Menakar Kualitas Santri dan Mahasiswa

Pak Bhabin: ” Yang namanya santri dengan Allah yang tidak kelihatan saja  iman takwa,  apalagi dengan mbaknya yang kelihatan cantik seperti itu , Insya Allah aman, sudah terima saja!

Pak Dul: ” Eh Pak Bhabin ga punya title e santri!”

“Dul tak kasih tahu ya, yang namanya profesor itu gelarnya panjang banget sampai belakang Hanya menguasai satu bidang keilmuan, lha kalau santri, di Pondok diajari ekonomi, pertanian, perdagangan, apalagi keagamaan, udah pokoknya komplit, terima aja gak pakai lama!”

“Santri itu hanya punya peci sama sarung thok”

“Heh, jangan melihat sarungnya yang penting isinya.” (Hahahaha)

Petikan dialog diatas merupakan gambaran santri putra yang akan melamar santri putri. Pak Dul yang menjadi wali santri putri nampak ragu dengan kapasitas santri, kemudian diyakinkan oleh Pak Bhabin yang kebetulam lewat. menyatakan bahwa santri memiliki keilmuwan lengkap di berbagai bidang.

Vidio yang sempat viral dan membanjiri story di berbagai platform media sosial adalah Sebuah Vidgram yang di upload oleh akun @herman_hadi_basuki Bersama Yik Faqih (Alumni Lirboyo 2018) dan santri-santrinya Pondok Al-Iman, Bulus Purworejo. Kemudian di dalam benak saya berangan-angan, apakah benar yang dinyatakan oleh pak Bhabin diatas? Santri menguasai di bidang ekonomi, pertanian dan perdagangan?

Mari kita telaah

Dalam tiga hal diatas santri  mendapat ilmu tersebut dari kitab kuning yang diajarkan oleh guru di pesantren. Pertama, Santri mengetahui sewa menyewa melalui bab ijarah, mengetahui kerjasama bisnis dalam bab mudharabah, musyarakah, muzara’ah. Kedua, dalam pengelolaan lahan pertanian dan pengairan sawah terdapat dalam bab al-musaqah. Ketiga, dalam hal perdagangan juga dipelajari dalam bab bai’, dimana macam-macam ba’i didalamnya begitu bervarian.

Baca Juga:  Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat

Mulai dari bai’ Al-muthlaq (kredit), Bai’ al-muzayadah (lelang), bai’ al-salam (pesan), bai’ al-sharfi  (Pertukaran mata uang) dan masih banyak lainya. Tiga fan pelajaran santri diatas merupakan bab yang sama yang dipelajari mahasiswa kampus jurusan perbankan syariah.

Namun bedanya, santri mempelajarinya dari kitab kuning yang bergramatika arab, mulai dari kitab fathul qarib, fathul mu’in, fathul wahab, al-mahali dan kitab-kitab karya ulama yang tentunya mu’tabar dengan sanad yang jelas. Sedangkan mahasiswa lebih banyak mempelajari dari buku-buku konvesional yang banyak ditemukan di toko buku dan perpustakaan umum. Disini sanad ilmunya tidak terlalu perlu.

Tiga bidang diatas tersusun dalam bab muamalat, padahal yang di pelajari santri di pesantren tidak cukup sampai situ. Masih ada bab diyat (Hukum Pidana), bab mawaris, bab ubudiyah, belum lagi falak (astronomi), nahwu & shorof (Bahasa), balaghoh  (Sastra), mantiq ( Filsafat) dll.

Lalu apakah di pesantren hanya dijejali teori tanpa praktik? Tentu saja tidak, jika di dunia mahasiswa ada PPL di lingkungan pesantren juga ada praktikum, mulai dari santri ndalem yang ditugasi mengurus toko kiai, dalam perdagangan. Dalam pertanian juga ada santri yang ditugasi mengurus sawah, dalam bidang bahasa sastra juga tersedia media pondok pesantren untuk mencurahkan ide-ide, gagasan dan bakat sastra santri. Dalam astronomi juga ada lajnah falakiyah. dalam bidang dakwah apalagi jangan ditanyakan di pesantren sudah sumbernya para da’i.

Lalu bagaimana dengan KKN (Kuliah Kerja Nyata), apakah di pesantren juga tersedia? Pastinya ada dong, untuk mengetahui seberapa dalam kapasitas ilmu santri sekaligus sebagai pengabdian kepada masyarakat, setiap ramadan santri medapat tugas berupa safari di daerah-daerah pelosok nusantara, dakwah sekaligus menjalin ukhuwah. Mensyiarkan agama. Bahkan tak jarang yang menemukan jodoh ditempat safari santri tadi terjun.

Baca Juga:  Cerita Kiai Fattah dan Sosok Gus Dur Muda

Melihat penjabaran diatas, yang dipelajari santri bisa dikatakan lebih lengkap dan luas, bila dibandingkan dengan mahasiswa, yang mana keilmuawannya terpecah-pecah diberbagai program studi. Bedanya santri tidak memiliki gelar Sarjana, Magister apalagi Profesor paling mentok ya ‘KH’ atau ‘Dr Honoris Causa’.

Akan tetapi gegara pekara gelar ini, masyarakat awam sudah kadung menilai kualitas seseorang dari seberapa tinggi pendidikan yang digapai, maka dari itu seberapa tahun pun santri mengenyam pendidikan di pesantren masih kalah pamor dengan mahasiswa yang selesai sarjana dalam jangka empat tahun. Untung saja sekarang perihal ijazah telah terbit peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 18 tahun 2014, yang mana status pesantren muadalah ijazahnya disetarakan dengan ijazah sekolah formal pada umumnya.

Meskipun Pondok Pesantren  yang terkait tidak menerapkan kurikulum Kemdiknas (SD, SMP, SMA) dan kurikulum kemenag (MI, MTs, MA) Ijazah tetap bisa dipakai untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Untuk level perguruan tinggi di pesantren sudah ada Ma’had Aly hasilnya santri yang tamat Ma’had Aly sama dengan mendapat gelar sarjana. Sampai sekarang sudah terdapat 47 Ma’had aly yang ada diseluruh Indonesia semuanya baru strata satu kecuali Ma’ahad Aly Salafiah Syafi’iyah Situbondo, yang mana telah ada strata dua dengan jurusan takhassus fiqih.

Sampai disini masih berani meremehkan santri, hanya gegara tak memiliki gelar? Masih takut memondokkan putra-putrinya di pesantren? Atau masih ragu mau pek mantu santri? Zaman sekarang sebaiknya jangan melihat gelar ‘nritik‘ dibelakangya. Perhatian utama lebih ke adab dan pengamalan ilmunya atau istilah jawanya:

“amal sitik diilmuni, ilmu sitik diamalne”. [HW]

Ahmad Nahrowi
Santri Asal Sragen, Alumni Ponpes Lirboyo HM Al-Mahrusiyah, menyelesaiakan S1 di UIT Kediri, sekarang sedang melanjutkan Magister Hukum Bisnis di Universitas Nasional Jakarta Sembari Khidmah di Pesantren Aksara Pinggir Kota Bekasi, Redaktur Pers Elmahrusy, Author Almahrusiyahlirboyo.sch.id

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini