Aqiqah Islam: Upacara Menyambut Kelahiran Anak dalam Islam

Dalam pengertian yang paling sederhana, tradisi atau adat adalah sesuatu yang telah dilakukan dari waktu ke waktu dan merupakan bagian dari kehidupan sekelompok orang dalam suatu masyarakat, budaya, agama, waktu, dan negara. Tradisi lokal di masyarakat kita saat ini, terutama di masyarakat pedesaan di seluruh negeri, masih dilestarikan dan  sering dipraktikkan. Saat ini, masyarakat kita masih harus mempertahankan tradisi pedesaan yang digunakan dalam masyarakat Jawa seperti “biodo”, “slametan dan rewang-rewang”. Karena tradisi lokal tersebut sebagai modal sosial untuk menumbuhkan solidaritas sosial antar sesama warga masyarakat.

Kelahiran seorang anak adalah anugerah dari Allah bagi sebuah keluarga, banyak keluarga merayakan kelahiran seorang anak dengan berbagai cara. Ketika masyarakat Jawa menyambut kelahiran seorang anak, mereka biasanya melakukan beberapa upacara penting. Upacara-upacara yang diadakan tersebut mengandung makna rasa syukur atas karunia yang diberikan oleh Allah SWT berupa bayi, harapan semua keluarga, dan  doa untuk keselamatan bayi dan keluarganya.

Setelah kedatangan Islam, ulama seperti Wali Songo mengubah budaya mistik dan takhayul menjadi tradisi yang sesuai dengan norma-norma Islam. Misalnya, tradisi kesuburan Jawa telah ada jauh sebelum penuh dengan aliran sesat, kemusyrikan, dan pemborosan. Sehingga adanya upaya kreatif dari para wali Songo mampu mengubah kebiasaan tersebut menjadi tradisi Islam.

Salah satu bentuk akulturasi tradisi jawa dan tradisi islam yaitu Aqiqah , Pengertian aqiqah adalah hewan sembelihan untuk anak yang baru lahir. Kata aqiqah berasal dari bahasa Arab  yang artinya ialah menyembelih atau berkurban hewan menurut syariat islam atau menyembelih kambing sebagai perwujudan rasa syukur terhadap Allah SWT atas bayi yang baru dilahirkan. Menurut al-Zamakhsyari tersebut merupakan musytaqah ketentuan (istilah yang diambil) dari makna asal “rambut sang bayi”. Sedangkan menurut bahasa, arti dari aqiqah adalah memotong atau memisahkan.

Baca Juga:  Imam Al Ghazali dan Nasihatnya

Pengertian aqiqah menurut al-Shan‟ani, beliau mengemukakan secara spesifik bahwa aqiqah merupakan penyembelihan hewan yang dilaksanakan pada saat upacara atau syukuran kelahiran bayi, yang mana samping al-aqqu berasal dari bahasa Arab yang artinya belah dan potong

Aqiqah merupakan hewan yang disembelih untuk syukuran bagi anak yang baru lahir pada  hari ke-7. Ketentuan jumlah hewan yang disembelih adalah untuk anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing dan untuk anak perempuan cukup satu ekor kambing. Selanjutnya daging dari hewan aqiqoh tersebut dianjurkan untuk diberikan kepada fakir miskin atau yang membutuhkan.

Imam Rasjidi dalam buku Panduan Kehamilan Muslimah menjabarkan terdapat waktu-waktu tertentu yang baik dalam melaksanakan aqiqah. Berikut adalah waktu-waktunya:

Pertama, pelaksanaan  aqiqah  adalah tujuh hari setelah anak itu lahir. Namun, itu diperbolehkan bahkan jika itu diterapkan sebelum itu. Ini adalah pendapat  Ibnu Qayyim.

Kedua, pendapat  Imam Ahmad bin Hanbal. Menurutnya, Aqiqah terjadi pada hari ketujuh. Jika kita tidak bisa melakukannya pada hari ini, kita bisa melakukannya pada hari ke-14 usia anak. Jika tidak memungkinkan pada hari yang sama, maka akan dilaksanakan pada hari ke- 21. Namun, bagi Sayyid Sabiq, hari ke- 20 diganti dengan hari ke-21. Dia menambahkan bahwa jika tidak melakukannya pada hari yang sama karena alasan ekonomi, maka dapat melakukannya Aqiqah pada hari keberapapun.

Menurut para ulama, hukum penerapan Aqiqah berbeda. Menurut madzhab Hanafi, Aqiqah itu halal dan tidak  mustahab (dianjurkan). Hal ini karena Syariah Kurban menghapus semua Syariah sebelumnya  berupa pertumpahan darah hewan seperti Aqiqah, Rajabiyah, dan Atira. Namun dalam kitab “Matan Ghoyatu wat Taqrib fil al-Fiqhi Syafi‘i” disebutkan bahwa hukum Aqiqah adalah sunnah mu’akkad atau sunnah yang dianjurkan.

Baca Juga:  Kontinuitas Islam dan Syariat

Menurut Imam Malik bin Anas, kitab “Al-Muwatta” mengatakan Aqiqah adalah Sunnah, tidak wajib. Imam Syafi’i mengatakan dalam  kitabnya al-Umm  bahwa Aqiqah adalah sunnah bagi mereka yang memiliki kewajiban memelihara dan harus diteruskan kepada mereka yang berhak melakukannya, dalam hal ini orang tua atau wali.

Hewan yang akan disembelih sebagai aqiqah haruslah baik, dari segi jenis, usia, dan sifat-sifatnya harus bebas dari cacat, tidak berbeda dari hewan qurban. Jenis hewan yang akan diaqiqahkan itu adalah unta, sapi, atau domba. Menurut madzab Maliki, jumlah hewan aqiqah itu adalah satu ekor, baik yang lahir adalah anak laki-laki atau perempuan. Hal itu didasarkan pada hadis dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. menyembelih satu ekor domba jantan ketika Hasan dan Husain lahir. Jumlah hewan yang seperti ini adalah yang paling logis dan memudahkan

Madzab Syafi‟i dan Hambali menjelaskan bahwa jika aqiqah dilakukan sebelum atau sesudah hari ketujuh, maka tetap dibolehkan. Selanjutnya, dalam madzab Maliki dan Hambali disebutkan bahwa tidak dibolehkan melakukan selain ayah si bayi, sebagaimana tidak dibolehkan seseorang mengaqiqahkan dirinya sendiri ketika sudah besar. Alasannya, aqiqah disyari‟atkan bagi sang ayah, sehingga tidak boleh bagi orang lain melakukannya.

Namun, sekelompok ulama dari madzab Hambali telah memberikan pendapat bahwa seseorang dapat mengaqiqahkan diri sendiri. Selain itu, aqiqah juga tidak harus pada waktu si anak masih kecil saja, tetapi  ayah dapat dengan mudah melakukan aqiqah bahkan ketika anak mencapai pubertas. Karena tidak ada batasan waktu untuk melakukan aqiqah.

Menurut Syekh Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam, aqiqah memiliki beberapa hikmah.

Pertama, hikmah Aqiqah yang pertama adalah untuk menghidupkan sunnah Rasulullah SAW dalam meneladani Nabi Ibrahim AS

Baca Juga:  Buka Konferensi Islam Tingkat ASEAN ke-2, Wapres Tegaskan, Umat Terbaik Kunci Hadapi Tantangan Global

Kedua, didalam Aqiqah terkandung unsur perlindungan dari setan maupun godaan yang dapat mengganggu anak yang baru terlahir tersebut, sehingga anak yang telah di Aqiqah bisa terlindung dan terhindar dari gangguan setan yang sering mengganggu anak-anak. Hal tersebut juga sama dengan pernyataan Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah “bahwa lepasnya dia dari setan tergadai oleh aqiqahnya”.

Ketiga, Aqiqah juga merupakan salah satu sarana bagi anak untuk bisa memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya kelak di akhir zaman, seperti yang diungkapkan Imam Ahmad, beliau mengatakan, “Dia tergadai dari memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya (dengan aqiqahnya).”

Keempat, Aqiqah juga salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT dan juga sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT dalam bentuk lahirnya seorang anak.

Kelima, Aqiqah juga menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan rasa gembira di dalam melaksanakan syariat Islam dan juga bertambahnya keturunan mukmin yang otomatis memperbanyak umat Nabi Muhammad SAW pada hari kiamat.

Keenam, Aqiqah juga dapat memperkuat ukhuwah islamiyah atau tali persaudaraan di antara masyarakat.

Ketujuh, Aqiqah juga merupakan sarana untuk merealisasikan prinsip keadilan sosial serta menghapuskan gejala gejala kemiskinan yang ada di dalam masyarakat contohnya nya dengan membagikan daging aqiqah kepada fakir miskin. []

Muhammad Shofiyulloh
Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Rekomendasi

Kisah

Potret Sang Nabi

Tak satupun dari sisi kehidupan ini yang tak dicontoh-teladankan oleh Baginda, mulai dari ...

Tinggalkan Komentar

More in Hikmah