Menalar (Makna) Rahman dan Rahim melalui Sifat Wajib Qudrah

Rahman dan Rahim banyak dimaklum sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada makhluk dan kepada yang terpilih; khususiyah. Bahkan tidak sedikit yang meyakininya sebagai sifat Tuhan. Umumnya, diantara beberapa kalangan muslim dewasa kini memasukkan rahman dan rahim ke dalam kategori nama Tuhan; asma’ul husna. Meskipun minoritas memasukkan Rahman dan Rahim ke dalam sifat.

Akan tetapi, apakah benar dan nalar menerima jika Rahman dan Rahim dimasukan ke sifat? Atau sebenarnya Rahman dan Rahim itu hanya nama? Tentu penting untuk dikaji secara kritis polemik ini; apalagi terdapat ajaran akidah yang menyamakan antara nama dan sifat. Jika terdapat nama, maka di dalamnya terkandung sifat Tuhan yang demikian. Hal ini merupakan fakta yang ‘mungkin’ dianggap remeh sebagian kalangan. Sebab, dapat melahirkan suatu keyakinan bahwa sifat Tuhan itu banyak, sesuai namanya.

Sederet polemik di atas memberikan stimulus nalar untuk mengkritisi pola pikir sebagai subjek; tidak untuk mengobori apalagi melabeli. Sehingga, diharapkan tersegarkan kembali cara pandang atas ketuhanan yang terkonsep dan kokoh dalam argumentasi. Yang terpenting, sesuai dengan temuan pikiran. Bukan tentang zat yang sejati, melainkan tentang konsep ketuhanan yang sebatas temuan nalar.

Rahman dan Rahim dalam Pemaknaan Umum

Rahman umumnya dimaknai sebagai bentuk rahmat Allah kepada seluruh alam semesta ini. Rahman disini dapat digambarkan sebagai kasih sayang Allah kepada makhluknya; dari tumbuhan hingga malaikat. Umumnya, ruang rahman dinormalisasikan dalam ruang dunia. Sebab, buktinya benar adanya; orang-orang yang tidak beriman kepadanya diberikan kehendak bebas dan lain sebagainya.

Rahman umumnya dipahami sebagai bentuk (i’tibar) sifat Allah yang dermawan. Bagaimana tidak, orang-orang yang tidak beriman diberikan kehendak bebas dalam hidupnya: dari kekayaan hingga kehidupan yang sehat tanpa kecacatan fisik ataupun nalar. Tidak hanya itu, mereka yang menentang Tuhan pun dibiarkan begitu saja dan bahkan diberikan kehidupan yang luar biasa.

Baca Juga:  Menalar Sehat Ziarah Kubur Melalui Konsep Tauhid

Sedangkan, Rahim dipahami secara maklum ialah mutlak pilihan Allah. Secara tidak langsung, ruang yang dipilih Allah dengan kuasa-Nya, tentunya khusus; berbeda dengan Rahman. Artinya, Allah tidak memberikan Rahim-Nya layaknya Rahman yang digambarkan dan dibuktikan dengan argumentasi kokoh ihwal keberadaan orang-orang tidak beriman akan tetapi hidupnya bahagia.

Umumnya makna Rahman dan Rahim ialah bahwa Allah menjadikan kenikmatan sehat (jasmani) dan kenikmatan iman (ruhani) pada manusia. Lebih luasnya, Rahman dapat dimaknai sebagai kedermawanan Allah memberikan banyak kenikmatan yang bersifat dunia juga akhirat; baik yang tampak maupun yang tidak tampak (dhohir wa bathin). Sedangkan, Rahim dapat dipahami sebagai kenikmatan khusus (agung: pokok dan mulia) yang diberikan oleh Allah mencakup ilmu, iman, taufik, sehat, makrifat, mendengar dan melihat.

Menalar Rahman dan Rahim melalui Nalar Sifat Qudrah

Secara lafaz, V menunjukkan sebutan atau nama untuk sesuatu yang dinamai yakni lafaz Allah (diciptakan; baharu). Sedangkan secara maksud atau aslinya Rahman dan Rahim menunjukkan yang dinamai yakni zat yang wajibul wujud (kekal: tidak baharu). Sebab, jika nama adalah zat yang dinamai, misalnya; api adalah zat yang dinamai, tentu ketika mengucapkan atau menyebut (nama) api, akan terbakar mulut.

Secara jelas Rahman dan Rahim bukanlah sifat, melainkan nama. Meskipun demikian, ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa Rahman dan Rahim adalah nama sekaligus sifat. Kalangan ini umumnya memiliki pondasi bahwa setiap nama yang terdapat dalam asma’ al-husna mengandung sifat yang dibawa; sesuai nama yang melekat.

Berkaitan dengan hal tersebut, tentunya akan menggelitik nalar. Sebab, jika memang demikian maka sifat Allah ada lebih dari 99 sesuai dengan nama yang termaktub dalam asma’ al-husna. Untuk itu, penting untuk dibedah melalui konsep tauhid. Seandainya Rahman dan Rahim adalah sifat, tentu terkategorikan masuk dalam sifat wajib Allah. Sebab, Rahman dan Rahim terbukti adanya dan termaktub seperti nama-nama yang lainnya. Namun, apakah akal menerima pernyataan tersebut? Maka penting untuk dikaji.

Baca Juga:  Memaknai kembali Makna Idul Fitri

Jika Rahman dan Rahim adalah sifat wajib bagi Allah karena termaktub dalam asma’ul husna, tentu sifat Allah sangatlah banyak; sesuai dengan jumlah asma’ul husna, bahkan boleh jadi lebih dari itu. Akan tetapi, apakah benar Rahman dan Rahim adalah sifat wajib bagi Allah, tentu butuh penalaran.

Seandainya Rahman dan Rahim adalah sifat wajib Allah, tentu seluruh penghuni bumi adalah orang-orang beriman dan taat kepada-Nya. Sebab, Allah wajib menjadikan kenikmatan sehat dan iman selalu dan pasti dalam diri manusia dan jin selama-lamanya. Akan tetapi, hadirnya kenikmatan sehat dan iman tidaklah selalu juga kekal (selama-lamanya) dalam diri manusia juga jin. Sebab, ada orang kafir dan ada ahli neraka. Maka, Rahman dan Rahim bukanlah sifat wajib bagi Allah.

Jika Rahman dan Rahim bukan sifat wajib bagi Allah, apakah Rahman dan Rahim adalah sifat mustahil bagi Allah? Tentu keliru. Sebab, hadirnya para nabi, malaikat dan orang-orang beriman merupakan bukti dari adanya nikmat iman. Bukan itu saja, adanya nikmat sehat yang bisa dirasakan oleh manusia merupakan bukti adanya rahamn dan rahim Allah. Maka Rahman dan Rahim bukanlah sifat mustahil bagi Allah.

Jika Rahman dan Rahim bukan sifat wajib dan bukan sifat mustahil bagi Allah, maka tentu Rahman dan Rahim adalah gambaran sifat jaiz Allah. Dalam hal ini, Rahman dan Rahim tidak bisa dilepas dari sifat wajib qudrah juga maha suci Allah dari sifat butuh. Sebab, Allah berkuasa atas sesuatu (boleh saja Allah menciptakan baik dan buruk; iman dan kafir). Sebab, dengan demikian kelogisan kuasanya Allah dapat lebih dipahami berbeda dengan manusia.

Artinya dapat disimpulkan bahwa Rahman dan Rahim merupakan nama sesuatu yang dinamai. Hakikatnya ialah zat yang wajibul wujud. Pun tidak dipungkiri rahman dan rahim berkaitan sarat dengan sifat jaiz Allah, khususnya gambaran perbuatan Allah dari sifat wajib qudrah. Oleh sebab itu, mari kita segarkan kembali nalar kritis kita dengan perkara logis yang dapat dinalar; bukan sekadar taklid apalagi mengakali, akan tetapi lebih kritis dalam memaknai dan lebih logis. [HW]

M Khusnun Niam
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni IAIN Pekalongan

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah