Ramadhan: Madrasatul Hayat

Ramadhan secara bahasa berarti panas. Di musim yang panas ini umat Islam diwajibkan untuk berpuasa. Ibadah puasa sendiri dapat dikatakan sebagai implementasi keimanan yang tinggi tingkatannya. Tak ada yang benar-benar tahu seseorang berpuasa, melainkan dirinya sendiri dan Allah semata. Ia punya kesempatan untuk mencuri-curi bersembunyi membatalkan puasanya, namun lebih memilih untuk menahan diri hingga Maghrib tiba.

Tidak heran jika kemudian Allah sendiri berjanji yang akan menentukan kadar pahalanya. Lihat kembali dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Kalau ibadah yang lain memiliki nilai antara sepuluh hingga tujuh ratus pahulunya, lain halnya dengan puasa. Allah mengkhususkannya. Bahkan Rasulullah Saw menggolongkan ibadah puasa sama dengan zuhud dunia di makam al-mubahah (yang dibanggakan). Hal ini dinarasikan oleh Al-Ghazali dalam Ihya’-nya:

وَقَدْ جَمَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ رُتْبَةِ الْمُبَاهَاةِ بَيْنَ الزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا وَبَيْنَ الصَّوْمِ فَقَالَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُبَاهِي مَلَائِكَتَهُ بِالشَّابِ الْعَابِدِ فَيَقُوْلُ أَيُّهَا الشَّابُّ التَّارِكُ شَهْوَتَهُ لِأَجْلِيْ الْمُبَذِّلُ شَبَابَهُ لِيْ أَنْتَ عِنْدِيْ كَبَعْضِ مَلَائِكَتِيْ

Sungguh Allah memamerkan kepada para malaikat akan keberadaan seorang pemuda beriman yang meninggalkan syahwatnya karena Aku. Dia pemuda yang mengerahkan kekuatannya untuk Ku. Engkau dihadapanKu sebagaimana sebagian malaikat Ku.

Ramadhan ini ibarat sekolah. Keduanya adalah lembaga pendidikan untuk mengarahkan perbaikan kedepannya. Sekolah yang sebenar-benarnya. Ketika sedang bersekolah kita tidak dipekenankan untuk makan, minum, tidur dan aktivitas lain sebagainya meskipun itu boleh-boleh saja. Kita diwajibkan untuk fokus pada apa yang disampaikan guru untuk memaksimalkan hasilnya. Ketika berpuasa, meskipun itu makanan atau minuman milik kita sendiri, tapi kita bersabar menahan diri hingga waktu yang ditentukan tiba.

Jenjang Kelas dalam berpuasa

Dalam hal berpuasa Al-Ghazali mengklasifikasikannya ke dalam tiga tingkatan berdasarkan peringkatnya; puasa awam, puasa khusus dan puasa khususul khusus. Pertama puasanya orang awam. Mereka berpuasa dengan menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa secara syariat.

Baca Juga:  Sinergikan Madrasah Diniyah Nahdlatul Ulama dengan Pesantren

Kedua, puasanya orang yang khusus. Jenis kedua ini bukan hanya puasa secara syariat, melainkan juga menahan pendengarannya, penglihatannya, lisan, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya dari melakukan dosa. Tingkatan teraatas ada cara berpuasanya orang yang sangat sangat khusus. Mereka ini very very important person. Puasanya, selain menahan diri dari yang membatalkan puasa dan mencegah anggota tubuh berbuat dosa, mereka juga menjaga hatinya.

Orang jenis ketiga ini menghindari hati mereka memikirkan dunia, menginginkan sesuatu yang hina, berharap pada selain Allah Swt. Puasa mereka dianggap batal apabila berpikir pada selain-Nya. Juga memikirkan perkara dunia, kecuali perkara dunia yang dipergunakan untuk bekal akhirat. Tak heran jika para sufi berpendapat bahwa barang siapa yang mempergunakan siang hari puasanya untuk keperluan berbukanya, maka hal itu dicatat sebagai sebuah kesalahan. Hal ini termasuk tindakan ketidakpercayaan atas anugerah-Nya.

Zakat Fithrah: Saleh ritual dan Saleh sosial

Penilaian akhir dari sekolah Ramadhan adalah menunaikan zakat fitrah. Tidak terbatas pada ibadah kepada Allah, melainkan juga dituntut untuk memiliki kepekaan sosial. Pada hari raya Idul Fitri nanti semua makhluk adalah menjadi tamu dan sedang dalam suguhan-Nya. Rasulullah Saw. bersabda: “Kayakanlah mereka, sehingga tidak meminta-minta pada hari –raya- ini”.

Orang-orang miskin butuh uluran tangan dari orang kaya untuk memenuhi kebutuhannya. Akan tetapi agar puasa sebulan Ramadhannya diterima, orang kaya atau mereka yang berkecukupan membutuhkan ‘syafaat’ dari kaum fukara, sehingga mereka diperintahkan untuk menyisihkan sebagian hartanya kepada mereka yang tak berpunya.  “Ambillah tangan-tangan ‘pertolongan’ ku dari para fukara, karena mereka memiliki kerajaan pada hari kiamat”

Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa ‘diterimanya amal puasa adalah bergantung pada dikeluarkannya zakat fitrah’. Zakat fitrah mampu mengangkat derajat puasa, sebagaimana sholawat mampu mengangkat doa. Keimanan dapat diangkat oleh amal saleh, dan amal diangkat oleh ikhlas yang merupakan salah satu rahasia di antara rahasia Allah Swt., yang dititipkan pada hati hamba-Nya.

Baca Juga:  Menjadi Baik
Lailatul Qodar: Sebuah reward istimewa

Yang namanya reward ya diberikan setelah seseorang mampu menyelesaikan challenge yang tidak mudah. Hikmah dari disamarkannya keberadaan malam Lailatul Qodar adalah sama dengan hikmah dirahasiakannya kapan waktu meninggal dunia dan hari kiamat tiba. Karena ketidakpastian datangnya, maka manusia akan selalu berusaha untuk taat beribadah, tambah semangat, tidak lalai dan malas, karena menantikan Lailatul Qodar bisa datang. Ibarat barang berharga yang hanya muncul di momentum yang langka pula, segala persiapan harusnya telah diusahakan agar tergolong orang yang beruntung mendapatkannya.

Ketika seorang hamba bersemangat dalam menggapai Lailatul Qodar dengan menghidupkan malam-malam yang diduga sebagai turunnya Lailatul Qodar, maka Allah Swt. akan ‘pamer’ kepada malaikat-Nya dan bersabda: “Dulu kalian pernah protes ‘Apakah Engkau bakal membuat makhluk yang kelak akan berbuat kerusakan di muka bumi dan saling menumpahkan darah’. Maka lihat dan saksikanlah. Beginilah semangat mereka dalam mengejar sesuatu yang masih samar, apalagi jika Aku menjadikan Lailatul Qodar diketahui secara pasti?”. Dari sini terlihat jelas rahasia sabdanya ‘Sungguh Aku lebih mengetahui apa yang tidak diketahui malaikat-Nya’.

Kemuliaan dan keutamaan Lailatul Qodar dengan jelas digambarkan-Nya dalam QS. Al-Qodar ‘Lailatul Qodar lebih baik dari seribu bulan. Turun para malaikat dan al-ruh pada malam mulia itu’. Pada ayat tersebut terkandung kabar yang sangat nenggembirakan juga sekaligus ancaman yang tidak ringan. Kabar gembiranya adalah tidak ada batasan kebaikan dari Lailatul Qodar.

Raport Evaluasi Ramadhan

Setelah melewati sebulan penuh Ramadhan, akhirnya sampailah di puncak hari raya. Setelah sekian lama berjuang dengan segala asa kini saatnya merayakan hari raya. Ramadhan adalah sekolah panjang, sementara hari raya adalah momentum pembagian raportnya.

Baca Juga:  Mulianya Seorang Anak

Hanya mereka yang bersungguh-sungguh saat sekolah Ramadhanlah yang benar-benar merasakan bahagia di hari raya. Selebihnya adalah mengikuti euforia saja. Ada renungan mendalam yang pernah disampaikan Buya Hamka: “Jika engkau ingin mendapati orang Islam maka lihatlah ketika hari raya tiba. Jika engkau menghendaki bertemu orang mukmin, maka datanglah di waktu sholat Subuh berjamaah”. Alhasil, hari raya bukanlah bagi orang yang bajunya baru, melainkan yang imannya bertambah.

Madrasatul Hayat: Tempat Berlomba-lomba

Di sinilah peran Ramadhan sebagai madrasatul hayat. Kehadirannya sebagai ladang amal yang mampu menembeli kekurangan pada bulan sebelumnya. Madrasatul hayat atau sekolah kehidupan dalam arti bahwa Ramadhan menjadi tempat mendidik seorang mukmin agar lebih baik dalam mengendalikan hawa nafsunya, meninggalkan kemaksiatan, merutinkan tadarus alQur’an, memperbanyak sedekah, puasa, sholat sunnah dan amal kebaikan lainnya.

Andaikata kita mengetahui rahasia apa yang terkandung dalam Ramadhan, niscaya kita akan berharap sepanjang hayat sebagai Ramadhan. Pada bulan Ramadhan ini begitu mudah kita melaksanakan amal ibadah. Mendirikan shalat sunnah Tarawih, Witir, Tahajud dan sebagainya di setiap malamnya. Sekolah yang sebenarnya adalah tempat para murid untuk saling berlomba-lomba menjadi yang terbaik di kelasnya. []

Muhammad Zakki bin Muhtar
Santri Al Fithrah

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah