Muhammad Saw atau Ahmad Saw itu bukan sekadar nama, pribadi, sosok, figur dan makna, ia bukan semata nama yang berarti yang terpuji. Muhammad itu bukan air laut, tapi gelombangnya. Demikian pula Al Quran, pun juga bulan Ramadan, perayaan Maulid Nabi, Isra Mikraj, Perayaan Nuzulul Quran, peringatan Tahun Baru Hijriah, pembacaan salawat seperti Burdah, Barzanji, Diba’, Syaraful Anam, Simthud Durar, dan apapun yang berhubungan dengan Nabi Muhammad Saw. Semua itu tak sekadar peristiwa, acara seremonial, peringatan-peringatan formal, akan tetapi, itu semua adalah “getar”, denyut, gelombang dan semesta nilai yang harus digali dan diarungi.
Anda pernah ke laut? Apa yang bisa Anda bawa pulang dari laut? Anda bisa menciduk air laut dan membawanya pulang, tetapi Anda tidak bisa membawa pulang ombak dan gelombangnya. Hanya keindahan yang bisa Anda rasakan. Demikianlah menghayati sang Nabi, menghadirkan dan meneladani pekerti agungnya.
Sebagaimana berlayar mengarungi lautan, ada saatnya kita melayari tetes demi tetes air mata penyesalan kita atas dosa-dosa, ada waktunya untuk kita menyelami makna sang Nabi dalam setiap peristiwa dan kesempatan, sebab kanjeng Nabi adalah teladan dalam segala aspek kehidupan.
Anda bisa menatap keindahan cahaya Tuhan pada ibu dan kekasih Anda, tetapi yang Anda lihat hanya fisik dan materi, Anda juga bisa melahap habis seluruh buku sejarah (sirah) An-Nabi, tapi ia hanya buku, sekadar teks, sebab keindahan itu bersemayam dalam sanubari sebagai pancaran sang Maha Indah. Nah, pembaca yang berbahagia, belum tahu kelanjutan tulisan ini, kan? Sebentar lagi!
Kecuali akal yang dianugerahkan Tuhan untuk berpikir seraya mencandra kebenaran dan hati yang dipenuhi iman dan cinta, manusia tak lebih dari sekadar binatang, bahkan buas. Buktinya? Setelah manusia mengenyam pendidikan, tak jarang pola pikirnya adalah hanya ingin menjadi apa (to be) dan ingin memiliki apa (to have). Ketika prinsip to be-to have itu tak terpenuhi, lagi-lagi kekecewaan menyeruak, menyala dan berkobar-kobar.
Ketika kita kecewa dengan sikap suami/istri atau mungkin orang tua, tak jarang kita melampiaskannya dan memang kadang mencari pelampiasan yang keliru dan destruktif. Betapa banyak dismanajemen terhadap kekecewaan dan sakit hati sejenak yang justru berakhir pada narkoba, klub malam dan na’udzubiLlah memicu perselingkuhan.
Ada juga yang karena tak sanggup menanggung rasa kecewa (yang diikuti malu) lantas meneggak racun serangga. Kemanakah akal sehat manusia ketika kecewa? Benar, kemarahan adalah ketika tindakan mendahului akal sehat. Akibatnya selalu fatal dan berantakan, lebih-lebih bagi seorang pemimpin dan pengambil keputusan.
Bukan hanya perceraian yang berujung pada rebutan harta gono-gini dan hak asuh anak, tetapi anak-anak akan tumbuh sebagai korban “tabrak lari” dari pertengkaran ayah-ibunya yang berawal dari kekecewaan sebagian pihak kepada pihak lain, yang kadang pemicunya sangat sepele dan tidak rasional, misalnya, mengungkit bau kentut ketika masih pacaran dulu.
Anak-anak akan menjadi korban dari produk broken home. Tidak mustahil akan terlibat kenakalan remaja, miras, narkoba dan tindak kriminal, bahkan terorisme. Semantara suami atau istri mencari “pelampiasan” dan pembenaran atas kekecewaannya, tanpa introspeksi dan refleksi atas “apa yang salah?” dan bukan “siapa yang salah?”. Di sisi lain, anak-anak broken home juga punya pelampiasannya sendiri bersama teman sebayanya. Ingat, kecewa adalah produk dari salah kelola pikiran dan mindset dalam mengatasi persoalan. Jalan keluarnya? Keluarga!
Nah, setiap saat adalah saat paling tepat untuk kembali dan memuliakan keluarga, yang itu artinya Anda telah memuliakan diri Anda sendiri. Untuk siapakah Anda bekerja banting tulang peras keringat? Tentu saja untuk keluarga? Dan, siapapun saja yang gemar tadarus dan menelaah Al Quran adalah keluarga Allah, jadi kita adalah keluarga-Nya. Inilah makna siapapun yang gemar membaca-mempelajari-mengamalkan Kitab Suci, maka ia adalah keluarga Allah SWT di muka bumi.
Al Quran bisa kering tanpa makna jika kita tidak merentangkan pikiran dan rendah hati untuk terus belajar dan menyelami makna, mengkaji tafsir-tafsir terpercaya (mu’tabarah) untuk terus memperbaharui iman dan pemahaman. Nabi Muhammad hanya bagian dari masa lalu dan sejarah usang tentang agama—sebagaimana anggapan para orientalis dan para pembenci—apabila kita enggan menggali makna, mempelajari dengan tekun dan tidak memonopoli kebenaran tafsir terhadap Pemimpin Agung ini. Padahal sejatinya, sang Nabi adalah samudera makna, laut yang tak habis gelombang, namanya selalu bersanding dengan Allah SWT di langit dan di bumi. Lantas, mengapa kita tak pernah menemukannya dalam sanubari? Semoga di Ramadan kali ini, Amin. [HW]