merupakan salah satu bagian yang banyak dicari oleh manusia. Bahkan tidak banyak pula yang memberikan standar suksesnya seseorang adalah dengan memiliki harta yang banyak. Seolah-olah harta sudah menjelma menjadi berhala baru untuk umat manusia dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Tidak berhenti di situ  kegilaan manusia untuk mendapatkan harta yang banyak mengibaratkan bahwa manusia akan hidup selamanya sehingga menjadikannya tidak berhenti untuk terus memperbanyak harta benda.

Harta menjadi prioritas utama pada hidup manusia, disebabkan karena pandangan bahwa dengan banyaknya harta hidup bisa bahagia. Hal ini salah, karena kayanya seseorang dinilai dari hatinya bukan dari banyaknya harta bendanya, seperti sabda Nabi Muhammad SAW:

“Kekayaan tidaklah diukur dengan banyaknya harta, namun kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari dan Muslim; dari Abu Hurairah).

Yang dimaksud dengan kekayaan hati disini adalah qana’ah. Dalam maqolah lain juga dijelaskan bahwa seseorang yang mencari kekayaan dalam banyaknya harta, ternyata ditemukan dalam qana’ah. Ada pula pendapat lain yang menjelaskan bahwa ketika seseorang berdo’a untuk meminta harta yang berlimpah, maka seseorang tersebut akan tersadarkan bahwa yang dimaksud adalah kesehatan.

Maksudnya, buat apa memiliki televisi harga 1 miliyar jika mata tidak bisa melihat?, buat apa memiliki rumah yang mewah jika tubuh lumpuh total?, buat apa memiliki harta seisi dunia jika kesehatan tidak dimiliki?. Seperti yang dijelaskan oleh sebuah maqolah lain, seseorang yang mencari kelezatan-kelezatan dalam kenikmatan, ternyata ditemukan dalam badan yang sehat.

Namun demikian bukan berarti menjadi kaya itu tidak boleh. Qona’ah yang dimaksud adalah menerima pemberian Allah dengan senang hati (menerima apa adanya). Jika dengan banyaknya harta senantiasa menjadikan seseorang qona’ah maka itu akan sangat dianjurkan, lebih-lebih kekayaan tersebut bisa menjadikan seseorang lebih giat dalam menjalankan ibadah atau memperbanyak amalan-amalan ibadah yang lain maka itu akan lebih baik.

Baca Juga:  Warisan Intelektual Ulama Sunda-Banten "Raf'u al-Hijab"

Akan tetapi, jika dengan banyaknya harta menjadikan seseorang tidak pernah puas, sehingga ingin terus menambah kekayaannya sampai-sampai tidak merasa senang dengan semua harta yang dimiliki karena masih merasa kurang hal inilah yang tidak diperbolehkan. Ketahuilah bahwa yang demikian itu adalah nafsu.

Nafsu bisa menjadikan seorang raja menjadi budak. Dan mengekang nafsu dengan sabar bisa menjadikan budak menjadi raja. Bahkan orang yang selalu menginginkan kebebasan akan menjadi budak dari keinginannya untuk bebas, sejatinya orang tersebut telah masuk penjara setalah kebebasan didapatkannya, karena harus menuruti semua nafsu yang mengatasnamakan kebebasan, bukankah yang demikian itu adalah budak yang harus mengikuti perintah tuannya meskipun orang tersebut adalah raja. Sedangkan orang yang qona’ah, menerima dengan senang hati terhadap apa yang telah dimilikinya sehingga menarik sifat sabar akan menentukan hal-hal apa saja yang akan menjadikannya bahagia atau tidak, bukankah yang demikian itu adalah raja yang mengatur nafsu sebagai budaknya meskipun orang tersebut adalah budak.

Bukti bahwa kayanya hati dengan sifat qona’ah melebihi banyaknya harta benda adalah bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Senyummu di depan saudaramu, adalah sedekah bagimu” (Sahih, H.R. Tirmidzi no 1956). Senyuman merupakan ekspresi dari perasaan senang yang sedang dialami seseorang. Orang kaya yang sedang sedihpun akan sangat iri melihat orang yang berseri-seri wajahnya sekalipun orang tersebut miskin. Dan tidak sedikit orang yang murung menjadi lebih baik setelah diberikan senyuman oleh seseorang.

Selain itu qona’ah juga akan menarik sifat syukur, dan ketika syukur sudah dirasakan seseorang maka perasaan bahagia akan bertambah berkali-kali lipat. Allah SWT telah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim 14: Ayat 7).

Baca Juga:  Eksistensi Manusia dalam Perspektif Pendidikan Islam dan Tasawuf

Hingga ujung dari sifat qona’ah tersebut bisa menarik sifat ikhlas yang menjadikan diri menjadi tenang. Karena qona’ah yang menerima dengan senang hati pemberian dari Allah, juga menyadarkan bahwa sejatinya manusia tidak memiliki apa-apa. Bahkan untuk mendapatkan kenikmatan yang diberikan oleh Allah manusia menggunakan kenikmatan lain yang telah diberikan oleh Allah untuk mendapatkannya, seperti untuk mendapatkan rezeki dari Allah berupa uang, manusia menggunakan anggota tubuh yang telah diberikan oleh Allah untuk bekerja. Lantas bagian mana yang tidak bisa menjadikan seseorang untuk menjadi ikhlas sedangkan manusia benar-benar tidak memiliki apa-apa dan hanya Allah yang memiliki segalanya. Allah SWT berfirman: “Dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 189).

Pemikiran-pemikiran manusia yang menuruti nafsu yang mempersulit seseorang untuk bisa berfikir dengan jernih. Ketahuilah bahwa dunia itu seperti bayangan, jika seseorang mengejar bayangan maka akan semakin menjauh bayangan tersebut. Namun bukankah adanya bayangan tersebut disebabkan adanya cahaya dan ketika seseorang mengejar cahaya tersebut maka bayangan tadi akan mengikutinya.

Keikhlasan yang menjadikan manusia tenang dan bahagia dalam menjalani kehidupan memunculkan perasaan ridha terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Yang menunjukkan jiwa yang beriman yaitu jiwa yang ridha dan merasa puas. Hingga ketika mati datang untuk menjemput terdengarlah seruan “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”. Wallahua’lam.

Gagas Juneki Hermawan
Pondok Pesantren Anwarul Huda.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini