Imam Malik bin Anas lahir di Madinah tahun 93 H/714 M dan meninggal tahun 179 H/800 M. Ia adalah salah seorang pendiri mazhab fiqh yang dikenal dengan nama Mazhab Maliki. Di samping empat sumber hukum Islam yang disepakati yaitu al-Quran, Hadits, Ijma’ (konsensus) dan Qiyas (analogi), Fiqh Maliki mengambil dasar kemaslahatan umum (kepentingan publik) dan tradisi lokal (‘amal Ahl Madinah). Inilah yang khas dari mazhab ini. Bahkan dasar pertimbangan yang terakhir ini (tradisi Madinah) lebih diutamakan daripada hadits tunggal.

Imam Malik menyampaikan argumen dari al-Qur’an dan Hadits Nabi atas penggunaan metode ini. Ini dikemukakan dalam suratnya kepada Imam Laits bin Sa’d (713-791 M) seorang ahli hadits dan fiqh dari Mesir sekaligus sahabat Imam Malik. Para pengikutnya mendukung penuh argumen ini. Mereka mengatakan bahwa praktik/tradisi yang berkembang dalam masyarakat Madinah mempunyai sumber dari banyak sahabat Nabi. Ada yang mengatakan begini:

وأن ماجرى عليه أهل المدينة لايبعد أن يكون الرسول اطلع عليه، وسكت عنه، وأقرهم عليه، وأن الرسول لبث في اهل المدينة عشرا يوحي إليه، وبها اقام دولته، وبنى قواعدها، ودبر شورن المسلمين.
إن صحابته بعده لم يغيروا شيئا من ذلك، تابعوا وافتدوا به في عمله وهديه.

Apa yang berlangsung dalam masyarakat Madinah (al-Munawwarah), paling tidak telah dilihat Nabi, beliau diam saja dan ini berarti mengakuinya. Selama 10 tahun Nabi tinggal di Madinah, beliau menerima wahyu. Di kota itu beliau mengatur kehidupan politik dan merumuskan dasar-dasar pemerintahan dan aturan-aturan publik. Sepeninggal Nabi, para sahabatnya tidak melakukan perubahan apapun atasnya.Mereka mengikuti dan menjalankan petunjuk-petunjuk beliau“.

Mengenai ini ia diperdebatkan di kalangan ulama.

Baca Juga:  Menelisik Imam Malik, 40 Tahun Susun Kitab Al Muwatta'

Menulis 100.000 hadits

Imam Malik adalah pelopor penghimpunan hadits-hadits Nabi, jauh sebelum Imam Ismail al-Bukhari (810-870 M) dan Imam Muslim bin al-Hajjaj (822-875 M). Ia menulis buku kompilasi hadits-hadits Nabi yang diberi judul “al-Muwatha”. Ia bermakna “yang disepakati/disetujui”. Imam Jalal al-Din al-Suyuthi mengisahkan penamaan kitab ini.

عرضت كتابى هذا على سبعين فقيها من فقهاء المدينة. فكلهم واطأنى عليه . فسميته الموطأ

“Saya menunjukkan kitabku ini kepada 70 ahli fiqih Madinah. Semuanya sepakat atasnya. Maka aku memberinya nama al-Muwaththa’” (Tanwir al-Hawalik, hlm. 7).

Ia juga bisa berarti mudah, sistematis.

Ia hapal dan menguasai puluhan ribu hadits. Bahkan ia telah menulis seratus ribu hadits. Tentang ini ia sendiri mengatakan:

كتبت بيدى مائة الف حديث

Aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadits“ (Abd Allah Musthafa Syalabi, Thabaqat al-Ushuliyin, hlm. 118).

Wudhu dan Jalan Kaki

Adalah menarik bahwa pada setiap Imam Malik bin Anas akan meriwayatkan hadits kepada para sahabatnya, ia lebih dulu mengambil wudhu, duduk dengan tenang dan menyisir rambutnya. Manakala ditanyakan soal ini, ia menjawab “Saya senang menghormati hadits Rasulullah SAW“.

Di Madinah, Imam Malik tidak pernah naik kendaraan, meski usianya sudah tua dan lemah. Ia lebih memilih berjalan kaki saja. Ketika ia ditanya mengapa begitu, ia menjawab bahwa di Madinah ini terdapat tempat istirahat Rasulullah SAW. Ia sangat menghormati Nabi yang mulia. Katanya:

أستحي من الله أن أطأ تربة فيها رسول الله بحافر دابة

Aku malu kepada Allah jika kaki kendaraanku menginjak tanah di mana Rasulullah berada/beristirahat” (Baca: Qadhi ‘Iyadh, dalam “al-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, pasal 7 : I’zaz wa Ikram Man Lahu Shilah bih Shallallah ‘alaih Wasallam).

Husein Muhammad
Dr (HC) Kajian Tafsir Gender dari UIN Walisongo Semarang, Pengasuh PP Darut Tauhid Arjowinangun Cirebon, Pendiri Yayasan Fahmina Institute

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Karamah