Valentine Day yang Islami? Why Not? (Part 1)
Sejarah Hari Valentine

Di antara hal yang selalu diributkan umat Islam di Indonesia menjelang pertengahan bulan Februari adalah fenomena perayaan Hari Valentine. Pro kontra pun terjadi di tengah-tengah masyarakat: ada yang menolak (bahkan mengharamkan) dan ada yang memperbolehkan, yang tentu dalam batas-batas tertentu. Wajar kalau Google Trends menempatkan penelusuran tentang valentine ini (per hari ini, 13/2) di peringkat dua dengan 20.000 lebih pencari. Tulisan ini mencoba menjawab kedua polarisasi itu dengan pijakan sejarah, budaya, dan sebuah tawaran solusi.

Hari Valentine (bahasa Inggris: Valentine’s Day) atau disebut juga dengan Hari Kasih Sayang banyak dirayakan pada tanggal 14 Februari. Sebagaimana definisi dari Wikipedia, Hari Valentine adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Barat.

Hari valentine ini sekarang diasosiasikan dengan para pencinta yang saling bertukaran tanda atau simbol dalam bentuk “valentines“. Simbol modern Valentine antara lain termasuk sebuah kartu berbentuk hati dan gambar sebuah Cupido (Inggris: cupid) bersayap. Mulai dari abad ke-19, tradisi penulisan tanda pernyataan cinta mengawali produksi kartu ucapan secara massal. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia sekitar satu miliar kartu valentine dikirimkan per tahun (liputan6.com).

Di Amerika Serikat, mulai pada paruh kedua abad ke-20, tulis Wikipedia, tradisi bertukaran kartu diperluas dan termasuk pula pemberian segala macam hadiah yang biasanya diberikan oleh pria kepada wanita. Hadiah-hadiahnya biasa berupa bunga mawar dan coklat. Mulai tahun 1980-an, industri berlian mulai mempromosikan hari Valentine sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan perhiasan.

Di Indonesia sendiri, saya melihat Hari Valentine diekspresikan dengan berbagai cara. Ada yang cukup dengan saling memberi ucapan, tukar hadiah, kencan, bahkan yang paling ekstrem dijadikan ajang untuk mesum, dalihnya saling melepas kasih sayang. Namun, saya memprediksi bahwa masih banyak para pelajar dan remaja kita yang mengekspresikan dengan cara-cara biasa, yaitu saling memberi coklat atau hadiah, yang merupakan korban dari tren (saya sendiri dulu pernah jadi korban ketika SMP).

Baca Juga:  Fikih Berkurban

Jadi, jika ditilik lebih dalam, perayaan Hari Valentine di Indonesia yang sudah menjadi budaya, khususnya di kalangan remaja, tidak serta merta dimaknai secara teologis bahwa itu berasal dari tradisi non-Muslim. Juga tidak serta merta harus dihukumi secara fiqih bahwa itu tasyabbuh dengan budaya yang tak Islami. Lebih dari itu, Hari Valentine harus dilihat dari kacamata budaya dan substansi, baru kemudian bisa dihukumi.

Jika harus dihukumi, maka Hari Valentine hanyalah sebuah bungkus, seperti layaknya hukum infotainmen. Tinggal apakah isinya? Jika dalam kasus infotainmen di televisi-televisi Indonesia macam-macam, ada yang sekadar memberitakan keseharian para selebritis, itu boleh-boleh saja. Namun jika sudah masuk para fitnah dan mengumbar keburukan dan bahkan gosip, itu yang dilarang. Hari Valentine pun seperti itu, tinggal bagaimana merayakannya? Jika dirayakan dengan cara yang tidak dilarang agama, maka itu sah-sah saja. Seperti banyak umat Islam yang menggunakan kata “minggu” dan bulan-bulan non-hijriyyah untuk berbagai kegiatan, tergantung pada perilaku kita sendiri bagaimana. []

Muhammad Ihyaul Fikro
Mahasantri Ma'had Aly Nurul Qarnain Sukowono Jember

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] kita maklumi bersama bahwa secara historis Islam memang sudah punya Hari Valentine, yaitu hari Pembebasan Kota Suci Mekkah. Peristiwa yang terjadi pada tahun 630 M atau tepatnya pada […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini