Bergembira Menjadi Umat Nabi Muhammad SAW

Menjadi muslim sekian lama, kita barangkali sering lupa bahwa ada kenikmatan yang jarang sekali disyukuri, yaitu ditakdirkan menjadi umat (pengikut) Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Jika dibandingkan dengan umat terdahulu, menjadi umat Nabi Muhammad jelas banyak istimewanya. Mulai dari banyaknya kemudahan dan diskon dalam menjalankan ritual ibadah, tersedianya bonus pahala yang berlipat-lipat, jaminan mendapat ampunan jika bertaubat, hingga terbebas dari ancaman azab atau siksa dunia meskipun banyak dosa.

Sebagai contoh, apabila umat terdahulu mengalami bencana alam; gempa bumi, longsor, banjir bandang, paceklik berkepanjangan, atau serangan wabah penyakit, maka bisa dipastikan semua itu merupakan azab atau siksaan. Jika Nabi Muhammad suka nggak tegaan melihat umatnya menderita meskipun telah nyata menentangnya, para nabi terdahulu justru tidak segan-segan memintakan azab atau siksa kepada Tuhan jika umatnya selalu saja mengingkari berita kebenaran yang telah dibawanya.

Berbeda sekali jika musibah serupa menimpa pada umat nabi Muhammad SAW. Kalaupun umatnya banyak dosa dan maksiat, maka datangnya musibah masih sebatas menjadi peringatan (tanbih) agar berkesempatan kembali ke jalan yang benar. Musibah juga bisa menjadi suatu pelajaran (i’tibar) atas kekuasaan Allah bagi hambanya yang berpikir, bahkan jika terjadi pada orang yang beriman, hadirnya musibah bisa menjadi jalan menuju kemuliaan (raf’u darajat).

QS. Al-Fathir ayat 32 memberikan gambaran bahwa ada tiga golongan orang Islam berdasarkan ketaatannya dalam menjalankan perintah Tuhan.

Pertama, golongan dzaalimun linafsih (orang yang menganiaya diri sendiri). Yaitu orang-orang yang tidak sepenuhnya menjalankan amalan wajib, tetapi juga tidak sepenuhnya sanggup meninggalkan yang haram. Berusaha menjalankan shalat lima waktu, tetapi masih sering bolong, shalat subuh pun masih sering kesiangan. Tidak pernah mencuri, berjudi, mabuk-mabukan, apalagi berzina, tetapi masih hobi ghibah alias rasan-rasan, melecehkan dan berani dengan suami, atau menyakiti hati istri.

Baca Juga:  Sejarah Tarawih (1): Tarawih pada Zaman Nabi

Kedua, golongan muqtashid (orang pertengahan), yaitu mereka yang sanggup mengerjakan yang wajib, sanggup melaksanakan sebagian yang sunnah atau mustahab, masih mengerjakan sebagian yang makruh, tetapi bisa meninggalkan sebagian besar yang haram. Shalat wajib full bahkan selalu berjamaah, tahajjud dan dhuha menjadi rutinitas, ringan dalam bersedekah, sanggup pula menjaga anggota tubuhnya dari menyakiti orang lain. Sudah tentu mereka Ini adalah golongan orang-orang shalih.

Ketiga, golongan saabiqun bil khairat (orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan), yaitu mereka yang mampu mengerjakan banyak amalan wajib dan sunnah, serta mampu meninggalkan berbagai hal yang haram, makruh, bahkan sebagian yang mubah. Mereka ini adalah golongan para sahabat, tabi’in, serta para salafus shalih.

Menurut tafsir Ibnu Katsir, dari semua golongan tersebut, kelompok ke tiga akan mendapatkan jaminan masuk surga tanpa hisab. Kelompok ke dua akan dimasukkan surga karena keluasan rahmat Allah, sedangkan kelompok pertama akan tetap masuk surga, tetapi sudah barang tentu setelah dosa-doanya diampuni melalui syafaat (pertolongan) Nabi Muhammad SAW.

Tentunya, kita sebagai orang awam lebih cenderung pada golongan pertama. Alangkah kurang ajarnya jika kita mendaku sebagai golongan ke dua, apalagi merasa diri telah pantas masuk dalam golongan ke tiga. Nah, di sinilah nikmatnya menjadi umat Nabi Muhammad SAW. Ya, walaupun nggak taat-taat amat sebagai hamba Allah, masih sering ngumpet atau bahkan terang-terangan melakukan dosa, tetapi masih ada secercah harapan yang kita nantikan, yaitu melalui pertolongan Nabi Muhammad SAW.

Maka sudah menjadi kewajaran bahkan keharusan jika umat Islam bergembira atas kelahiran (maulid) Nabi. Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki dengan bijak berkata bahwa tidak layak seseorang bertanya “mengapa kalian memperingati maulid? karena seolah-oleh bertanya, mengapa kalian harus bergembira dengan kelahiran nabi Muhammad SAW?” Logika sederhananya, jika merayakan kelahiran anak saja tidak butuh dalil, mengapa merayakan kelahiran manusia paling mulia di dunia harus menuntut adanya dalil? Padahal belum tentu anak kita yang rayakan kelahirannya kelak menjadi anak yang shalih, sementara kelahiran Nabi Muhammad SAW jelas merupakan rahmat terbesar bagi umat manusia di seluruh dunia.

Baca Juga:  “Lockdown” Madinah ketika Perang Khandaq

Salah satu keberkahan memuliakan hari kelahiran Rasulullah dapat kita lihat dari kisah Abu Lahab, dedengkot kaum kafir Quraisy yang divonis sebagai ahli neraka. Abu Lahab yang kafir mendapat keringanan siksa oleh Allah setiap hari Senin karena bergembira dengan lahirnya Nabi Muhammad, yang juga keponakannya. Kisah Abu Lahab ini banyak tercatat dalam kitab-kitab klasik; Shahih al-Bukhari, Kitab Fathul Bari Ibnu Hajar Al Hafidz, Sirah an-Nabawiyah Ibnu Katsir, kitab Syarah Sunnah Al-Baghowi maupun dalam kitab Dalaailnya Al-Baihaqi.

Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Kitab Bidayah wa Nihayah berkata: “diringankannya siksaan Abu Lahab merupakan balasan dari rasa gembiranya ketika Nabi dilahirkan, kemudian ia memerdekakan budaknya Tsuwaibah.”

Nah, jika Abu Lahab yang kafir dan Al-Qur’an sendiri mencelanya mendapat keringanan siksa sebab kegembiraannya atas kelahiran Nabi, maka bagaimana dengan umat Islam yang bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad dan berusaha mencintainya sepanjang masa?

Semoga kita termasuk dalam golongan orang yang mendapatkan keutamaan dari Allah yang Maha Pemurah berkat maulid Nabi dan kecintaan kita kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Allahumma aamiin. []

Muhammad Makhdum
Alumni Magister Pendidikan Sains Universitas Negeri Malang, Pengurus PC LTN NU Kabupaten Tuban dan Ahlul Ma'had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini