Bagaimana Hukum Ibadahnya Anak Manusia yang Dilahirkan Dari Persilangan Manusia dan Hewan?

Dalam madzhab Syafi’i, pernikahan secara lazimnya dilaksanakan oleh pria dan wanita yang sudah dewasa, mampu secara dzohir dan bathin dalam segi ibadah dan biayanya.

Dari pernikahan mereka, nantinya akan menghasilkan anak yang menjadi dambaan setiap keluarga. Setiap anak yang terlahir dari manusia secara nash nya adalah dalam keadaan fitrah. Artinya setiap anak manusia terlahir dalam keadaan tidak berdosa dan masih suci.

Lantas yang jadi permasalahan adalah ketika munculnya kasus apa status anak yang dihasilkan dari persilangan manusia dan hewan yang secara dzat dan sifatnya suci ataupun najis? Apakah ia tetap diwajibkan beribadah? Bagaimana pandangan ulama terhadap masalah ini?.

Syeikh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz Al-Malibari dalam Fath al-Mu’in bi Syarh al-Quratul ‘Ain. membahas permasalahan ini sebagaimana berikut:

وَقَالَ اَيْضًا لَوْ نَزَا كَلْبٌ اَوْ خِنْزِرٌ  عَلَى آدَمِّيَّةٍ فَوَلَدَتْ آدَمِيًّا, كَانَ الوَلَدُ نَجِسًا, وَمَعَ ذَالِكَ هُوَ مُكَلَّفٌ بِاالصَّلاَةِ وَغَيرِهَا. وَظَاهِرٌ اَنَّهُ يُعفَى عَمَّا يَضْطَرُّ إِلَى مُلاَ مَسَّتِهِ وَ اَنَّهُ تَجُوْزُ إِمَامَتُهُ إِذْ لاَ إِعَادَةَ عَلَيْهِ, وَدُخُوْلُهُ المَسْجِدَ حَيثُ لاَ رُطُوْبَةَ لِلْجَمَاعَةِ وَنَحْوِهَا. (ص/12ج/1: دارالجواهر)

Artinya: “Jika seekor anjing ataupun babi mengawini manusia kemudian lahir darinya seorang manusia pula, maka anaknya dihukumi najis, dan besertaan dengan hukum itu, ia adalah termasuk orang yang terkena tuntutan melakukan shalat dan lainnya. Sudah jelas pula bahwasannya setiap hal yang terpaksa tersentuh olehnya diampuni dan baginya diperbolehkan untuk menjadi imam, sebab shalat yang ia kerjakan tidak wajib diulang. Boleh pula baginya untuk masuk masjid guna melakukan jama’ah dan selainnya sekira tubuhnya tidak basah.”

Dari keterangan diatas sudah jelas bahwasannya anak yang dihasilkan dari persilangan manusia dan hewan yang secara dzat dan sifatnya najis juga dihukumi najis. Di sisi lain, ia adalah termasuk orang yang terkena tuntutan melakukan sholat dan ibadah lainnya.

Baca Juga:  Perebutan Kuasa Antara Teknologi dan Buruh Tani

Tidak berhenti disini, dalam permasalahan hukum anak tersebut melaksanakan ibadah, Syeikh Abu Bakar ‘Utsman bin Syattha Ad-Dimyathi memberikan catatan pinggir (hasyiah) dalam karyanya yang berjudul I’anah At-tholibin, beliau memberikan keterangan seperti ini:

قال سم في حوشي التحفة ينبغي نجاسةُ وان لا يكلفَ وان تكلمَ وميزَ وبلغَ مدةُ بلوغِ الآدميِّ إذ هو بِصورةِ الكلبِ والأصلُ عدم آدميةٍ اه. وما تقرَّر كلُه إذَا نزَا كلبٌ أو خنزيرٌ على آدميةٍ والعكسِ فإن نزَا مأكولٌ على مَأكولةٌ فولدتْ والَدٌ على صورةِ الآدميِّ فإنَّه طاهرٌ مَأكولٌ فلو حَفَظَ القرآنَ وعملَ خطيبًا وصلَّى بنا عيدُ اللأضْحى جازَ أن يضحَى به بعدَ ذَلكَ وبه يلغز فيقال لنا خطيب صلى بنا العيد الأكبر وضحينا به.(ص/95ج/1: دارالمختار)

Artinya: “Imam Syibromulisi berkata didalam kitab hasiyah tuhfah: seharusnya adanya anak itu adalah najis jika ia tidak terkena tuntutan, tidak bisa berbicara, tidak tamyiz dan tidak baligh usianya seperti balighnya anak manusia karena ia digambarkan seperti anjing. Hukum asalnya anak tersebut bukan anak manusia. Dan pendapat yang telah ditetapkan kesemuanya apabila manusia mengawini anjing/babi atau sebaliknya, kemudian jika manusia tersebut mengawini hewan yang halal dimakan dagingnya kemudian terlahir atasnya anak manusia, maka anak tersebut dihukumi suci dan halal untuk dimakan dagingnya.”

Maka seandainya anak tersebut menghafal Al-qur’an, menjadi khotib, dan mengerjakan sholat idul adha, maka diperbolehkan baginya untuk disembelih setelah sholat tersebut. Pendapat lain kepada kita khotib mengerjakan sholat ‘idul adha dan menyembelih terhadapnya.  

Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa anak yang terlahir dari hewan najis ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Syibromulisi anak tersebut tetap dihukumi najis dan terkena kewajiban taklif. Ia tetap diperbolehkan untuk ibadah sekalipun ia melaksanakan sholat, dan menghafal Al-Qur’an bahkan shalat  berjamaah di masjid selama tubuhnya tidak basah.

Baca Juga:  Hukum Memakamkan Jenazah di Tanah Pribadi yang Merugikan Warga Sekitar

Terakhir Syeikh Abu Bakar ‘Utsman bin Syattha Ad-Dimyathi tidak memutlakkan sebagaimana pendapat Imam Syibaromulaisi. Syekh Syattha masih memberikan dua perincian. Apabila anak itu berbentuk anjing maka najis. Apabila berbentuk manusia, maka ia dihukumi suci.

Wallahu A’lam bis Shawab. []

Mohammad Mughni Labib
Santri di Mahad Aly Nurul Jadid. Aktif di kelas literasi Badan Eksekutif Mahasantri (BEMs) Mahad Aly Nurul Jadid.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hukum