Menciptakan budaya menanam dari pesantren

Dalam masa pandemi seperti saat ini, kiranya selain sebagai musibah, di sisi lain wabah covid-19 memaksa kita untuk sadar akan pentingnya sebuah ketahanan pangan. Dalam konteks ketahanan pangan sendiri, tentu variabelnya bukan hanya tentang ketersediaan pangan saja. Melainkan juga terkait dengan beberapa aspek, seperti bagaimana bahan pangan yang tersedia itu telah memenuhi kebutuhan nilai gizi, dan mampu untuk didistribusikan kepada masyarakat.

Hal ini tidak lain merujuk pada definisi ketahanan pangan, yang termaktub dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa Ketahanan Pangan merupakan kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Dengan demikian titik beratnya bukan hanya pada konteks bertahan dari krisis pangan. Melainkan juga tentang bagaimana Ketahanan Pangan tersebut, selanjutnya dapat membuat masyarakat menjadi terus produktif ditengah wabah.

Kita sebagai rakyat Indonesia tentunya bisa belajar dari sejarah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997/1998 lalu. Di mana krisis tersebut membuat, beberapa harga komoditas pangan, seperti beras yang menjadi makanan pokok utama, mengalami kenaikan harga beras yang tinggi.

Dari kejadian tersebut, artinya bahwa jika Ketahanan Pangan terganggu, maka stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional pun juga ikut terganggu. Bahkan seringkali hal itu kemudian berdampak pada terganggunya pada sektor lain, seperti gejolak pada sosial dan politik sebuah negara.

Tumbuhkan Budaya Menanam

Dengan keadaan yang seperti saat ini, selain pemerintah yang telah menyiapkan strategi Ketahanan Pangan, kiranya kita rakyat juga bisa turut menyiapkan strategi dari lingkup terkecil yakni rumahtangga. Dengan solidaritas, dan perilaku kreativitas masyarakat Indonesia tidak dapat dipungkiri kita akan bisa melewati ancaman krisis pangan yang sedang terjadi.

Baca Juga:  Ijazah Kerasan Mondok

Mungkin, analogi ini cukup menarik dan sejalan dengan keadaan saat ini. Yakni “Sudah Krisis Saatnya Menanam”. Meski pun nampak terlihat ada sisi paksaan, tapi secara tidak langsung analogi tersebut juga memuat nilai penyadaran. Di mana, saat masa krisis, kiranya tidak ada alasan lagi untuk tidak menanam demi Ketahanan Pangan, dan keberlangsungan hidup kita ke depan.

Urban Farming Sebagai Gaya Hidup

Urban farming merupakan sebuah konsep menjadikan lahan yang terbatas, menjadi lahan produktif. Jika menilik skala urban farming sendiri, cukup variatif, mulai dari skala urban farming rumahtangga, hingga skala komersial. Tetapi dengan melihat keadaan ditengah wabah, yang mengharuskan kita untuk stay at home, dan physical distancing seperti ini, kita dapat menggunakan yang skala rumahtangga.

Misalnya bisa menggunakan sistem sederhana yang sedang marak digunakan masyarakat, yakni menggunakan sistem Budikdamber (Budidaya Ikan Dalam Ember). Di mana selain bisa ternak ikan dalam ember, metode ini juga bisa digunakan untuk menanam sayuran seperti kangkung. Dengan ditanam di gelas plastik bekas, yang diletakkan di atas ember secara melingkar. Jadi nantinya, saat panen, tentunya kita akan mendapatkan dua hasil panen sekaligus. Ikan dan sayuran. Tidak hanya Budikdamber, kiranya masih banyak metode menanam yang bisa dilakukan pada lahan yang sempit. Seperti vertikultur, taman dinding, hidroponik, akuaponik, pertanian indoor (indoor farming), rumah kaca (greenhouse) dan lainnya.

Dengan metode urban farming ini, masyarakat kota bisa tetap memenuhi persediaan pangan. Ditambah beberapa metode tanam tersebut, kiranya bisa dijadikan sampingan di sela-sela kesibukan. Selain itu urban farming juga berdampak positif untuk terciptanya udara yang sehat, dan tersedianya lingkungan hijau, ditengah padatnya bangunan perumahan dan industrial di wilayah perkotaan.

Baca Juga:  PP Syarifatul 'Ulum Katerban Ngawi Selenggarakan Program Native Speaker Visit

Meskipun urban farming ini biasa diterapkan di lingkungan perkotaan, tidak menutup kemungkinan metode yang digunakan juga dapat diadopsi oleh semua lingkungan. Bahkan dalam lingkungan pendidikan sekalipun, seperti pondok pesantren.

Pondok pesantren bisa menggunakan sebagian lahannya sebagai media tanam. Selain memancing santri untuk belajar menanam, dengan demikian santri akan mengembangkan kreativitasnya mengelola tanaman tersebut. Bahkan secara tidak langsung pesantren telah memberikan bekal ilmu praktik tentang pentingnya ketahanan pangan bagi santri.

Para santri bisa menggunakan metode tanam hidroponik, atau budikdamber atau lainnya, yang tidak memerlukan lahan yang luas.

Aktivitas produktif tersebut kiranya cukup bisa dilakukan saat wabah melanda, bahkan bisa dilanjutkan meskipun wabah itu berakhir. Hingga kemudian urban farming secara tidak disadari nantinya akan menjadi gaya hidup atas kemandirian pangan oleh masyarakat, baik masyarakat kota, kalangan santri, siswa-siswi dan lainnya. [HW]

Mohammad Iqbal Shukri
Alumni Pondok Pesantren Khozinatul Ulum Blora, Mahasiswa S1 Perbankan Syariah UIN Walisongo Semarang, dan Aktif di Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat UIN Walisongo Semarang.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini