Mencintai Tanpa Egois

Mencintai—Anda tahu, seringkali justru ditunjukkan dengan memberi perhatian lebih dari yang Anda pikirkan sebelumnya. Namun perhatian yang bagaimana? Apakah dengan selalu menanyakan kabar? Apakah dengan selalu berkorban untuk kebahagiaan yang dicinta? Atau justru ‘mendikte’ yang dicinta mengikuti apa yang terbaik menurut versi kita? Well, Biarlah jawaban itu Anda simpan dalam relung batin Anda sembari kita melanjutkan cerita.

Sahabat, dalam lanskap kehidupan, kadang kita–karena saking cintanya kita kepada pasangan, sahabat atau kerabat, kerap kali kita menstandarisasi kemauan kita dengan standar kemauan mereka. Disadari atau tidak? Ya, sering kita memaksakan keinginan kita kepada orang yang kita cinta.

Alih-alih terlampau cinta—Namun, hal itu justru mampu menembus batas ideal dari diri seseorang. Memang, yang kita lakukan tak lain adalah untuk kebaikan mereka. Namun, kita tidak tahu; apakah yang kita mau akan ‘cocok’ dengan kemauan mereka atau malah justru sebaliknya.

Sebelum menjadi pasangan, misal. Tentu keduanya bermula dari dua individu yang berbeda, bukan? Lantas mengapa setelah ‘bersatu’ justru ingin menyelaraskan dengan keinginan dari satu individu saja? Bukankan dengan sama-sama ‘saling menerima’, membiarkan pasangan menjadi dirinya sendiri dan bahagia dengan warnanya sendiri jauh lebih indah?

Memang, kita tidak bisa menolak. Menolak dari apa? Menolak dari keinginan dan hasrat merubah seseorang berdasarkan ‘versi kita’. Itu baik, selagi bisa diterima. Terlepas dari itu, tak elok rasanya bila kita amat memaksakan apa yang terbaik menurut kita namun tak berkenan menurut versi terbaik mereka. Dengan meminjam istilah KH. Husein Muhammad; ”Oleh karena setiap orang ingin pilihannya dihargai. Maka seyogyanya dia menghargai pilihan orang lain”.

Mari kita telisik sebuah cerita klasik ini. Seorang Raja sedang berada dalam tawanan musuh. Apabila Raja bisa menjawab satu pertanyaan dengan benar, maka ia akan dibebaskan. Sang raja diberi tempo waktu satu tahun untuk memikirkan jawaban itu. Jika sang Raja tidak bisa menjawab, maka ia akan dibunuh.

Baca Juga:  Mencintai Istri dan Anak sebagai Wujud Mencintai Allah

Pertanyaan yang diajukan kepada sang Raja adalah ”Apa yang paling diinginkan oleh wanita?” Sulit bagi Raja menjawab pertanyaan tersebut. Mengingat, menurutnya wanita adalah makhluk yang rumit dan sulit ditebak.

Raja pun dalam kebingungan. Ia berusaha mencari jawaban dengan bertanya kepada banyak orang, mulai dari Ratu, wanita terpelajar, Tabib, bahkan Paranormal. Namun jawaban yang diberikan tidak memuaskan.

Suatu hari Raja disarankan untuk mendatangi Nenek tua yang tinggal di gunung. Konon, hanya Nenek itulah yang bisa menjawab pertanyaan dengan benar. Akan tetapi sang Nenek rupanya meminta imbalan untuk jasanya tersebut. Ia ingin menikah dengan Pangeran tampan yang tak lain adalah sahabat sang Raja.

Raja sedih. Ia tidak ingin membebani sahabatnya, karena Nenek itu selain tua ia juga buruk rupa. Nenek itu cuma memiliki satu gigi dan tubuhnya berbau busuk. Namun, sang Pangeran tidak ingin melihat Raja dibunuh. Untuk itu, Pangeran setuju menikahi Nenek tua itu.

Ketika pesta pernikahan telah dimulai, Nenek tua memberikan jawaban kepada Raja “Apa yang diinginkan seorang wanita adalah menentukan sendiri pilihan hidupnya”. Semua orang di kerajaan setuju dengan jawaban itu. Sang musuh pun merasa puas dan bersedia membebaskan Raja. Pesta berlangsung dengan meriah.

Malam pertama pernikahan, Pangeran sangat ketakutan menemui istrinya di kamar. Betapa tidak, meskipun istrinya telah memakai gaun pengantin mewah, istrinya tetaplah nenek tua yang buruk rupa.  Tetapi ketika pangeran masuk ke kamar, yang ia dapati bukanlah nenek tua yang buruk rupa. Namun gadis yang berparas sangat cantik.

Pangeran kaget dan bertanya apa yang terjadi dengan istrinya sehingga berubah wujud?.  Wanita cantik itu berkata “Anda sangat baik kepadaku. Ketika Aku tua dan buruk rupa, maka Aku akan berubah menjadi cantik dan muda kembali. Namun hal ini hanya akan berlangsung setengah hari saja. Setengah hari lainnya Aku akan berubah menjadi Aku yang jelek dan buruk rupa”.

Baca Juga:  Belajar Mencintai

Mana yang dipilih pangeran? Cantik di siang hari atau cantik di malam hari? Pangeran pun berpikir keras. Kalau ia memilih agar istrinya cantik di siang hari, maka ia bisa memamerkan kepada teman-temannya. Namun, malam harinya ia akan tidur bersama wanita yang buruk rupa. Di lain sisi, jika ia memilih istrinya cantik di malam hari, di waktu siang ia tidak bisa memamerkan kepada teman-temannya.

Nah, sahabat. Bila Anda menjadi pangeran apa yang Anda lakukan? Yang dilakukan oleh Pangeran adalah memberikan kelonggaran kepada istrinya untuk membuat keputusan sendiri.  Mendengar hal tersebut, sang istri pun mengatakan bahwa ia akan tetap cantik sepanjang hari, karena Pangeran begitu menghargai wanita untuk memutuskan jalan hidupnya sendiri.

Sahabat, alangkah indahnya jika manusia bebas dari sikap egois. Tidak akan ada pemaksaan kehendak. Bila saling menghargai bisa menghantarkan terciptanya kedamaian, mengapa tidak? Mari kita melapangkan dada untuk bisa menerima pilihan dari setiap yang orang lain pilih menurut versi masing-masing. Dengan harapan semoga kedamaian terpatri dalam hati masing-masing kita. []

Tri Faizah
Penulis adalah Mahasiswa UIN Raden Intan Lampung Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir sekaligus Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan Lampung.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini