Puasa: Momentum Membangun Sikap Anti Kekerasan Seksual

Puasa adalah momen yang sangat tepat untuk merefleksikan segenap jiwa dan raga. Bagi umat Islam, puasa menjadi landasan pokok supaya menjadi hamba yang mukmin. Puasa juga diyakini sebagai alat untuk menahan nafsu dan segala macam bentuk egosentris yang ada dalam diri.

Di tengah hiruk pikuk tindakan kekerasan seksual ditengah masyarakat, puasa bisa menjadi senjata ampuh untuk menangkal segala macam bentuk kriminal seperti kekerasan seksual. Kaitannya dengan ini, puasa harus dimaknai sebagai syariat yang bercorak substantif-kontekstualis, artinya inti muatan puasa harus disesuaikan dengan konteks kebutuhan personal ataupun komunal. Sehingga dengan melakukan upaya tersebut, bisa saja puasa menjadi salah satu senjata ampuh untuk memperkuat pondasi anti kekerasan seksual yang sekarang menjadi isu aktual. Lantas mengapa puasa bisa membangunan sikap anti kekerasan seksual?

Fenomena dan Akar Kekerasan Seksual

Sebelum masuk kepada bangunan anti kekerasan seksual melalui puasa, kita harus memahami bahwa kekerasan seksual masih menjadi problem. Dalam CATAHU 2023 kekerasan di ranah personal terdapat 2.098 kasus, sedangkan di ranah publik 1.276 yang didominasi kasus kekeresan seksual. Hal ini menandakan bahwa kekerasan khususnya seksual menjadi raport merah di Indonesia.

Saya beranggapan bahwa masih banyak diantara kita yang masih belum mengerti apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual. Apabila kita melihat UU TPKS, dapat dipahami bahwa kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, atau fungsi reproduksi, secara paksa. Apabila kita menengok pada statement Komnas Perempuan, setidaknya terdapat 15 bentuk kekerasan seksual yang berdasarkan hasil riset dan pemantauan selama kurun waktu 15 tahun, yang diantaranya adalah perkosaan, percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, kontrol seksual, dan lain sebagainya (baca: 15 Bentuk kekerasan seksual).

Baca Juga:  Puasa Khusus di Bulan Rajab Adalah Makruh

Tidak jauh beda, UU Nomor 12 Tahun 2023 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dalam pasal 4 menyampaikan bahwa yang termasuk kekerasan seksual diantaranya adalah pelecehan seksual non fisik dan fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, dan lain sebagainya.

Yang perlu kita pahami bersama adalah kekerasan seksual adalah produk dari hegemoni kedudukan yang bias. Seseorang yang berani melakukan tindakan seksual umumnya dikarenakan adanya power yang dilakukan pelaku untuk memperdaya korban. Tentu power semacam ini bisa dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan, akan tetapi mayoritas yang menjadi korban saat ini adalah perempuan. Jika merujuk kepada pendapat Prof. Etin Anwar akar kekerasan yang kemudian memunculkan paham atau gerakan fiminis adalah sebab adanya hiruk pikuk iklim patriarki yang berkembang (Baca: Feminis Islam; geneologi, tantangan, dan prospek di Indonesia).

Terlepas dari adanya iklim patriarki dan hegemoni relasi, yang perlu juga kita pahami bahwa kekerasan seksual juga berasal dari tindakan diri dan kesadaran seorang pelaku. Pelaku kekerasan seksual pastinya secara sadar dia melakukan apa yang telah dilakukan, sebab tindakan pelecehan ataupun kekerasan seksual tidak hadir secara spontan melainkan melalui kesadaran, ego, dan lain-lain. Tindakan semacam ini juga didorong dengan hadirnya pandangan perempuan/laki-laki sebagai makhluk seksual. Oleh karena itu menumbuhkan kesadaran anti kekerasan seksual melalui puasa menjadi hal yang perlu kita perhatikan bersama.

Sebagai Bangunan Anti Kekerasan Seksual

Apabila kita tarik puasa dalam upaya kontekstualisasi isu kekerasan seksual, kita dapat menemukan setidaknya dua alasan puasa sebagai bangunan sikap anti kekerasan seksual yaitu secara substansi makna puasa, dan juga signifikansi puasa.

Pertama, secara makna dan substansi, puasa adalah menahan dan mengontrol segala egosentris yang ada dalam diri. Dalam agama Islam, seorang muslim dituntut memiliki mampu mengontrol emosi, kesadaran, dan ego untuk mengimprovisasi dirinya menjadi hamba yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab itu syari’at agama Islam menghadirkan puasa sebagai alat untuk mengontrol dan mengendalikan egosentris yang menjalar di dalam diri muslim.

Baca Juga:  Sikap Dikotomis Terhadap Ilmu

Sebab itu puasa tentunya harus diinterpretasikan secara intrinsik. Artinya puasa yaitu sarana sebagai penanaman dan pengukuhan kesadaran yang sedalam-dalamnya untuk membimbing seseorang kearah tingkah laku yang baik dan terpuji. Tidak berhenti di situ, nilai intrinsik menggambarkan bahwa melalui puasa seseorang di didik untuk mampu bertanggung jawab dan melatih diri menjadi hamba yang sehat baik secara jasmani dan rohani. Hal ini yang sebagaimana diutarakan oleh Rasulullah Saw. yaitu “shuumuu tasihhuu” (puasalah, maka niscaya kalian akan sehat).

Tentu saja ada makna lain dibalik hadis tersebut, tidak lain adalah ketika berpuasa kita benar-benar dilatih untuk menekan dan menahan segala macam bentuk egosentris dalam diri kita. Misalnya seperti keinginan untuk makan dan minum, sampai bahkan keinginan untuk melakukan hubungan seksual antara suami-istri. Ini menandakan bahwa dengan puasa kita diproyeksikan menjadi hamba yang saleh tidak kriminal.

Jika kita kontektualisasikan antara puasa dengan kekerasan seksual maka kita pahami bahwa puasa adalah alat untuk menjadikan seseorang bisa mencegah dirinya untuk melakukan tindakan tersebut. Kita pahami bahwa puasa sebagai menahan diri dari melakukan tindakan kekerasan seksual, baik terhadap istri-suami, ataupun yang lain. Jika kita memahami antara makna, substansi, dan kontekstualisasi isi maka puasa adalah bangunan untuk bisa mengatasi kekerasan seksual dari sisi intrinsik.

Kedua, secara signifikansi, puasa mengantarkan kita menjadi hamba yang bertakwa sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah (2): 182. Sedangkan ketakwaan tidak akan kita dapatkan tanpa adanya tindakan yang terpuji. Dalam konteks ini sifat terpuji adalah sadar akan melakukan kekerasan seksual adalah hal yang hina dan melanggar syariat dan regulasi negara.

Puasa merupakan momentum dimana seseorang mengekang tindakan kriminal yang akan dia lakukan, sehingga menyadarkan bahwa kriminalitas harus di tahan demi mendapatkan predikat hamba yang bertakwa. Rasulullah Saw menegaskan “akmalu al-mu’minina imanan ahsanahum khuluqan wa khiyarukum khiyarukum li nisa’ikum”, yakni seorang hamba dikatakan hamba yang kamil (sempurna) adalah hamba yang paling baik akhlaknya dan paling baik kepada perempuan (istri-istri).

Baca Juga:  Maulid Nabi, Momentum Mahabbah Rasulullah SAW

Tentu saja untuk mengentaskan kasus kekerasan seksual yang terjadi saat ini, kita perlu untuk menginternalisasi bahwa kekerasan seksual adalah suatu tindakan yang tidak terpuji. Kita harus benar-benar sadar bahwa kekerasan seksual sebagai mana yang dijelaskan dalam UU PKDRT tidak bisa dinormalisasi hanya karena menuruti egosentris yang ada dalam diri. Sebab itu untuk menjembatani antara pemahaman kekerasan seksual dan tindakan anti kekerasan seksual adalah internalisasi via puasa.

Dengan demikian, jika kita berhasil memahami dan merebut substansi dan signifikansi puasa maka puasa menjadi salah satu senjata ampuh untuk memperkuat pondasi anti kekerasan seksual. Semoga dengan puasa kita menjadi hamba terpuji, yaitu hamba yang tidak melakukan tindakan kriminal dan tidak menormalisasi aksi kekerasan seksual. []

Mohammad Fauzan Ni'ami
Mohammad Fauzan Ni'ami biasa di panggil Amik. Seorang santri abadi pegiat gender dan Hukum Keluarga Islam.

Rekomendasi

Pengorbanan
Berita

Pengorbanan

Pengorbanan merupakan sesuatu yang penting dalam hidup, bahkan perjalanan hidup untuk meraih sukses. ...
Aset Anda
Hikmah

Aset Anda

Selain anugerah umur dan waktu yang sangat berharga dan bahkan tak ternilai, anugerah ...

Tinggalkan Komentar

More in Opini