Ulama

Menelisik Imam Malik, 40 Tahun Susun Kitab Al Muwatta’

Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris Al-Asbahi lahir di Madinah pada tahun 714 (93 H), dan wafat di Madinah juga pada tahun 800 (179 H)). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Maliki. Dalam merumuskan hukum fikih, Imam Malik merujuk kepada Al Qur-an, Hadits Nabi, Ijma (Ahli Madinah), Qiyas, Praktek Penduduk Madinah, Maslahah Mursalah (maslahat), ‘Urf (Tradisi) dan Saddu-dzari’ah (upaya pencegahan).

Ayahnya, Anas bin Malik adalah salah satu periwayat hadis. Sedangkan kakeknya, Malik bin Abi Amir, salah satu tokoh ulama dari kalangan Tabiin, orang Islam di masa awal yang mengalami zaman bersama para Sahabat Nabi. Malik bin Abi Amir, banyak meriwayatkan hadis dari tokoh-tokoh besar sahabat, seperti Sayyidina Umar, Sayyidina Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Sayyidah ‘Aisyah, Abu Hurairah, Hassan bin Tsabit dan ‘Uqail bin Abi Thalib. Malik bin Abi Amir memiliki hubungan baik dengan Sayyidina Usman bin Affan. Suatu ketika Sayyidina Usman pernah mengutus Malik bin Abi Amir untuk menaklukkan Afrika hingga berhasil.

Imam Malik menyusun kitab Al Muwatta’ yang merupakan kitab hadits dan fiqh sebagai salah satu dari Kutubut Tis’ah (sembilan kitab hadis utama di kalangan Sunni). Dalam penyusunannya menghabiskan waktu 40 tahun. Waktu itu, Imam Malik menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits. Yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 naskah. Yang paling mashur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.

Baca Juga:  Berkah Rawi Muwaththa' yang Tidak Mau Melihat Gajah

Al-Muwatta’ berarti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Al-Muwatta’ merupakan sebuah kitab yang berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah sahih, karena Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits.

Dia sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran. Imam Syafi pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al Qur-an yang lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik.” Inilah karangan para ulama muaqoddimin.

Tujuh Fuqaha Madinah adalah sebutan untuk sekelompok ahli Fiqh dari generasi Tabi’in yang merupakan para tokoh utama ilmu fiqih di Madinah setelah wafatnya generasi sahabat yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad. Tujuh Fuqaha Madinah memberikan pengaruh besar pada dasar-dasar Madzhab Malik dan Syafi’i. Tujuh Fuqaha itu diantaranya (1) Said bin Al Musayyib, (2) Al Qasim bin Muhammad, (3) Sulaiman bin Yasir, (4) Urwah bin Az Zubair, (5) Khariyah bin Zaid, (6) Ubaidillah bin Abdullah, dan (7) Abubakar bin Abdurrahman.

Guru Imam Malik yaitu Abu az-Zinad mengumpulkan konsensus pendapat Tujuh Fuqaha dalam bukunya Al-Mudawwanah; konsensus pendapat tersebut beserta hadits-hadits dari Tujuh Fuqaha dianggap oleh Imam Malik dasar-dasar utama dari berbagai amal kebiasaan penduduk Madinah. Demikianlah para fuqaha tersebut memberikan pengaruh besar pada dasar-dasar Madzhab Malik dan Syafii.

Baca Juga:  Tak Naik Kendaraan karena Hormat kepada Nabi

Sumbangan Imam Malik, Rasyad Hasan Khalil (Danu Ari la Setyanto, 2016), yang menarik dapat diamati dari pemikiran dan dasar-dasar mazhab Maliki dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut:

Pertama, Imam Malik mendahulukan orang-orang Madinah sebelum ia melakukan pemikiran ijtihadnya dengan ra’yu dan qiyas. Bagi Imam Malik, perbuatan orang-orang Madinah dianggap memiliki kehujjahan yang sejajar dengan Sunnah Nabi, bahkan Sunnah Mutawatirah.

Kedua, Imam Malik menganggap dan menggunakan qaul sahabat sebagai dali syar’i yang harus didahulukan penggunaannya daripada Qiyas.

Ketiga, Kecenderungan yang kuat dalam penggunaan al-maşlahah mursalah. Metodologi ini pada awalnya merupakan khas pemikiran Imam Malik yang diduga kuat merupakan pengaruh dari pemikiran tokoh fikih sahabat, seperti Umar bin Khaththab.

Keempat, Imam Malik sangat toleran terhadap penggunaan hadits ahad.

Yang bisa diperoleh hikmah dari mengenal Imam Malik, bahwa beliau menyumbangkan suatu karya besar kumpulan Hadits yang dikumpulkan dalam suatu Kitab Besar Al Muwatta’ yang semua Hadits di dalamnya sahih. Imam Malik menempatkan sumber hukum Islam yang paling utama adalah Al Qur-an dan As Sunnah, selanjutnya disusul dengan Ijma (Ahli Madinah), Qiyas, dst.

Kitab Al Muwaththa disusun memakan waktu 40 tahun yang dalsm proses penyusunannya terus melakukan validasi dari banyak pihak, sehingga terjamin shahehnya. Dengan menjadikan Al Muwaththa menjadi referensi dalam mempelajari Islam, kita dapat terhindar dari hadits-hadits dhoif dan palsu.

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] di Madinah, al-Laitsi kemudian berguru pada Imam Malik. Pada suatu ketika, ada seekor gajah yang lewat majlis Imam Malik. Seketika itu, semua murid Imam […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama