Bersegeralah menuju Sajadah Tuhan

Aktivitas kehidupan manusia dipengaruhi oleh latar belakang yang berbeda-beda. Setiap hari mereka bekerja dengan profesinya masing-masing. Ada yang berjalan kaki, mengayuh sepeda angin, motor hingga yang menggunakan mobil super mewah. Ada pedagang asongan, kaki lima, tukang parkir, tukang pentol, tukang becak, gojek online, pedagang keliling, pegawai, para pejabat, hingga konglomerat. Semua itu tiada lain hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti makan dan keberlangsungan hidup di masa mendatang. Na’udzu billah sampai ada yang rela melakukan pekerjaan yang dilarang oleh agama dan aturan negara bahkan ada yang nekat mempertaruhkan nyawanya demi sesuap nasi.

So, semua itu adalah bagian dari drama kehidupan di dunia yang tidak luput dari peran protagonis dan antagonis atau baik dan buruk. Peran baik (good) dan buruk (bad) adalah pilihan takdir yang telah diskenariokan oleh Tuhan. Manusia hanya aktor wayang yang dijalankan Sang Dalang sehingga kita tidak perlu menyalahkan siapapun dalam  kondisi apapun, namun manusia bukan seutuhnya wayang benda mati yang tidak dibekali akal.

Manusia dalam satu sisi ibarat wayang yang harus tunduk pada perintah Sang Dalang tapi di sisi yang berbeda manusia dibekali akal agar bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk sesuai dengan naskah perjanjian takdir sebelum pemilihan aktor. Maka dari itu sebelum pementasan wayang kehidupan di tutup dan berakhir, bersegeralah menuju sajadah Tuhan untuk mendapat Surga yang dirindukan.

Kenapa harus Sajadah? Dilihat dari segi substansi, kata Sajadah berasal dari kata Bahasa Arab yang terdiri dari akar kata ‘sajada’ yang memiliki arti sebagai ‘masjed’ atau ‘masjid’ dan ‘sujud’. Sejarah Sajadah pada awalnya merupakan satu jenis karpet yang diproduksi di daerah Asia Tengah dan Asia Barat. Karpet doa ini digunakan oleh umat Islam untuk menutupi tanah ataupun lantai yang kosong saat mereka akan mendirikan ibadah shalat. Adapun ujung dari karpet doa ini selalu diarahkan ke Mekah, Saudi Arabia, yang merupakan pusat atau kiblat bagi seluruh umat Muslim di dunia.

Baca Juga:  Ramadhan: Madrasatul Hayat

Rekonstruksi dari rentetan retorika kalimat-kalimat di atas, penulis mencoba untuk memaknai bahwa setelah melakukan segala urusan atau suatu pekerjaan apapun maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan kita adalah bergegas segera menuju tempat persujudan sebagai bentuk kepasrahan diri kepada-Nya, yang melakukan pekerjaan baik semoga terus diistikamahkan dalam kebaikannya, sedangkan mereka yang melakukan pekerjaan tidak baik semoga disadarkan kembali untuk melakukan amal kebaikan. Karena pada dasarnya manusia diciptakan dalam fitrah (bentuk dan keadaan yang baik) sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:

كل مولود يولد على الفطرة، فأبواه أو يهوّدانه أو يمجّسانه ينصرانه

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang membuatnya menjadi Yahudi atau Majusi atau Nasrani.” (HR. Bukhari No. 1319. Muslim No. 2658).

Selain itu, penulis menemukan sebuah ungkapan, “Sujud itu indah, kau berbisik ke bumi tapi didengar di langit”. Merupakan sebuah keajaiban bagi setiap orang yang melakukan sujud namun kadang tak terasa bagi kita bahwa hal ini penuh dengan eksentrik yang sangat luar biasa. Ungkapan ini menunjukkan betapa indah dan istimewanya orang-orang yang tak pernah lupa akan sujudnya, mengakui kelemahan dirinya dan percaya atas kuasa-Nya.

Terdapat pula ungkapan berbahasa Jawa dari K.H. Abdullah Faqih, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan, “Golek ndunyo karo amal akhirat iku olo banget. Golek ndunyo karo amal ndunyo iku wes lumrah. Golek akhirat kelawan amal ndunyo iku sing paling apik (mencari dunia dengan aktivitas akhirat itu buruk sekali. Mencari dunia dengan aktivitas dunia itu sudah biasa. Mencari akhirat dengan aktivitas dunia itu baru yang terbaik)”.

Imam as-Syafi’i juga mengatakan, “Jadikan akhirat dihatimu, dunia di tanganmu dan kematian dipelupuk matamu”.

Baca Juga:  Beginilah Ulama Kita Memanfaatkan Waktu

Demikian pula ketika membahas hal-hal yang berkaitan dengan urusan duniawi maka patut pula dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita semua tentang apa yang telah disampaikan oleh Habib Umar bin Hafidz yaitu janganlah kamu menanggung kebingungan dunia karena itu urusan Allah. Janganlah kamu menanggung kebingungan rezeki karena itu dari Allah. Janganlah kamu menanggung kebingungan masa depan karena itu kekuasaan Allah. Yang harus kamu tanggung adalah satu kebingungan yaitu bagaimana Allah ridha kepadamu. Semoga tulisan ini bermanfaat. [HW]

M Rofii
Santri Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan, Mahasiswa STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah