Overdosis Beragama; Refleksi Dinamika Keberagamaan di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai rumah yang aman dan damai bagi para penganut agama dan kepercayaan. Masyarakat secara konstitusional bebas memilih dan mengamalkan kepercayaan dan agamanya masing-masing sesuai dengan amanat undang-undang. Keberagaman dalam keberagamaan masyarakat Indonesia ini tentunya tidak lepas dari berbagai macam konflik, salah satunya adalah intoleransi umat beragama. Tahun 2022 menjadi tahun toleransi, dimana pada tahun ini menjadi momen refleksi bersama untuk senantiasa membangun konsolidasi dalam memperkuat keutuhan negara dalam bingkai agama.

Buku berjudul “Overdosis Beragama; Esai Trajektori Tahun Toleransi” yang ditulis oleh Dr. Wildani Hefni, MA, menarik untuk dibaca dan dianalisis secara mendalam. Dalam buku Overdosis Beragama penulis di dalam kata pengantarnya menjelaskan bahwa terdapat empat isu utama yang menjadi perhatian. Diantaranya adalah isu keragaman dalam tantangan keberagamaan; isu pengarusutamaan moderasi beragama dalam realitas multikultural; isu solidaritas sosial sebagai modal perdamaian; serta isu tentang ragam wacana dalam beragama dalam hal ini fokus pada ruang publik digital dan generasi milenial.

Penulis menjelaskan bahwa moderasi beragama harus didasarkan pada prinsip humanisme, karena hal ini menjadi kunci untuk merealisasikan potensi keindahan ajaran agama yang pada akhirnya dapat menciptakan keindahan dan kedamaian (hlm.22). Lebih lanjut, moderasi beragama menekankan pada cara pandang dalam memaknai dan menafsirkan ajaran agama yang penuh dengan nilai-nilai keseimbangan (balance) dan adil (justice). Dalam konteks inilah monopoli tafsir yang biasa dilakukan oleh berbagai kelompok dapat terhindarkan. Walhasil, yang ada adalah sikap menghormati terhadap berbagai macam pendapat sehingga memunculkan titik temu dan kesepahaman dalam beragama.

Selain itu, penulis menjelaskan tentang bagaimana pentingnya sebuah toleransi bagi sebuah negara karena hal tersebut berkaitan erat dengan moderasi beragama. Mengapa demikian? Ada tiga hal yang membuat toleransi sangat penting dan bahkan dicanangkan menjadi tahun toleransi, yakni pertama menguatnya klaim kebenaran. Terbukanya kran demokrasi telah memberikan ruang yang cukup luas untuk lahirnya pelbagai varian pemikiran keIslaman. Pendulum Islam Indonesia bergeser ke arah eksklusivisme yang menelikung ke seluruh lapisan masyarakat dengan munculnya klaim kebenaran subyektif yang menyisakan kebimbangan dan kegamangan hidup. Konflik bermula dari kebencian terhadap pihak lain yang dianggap memiliki pandangan berbeda.

Baca Juga:  Peran Pesantren dalam Pendidikan Akhlak pada Anak di Indonesia

Kedua, overdosis beragama. Berkembangnya cara pandang dan praktik keagamaan yang berlebihan (ghuluw) melahirkan gejala pelabelan, pengkafiran, dan penyesatan. Hal ini semakin lama semakin menguat dan bermetamorfosa menjadi dogma-dogma lokal yang kukuh dan mencengkeram. Realitas ini menjadi problem krusial dalam dinamika perkembangan pemikiran keagamaan di republik ini, terutama menguatnya pemikiran keagamaan yang bersifat homogen dan sentralistik.  Pada akhirnya, merobek dan merecoki kehidupan sosial, ekonomi, politik, bahkan merusak peradaban. Ketiga, destruksi eksistensial agama. Ungkapan populernya al- Islam Mahjub bi Al-muslimi (Islam tertutup oleh umatnya sendiri), memperingatkan kita untuk senantiasa mewaspadai diri sendiri dalam beragama. Dalam banyak kasus, pemahaman keagamaan yang bersifat ekstrem justru lahir dan muncul mendistorsi substansi agama yang sebenarnya. Akibat praktik pengalaman beragama  tersebut pada akhirnya mengakibatkan pemahaman agama yang justru destruktif. Hal ini dijumpai dalam pendekatan tekstual-literal legal-formal yang akhirnya menuai cara pandang keagamaan yang kaku, fanatis, bahkan diskriminatif realitas ini yang kemudian menggiring pada kejumudan berfikir, yang pada titik tertentu kemudian menyebabkan pada krisis paradigmatis.

Pada salah satu bagian dalam buku ini, penulis menekankan fenomena-fenomena seperti khilafatul muslimin merupakan salah satu dari contoh overdosis beragama, oknum tersebut berupaya mengganti pancasila dengan seruan penegakan khilafah. Spanduk bertuliskan “Sambut Kebangkitan Khilafah Islamiyyah” yang dijelaskan pada halaman 36 menjadi angin buruk bagi iklim keberagamaan di Indonesia. Kampanye yang menyatakan bahwa hanya khilafah yang bisa memakmurkan bumi dan mensejahterakan umat menjadi musuh bersama yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Dijelaskan bahwa terdapat puluhan sekolah yang berafiliasi dengan kelompok ini bahkan kelompok tersebut memiliki jaringan yang luas untuk mendoktrin dan melakukan cuci otak untuk mengganti ideologi pancasila menjadi sistem khilafah. Dalam hal ini sekolah berperan penting untuk melakukan sebuah pengajaran tentang toleransi. Namun, dalam buku dijelaskan banyak kasus intoleransi dan diskriminasi yang terjadi dalam lingkungan tersebut sebagai contoh adalah polemik seragam sekolah pada halaman 48. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada lingkungan sekolah, tetapi juga pada lingkungan masyarakat seperti kasus yang dipaparkan dalam halaman 54. Kurangnya pengetahuan tentang moderasi beragama menimbulkan absolutisme beragama. Oleh sebab itu, moderasi beragama menjadi acuan yang penting dalam penangkalan overdosis beragama. Tidak semua lingkunagan pendidikan kekurangan nilai moderasi beragama, sebagai contoh dalam halaman 69 dana 85 serta dalam kalangan masyarakat dalam halaman 96 yang menerapkan moderasi beragama.

Baca Juga:  Moderasi Beragama; Upaya Membangun Wajah Indonesia yang Damai ditengah Pandemi Covid-19

Menariknya, penulis menjelaskan bahwa overdosis beragama tidak hanya ditekankan kepada umat muslim, tetapi juga pemeluk agama lain. Kasus rasisme dan radikalisme dalam tragedi Chirstchurch di halaman 133 yang menjelaskan tentang pemuda Australia bernama Brenton Tarrant yang melakukan serangan penembakan  terhadap umat muslim yang sedang melaksanakan ibadah sholat Jumat, sehingga memakan korban setidaknya 49 orang meninggal dunia merupakan suatu pandangan bahwa moderasi beragama itu harus universal.

Pada akhirnya penguatan moderasi beragama harus terus dilakukan baik melalui sistem pendidikan maupun sistem sosial. Terlebih di era digital saat ini diseminasi dan pembangunan pemahaman moderasi beragama harus senantiasa digalakkan. Buku ini sangat penting dibaca baik oleh akademisi maupun masyarakat secara umum. Melalui buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif terkait moderasi beragama demi membangun keutuhan bernegara. []

Judul: Overdosis Beragama
Penulis: Dr. Wildani Hefni, M.A.
Penerbit: Bildung
Cetakan: Pertama (1), Januari 2023
ISBN: 978-623-6379-94-3
Tebal buku: IV-XXXIII-334 Halaman

Varicha Candra Dinata
Mahasiswi Pendidikan Agama Islam FITK UIN Walisongo Semarang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Pustaka