Dalam isi tulisan “The Place of Tolerance in Islam”, pada bagian pertama menjelaskan tentang kasus pengeboman yang dilakukan oleh Islam garis keras yang sangat eksklusif di Menara kembar New York. Kelompok ini bernama kelompok jihadis ekstrem al-Qaeda, di bawah pimpinan Osamah bin Laden. Dari adanya kasus pengeboman ini, lahirlah sebuah pemahaman umum bahwa terjadinya peristiwa tersebut oleh masyarakat awam Amerika dikenal dengan benturan peradaban antara dunia Barat dan Islam.
Faktor dasar pengeboman tersebut dikarenakan adanya perbedaan nilai-nilai dari dunia Barat dan Islam yang dianut oleh kelompok Islam garis keras tersebut. Nilai-nilai Barat sendiri oleh para awam dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang mana lebih menekankan pada hak kolektif (bukan kebebasan individu), kewajiban individu (bukan hak asasi manusia), berorientasi pada hukum yang ketat seperti halnya yang terdapat di kitab fikih, sistem pemerintah despotisme/otoriter, dan intoleransi.
Karena hal tersebut, pada akhirnya membuat Amerika menyamakan muslim yang melakukan penyerangan dengan musuh masa lalunya Uni Soviet yang kini dikenal dengan Russia. Tulisan ini merupakan karya dari Khaled Abou el Fadl. Ia merupakan seorang muslim, yang mana tulisan ini dilatarbelakangi oleh aksi pengeboman/penyerangan di Gedung WTC New York City oleh kelompok teroris muslim jaringan al-Qaeda. Dalam tulisan ini menguraikan berbagai fakta tentang kasus penyerangan tersebut serta mengurai adanya kesalahpahaman terhadap kasus tersebut.
Semenjak muslim jaringan al-Qaeda melakukan penyerangan, publik Amerika memandang buruk terhadap Islam. Sebaliknya, kebanyakan kaum muslim memandang Amerika juga demikian, padahal mereka tidak tahu bagaimana fakta sebenarnya. Bukan karena bahwa segala ajaran Islam baik, lalu dalam pandangan kita semua umat muslim baik, tidak juga. Dari kasus penyerangan tersebut, el-Fadl didesak untuk meminta maaf kepada publi Amerika kala itu. Akan tetapi el-Fadl menjawab:
“kalau ada orang Islam membunuh orang lain, saya tidaklah bisa dianggap bersalah hanya saya beragama Islam”.
Kejahatan tetap kejahatan dan tidak harus dibela hanya karena sesama agama. Jika membela kejahatan atas dasar karena seagama, dapat dipastikan ada yang salah dalam cara kita beragama. Jikalau membela hal yang demikian, maka hal itu tidak dibenarkan agama. Pasalnya Islam tidak melegalkan membela tindak kejahatan atas nama seagama.
Semenjak peristiwa itu, Islam oleh Amerika dipandang bertolak belakang dengan nilai-nilai hak individu dan pluralisme. Pandangan Amerika yang semacam itu memang tidaklah seluruhnya salah, pernyataan tersebut akan dibenarkan jika ditujukan kepada kelompok-kelompok ektremis, eksklusif, dan intoleran seperti kelompok jihadis al-Qaeda pimpinan Osamah bin Laden, Wahabi, Taliban, ISIS, dan kelompok jihadis yang lain.
Padahal Islam sesungguhnya tidaklah seperti itu, justru cinta damai dan penuh kasih sayang, hanya saja terdapat kelompok garis keras yang merasa paling benar yang jumlahnya minoritas. Mereka sangat mengklaim bahwa mereka lah Islam sejati, dan di luar dari keyakinannya baik non-muslim ataupun muslim sekalipun, maka mereka anggap sesat, kafir, dan wajib diperangi dan ditundukkan.
Kelompok ini merasa unggul (supremasi) dibanding dengan aliran Islam lainnya, bahkan sangat bertentang dengan nilai-nilai Barat dan nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Maka tidak heran jika mereka melakukan penyerangan/teror memerangi setiap orang yang beda dengan keyakinannya. Mereka beranggapan bahwa jalan keselamatan sepenuhnya ada dalam syariat, yang mana etika dan moral juga ada di dalamnya.
Kelompok al-Qaeda meyakini bahwa Tuhan termanifestasikan ke dalam syariat dan juga berisikan petunjuk untuk melakukan segala hal dan menerapkan hukum sesuai dengannya. Karena Tuhan termanifestasikan ke dalam syariat, maka segala sesuatu yang terdapat di dalamnya harus dilakukan, termasuk juga sangat tekstualis dalam memahami Qur’an. Semisal, seseorang yang dinyatakan telah melakukan pembunuhan, bagi kelompok tersebut tidak ada hukuman lain selain hukuman yang setimpal, yaitu dibunuh/dipancung sesuai syariat Islam.
Jika terdapat model hukuman lain terhadap si pembunuh tersebut (semisal jika di Indonesia divonis hukuman penjara selama beberapa tahun), maka bagi kelompok ini hukum tersebut diklaim sesat. Kelompok ini merasa superior karena mengklaim dirinya adalah tantara Allah. Kelompok Puritan seperti ini sudah tersebar ke Indonesia hingga saat ini yang sedikit-sedikit berbicara dalil dan cenderung mewujudkan kemahasempurnaan Tuhan di muka bumi.
Oleh karena itu mereka menyerang negara-negara yang mereka anggap tidak berbasis syariah dan sudah menyerang ranah sosial politik dan budaya. Kelompok ini dalam memahami teks Qur’an maupun Hadis sesuai dengan pendapatnya sendiri. Pada abad pertengahan, kelompok ektrem ini merupakan khawarij yang membantai banyak orang, baik muslim maupun non muslim. Bahkan, dalam catatan sejarah juga Sayyidina Ali dan khalifah ke empat juga dibunuh oleh kelompok ini.
Sampai sekarang keturunan kaum khawarij masih eksis berada di Aljazair dan Yaman. Namun juga terdapat kelompok lain yakni Assassin dan Qaramita yang dijadikan referensi oleh kelompok extrem tersebut. Dalam tulisan ahli fikih, sejarawan dan ahli ilmu kalam menganggap kelompok tersebut merupakan sempalan. Kelompok-kelompok fanatik semacam ini memperoleh premis teologis puritanisme yang intoleran, salah satunya Wahabi dan Salafi. Wahhabisme didirikan oleh penginjil abad ke-18, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di semenanjung Arab.
Pada bagian ke tiga dalam tulisan The Place of Tolerance in Islam, menjelaskan tentang teologi dari kelompok intoleransi. Kelompok Puritan dalam hal teologi sangat intoleransi karena memahami Qur’an secara tekstual. Contoh: dalam Qur’an disebutkan bahwa non-muslim tidak boleh dijadikan teman karena berbahaya.
Lalu dalam Qur’an ada perintah untuk memerangi umat non-muslim. Padahal turunnya ayat tersebut disesuaikan dengan keadaan zaman dahulu ketika Islam diserang oleh non-Islam, dan sangat jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Menurut Khalid Abu Fadhol, berbagai kelompok extrem sejenisnya tersebut membenarkan teologi intoleransi dengan memahami Qur’an secara harfiah dan tidak mendudukkan ayat sesuai konteks zaman.
Zaman dahulu sangatlah beda dengan yang sekarang. Ayat yang digunakan kelompok ekstrem untuk mendukung gerakan teologi intoleransi seperti halnya Wahabi dan sejanisnya ini merupakan ayat yang tentang larangan umat Islam untuk bersekutu dengan Yahudi dan Kristen dan juga ayat tentang memerangi kelompok kafir.
Abou Fadl dalam inti tulisannya kali ini sebagai muslim yang inklusif, menjelaskan secara rinci pada bagian-bagian selanjutnya mengenai bagaimana Islam tidak membenarkan dan melegalkan membumikan kejahatan dan penyerangan terhadap siapapun. []