Fikih Berkurban

Berkurban adalah suatu ibadah yang sangat mulia, dengannya umat islam belajar untuk selalu meningkatkan keikhlasan, melatih diri bahwasanya semua harta yang kita miliki hanya milik Allah semata. Kurban di syariatkan pada tahun dua hijriyah.

Dalam istilah agama berkurban sering disebut dengan kata “Udhiyah” merupakan bentuk jamak dari kata “Dahiyyah” yang berasal dari kata “Dhahwah” yaitu waktu dhuha (permulaan siang setelah terbitnya matahari) penamaan ini dinisbatkan kepada waktu awal penyembelihannya yaitu waktu dhuha setelah salat iduladha dan khotbah ringkas di Hari Raya Haji. Adapun secara istilah syar’i berkurban adalah menyembelih hewan dengan tujuan semata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta mendapatkan keridhaan-Nya.

Hukum berkurban:

Dalam mazhab fikih mazhab Syafi’i hukum kurban adalah: sunnah muakkad atau sunnah yang dikuatkan. Akan tetapi bisa menjadi wajib dengan suatu penentuan, contoh : Ketika seseorang menentukan suatu hewan tertentu untuk dikurbankannya, dengan berkata: “ini hewan kurbanku” atau dengan perkataanya : Saya ingin berkurban dengan hewan ini sambil menentukannya, maka wajib baginya berkurban ketika itu. Tapi kurban juga bisa menjadi wajib karena nazar ingin berkurban.

Dan dalam mazhab Hanafi hukum berkurban adalah wajib bagi orang yang tidak sedang melakukan perjalanan, dan juga yang mampu.

Dalil berkurban:

Dalam Al-Quran Allah berfirman :

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah” (Q.S. Al-Kautsar: 02)”

Dan dalam riwayat yang terdapat dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim, Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu berkata,

ضَحَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor domba jantan putih kehitaman lagi bertanduk, beliau menyembelih keduanya dengan tangannya, beliau mengucapkan bismillah serta bertakbir, dan beliau meletakkan kakinya di antara leher dan badan kedua hewan tersebut.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Baca Juga:  Peran Pesantren dalam Menangkal Radikalisme

Kriteria hewan kurban:

Tidak ada dalil dari Nabi Muhammad SAW. dan para Sahabat berkurban dengan menggunakan selain hewan ternak. Ulama sepakat bahwa semua hewan ternak boleh dikurbankan dan tidak boleh dari selainnya, akan tetapi para ulama berbeda pendapat pada urutan keutamaan suatu hewan ternak yang akan dikurbankan.

Dalam kitab Is’adul Bariyyah fi ahkami al-Udhiyyah karya Syeikh Hisyam al Kamil As-syafi’i beliau menjelaskan, dalam mazhab Syafi’i urutan hewan yang paling utama adalah onta, kemudian sapi dan disusul kambing. Akan tetapi dalam mazhab maliki sebaliknya yaitu kambing atau domba, kemudian sapi dan disusul unta. Dan menurut mazhab Hanafi : yang paling utama adalah yang memiliki banyak daging, kemudian dikriteriakan dalam mazhab mereka unta kemudian sapi dan disusul domba atau kambing.

Usia hewan kurban:

Dalam mazhab syafi’i usia hewan kurban sangatlah diperhatikan . Kriterianya sebagai berikut:

-Unta: usia unta harus mencapai lima tahun dan memasuki tahun ke enam.

-Sapi atau kerbau: usia sapi atau kerbau harus dua tahun dan memasuki usia ke tiga.

-Domba (Dha’n): usia domba minimal harus mencapai satu tahun dan memasuki usia ke dua, atau juga dengan tanda bergantinya gigi yang disebut ( Jadza’)  berangkat dari hadist riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah Rasulullah SAW.  bersabda:

“ضحُّوا بالجذَعِ منَ الضأْنِ فإنَّهُ جائِزٌ”

“Sembelilhlah domba yang jadza’, karena itu diperbolehkan.”

– Kambing: usia kambing harus mencapai minimal dua tahun dan memasuki tahun ke tiga.

Kemudian dalam postur hewan kurban juga memiliki tingkatan kriteria, seperti yang dituliskan al- Imam as-Syarqawi dalam kitabnya Tuhfatu at- Thullab :

“Dan para ulama bersepakat bahwasanya dianjurkan hewan yang gemuk dalam berkorban, karena hewan yang gemuk lebih utama dari yang lainnya. (lebih banyak dagingnya, lebih bermanfaat).”

Baca Juga:  Jamaluddin al-Afghani: Pejuang Islam yang Tak Kenal Lelah

Adapun dalam warna, Imam Syarqawi mengkategorikan tingkatan keutamaan warna hewan kurban dalam Tuhfah at-Tullab sebagai berikut :

“Adapun dari segi warna maka warna putih lebih baik kemudian disusul dengan warna kuning, kemudian warna putih kecoklatan (bak warna pasir) , kemudian warna loreng putih dan hitam, dan terakhir adalah warna hitam.”

Kecacatan hewan kurban.

Dianjurkan bagi kita untuk mempersembakan hewan kurban dengan sebaik-baiknya, disunnahkan yang gemuk dan sehat agar daging lebih banyak bermanfaat kepada saudara islam yang membutuhkan. Beberapa kecacatan yang harus dihindari berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

روى البراء بن عازب رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ الْعَوْرَاءُ البَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ البَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ البَيِّنٌ عرجها والعجفاء التي لا تنقى

Diriwayatkan dari al Barra bin Azib bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : Empat macam hewan yang tidak sah dijadikan hewan kurban, satu yang jelas buta matanya, dua yang kondisi fisiknya jelas dalam keadaan sakit, tiga yang kakinya jelas pincang, dan empat yang berbadan kurus lagi tak berlemak.”

Al- Imam as-Syarqawi dalam kitabnya Tuhfatu at- Thullab yang merupakan komentar terhadap kitab Tahrir Tanqih al-Lubab karya Syeikhul Islam Zakaria al- Anshari memetakan dalam hal ini sebagai berikut:

Kecacatan yang tidak dimaafkan:

Al- Aura’: Gangguan pada mata yang menyebabkan kebutaan. Dalam hal ini takaran boleh dan tidaknya hewan dijadikan kurban adalah: jika gangguan itu sedikit, maka tidak apa, dan apabila parah sehingga mengakibatkan kebutaan mayoritas atau total kedua matanya maka itu tidak boleh.

Al-Amya’: Buta, maka jelas tidak boleh seperti yang tertera dalam hadis.

Adapun kecacatan yang masih dimaafkan adalah:

Baca Juga:  Bagaimana Televisi Menggambar Pesantren?

Al-Amsya’: Pandangan lemah disebabkan karena seringnya mata berair.

Al-Asywa’: Yang tidak melihat di malam hari, akan tetapi melihat di siang hari.

Kecacatan ini dimaafkan, karena tidak memberikan efek kepada daging, dan dikarenakan waktu menggembala adalah siang hari dan al-Asywa’ mampu melihat di waktu itu. Adapun Al Arja’ (pincang kakinya) dan Al-Ajfa‘ (kurus kering kerontang) yang kondisinya jelas sangat memprihatinkan hal itu tidak diperbolehkan berdasarkan hadis yang ada.

Hikmah kurban:

1. Melaksanakan perintah Allah, semata untuk menggapai ridha-Nya dan meneladani sunnah nabi-Nya.
2. Melatih diri untuk penyerahan dengan sepenuh penuhnya penyerahan, bahwasanya semua harta yang kita miliki adalah milik Allah semata.
3. Meningkatkan tali ukhuwah sesama umat Islam.
4. Membantu saudara yang kurang mampu dengan membagikan daging hewan kurban kepadanya.
5. Menumbuhkan rasa senang dan bahagia kepada sesama.
6. Mewujudkan hakikat Islam sebagai agama kasih sayang. [IZ]

Ade Rizal
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin al Azhar Kairo Mesir, Pondok Modern Gontor, Tabarukan di Lirboyo,Pondok Kwagean Kediri, Pondok Hamalatul Qur'an Jombang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah