batas Aurat Perempuan

Batas-Batas Aurat Perempuan

Kajian Fiqh klasik yang membicarakan batas aurat perempuan, membagi dua katagori perempuan ; perempuan merdeka (al-hurrah) dan perempuan hamba sahaya/budak perempuan (al-amah).

Batas aurat untuk perempuan merdeka berbeda dari perempuan hamba sahaya (budak). Penyebutan “perempuan budak” dalam ayat ini meski mungkin dianggap tidak relevan lagi untuk saat ini, tetapi ini memperlihatkan adanya sejarah sosial perbudakan ketika teks-teks keagamaan ini turun, dan hal ini penting bagi analisis kita atas isu ini. Tentang batasan aurat budak perempuan ini akan dibicarakan kelak.

Mengenai aurat perempuan merdeka, batasannya tidaklah tunggal sebagaimana dikesankan selama ini, melainkan plural, beragam. Imam al Nawawi dan Al-Khatib al-Syarbini, yang merepresentasikan pandangan madzhab al-Syâfi’î, menyatakan bahwa aurat perempuan merdeka adalah seluruh tubuh kecuali muka (wajah) dan dua telapak tangan (bagian atas/luar dan bawah/dalam) sampai ke pergelangan tangan. Tetapi Imam Al-Muzanî, murid utama Imam al-Syafi’i, memberikan catatan bahwa kedua telapak kaki tidak termasuk aurat yang wajib ditutup.

Imâm al-Marghinânî dari madzhab Hanafî juga mengatakan bahwa aurat perempuan merdeka adalah seluruh anggota tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Tetapi pendapat lain dari mazhab ini pula menyatakan bahwa kedua telapak kaki tidak termasuk aurat yang wajib ditutup, dan ini merupakan pendapat yang lebih sahih (ashah). Lebih jauh dari itu, Abû Yusuf, murid utama Imam Abu Hanifah, bahkan mentolerir sampai separoh dari betis kaki. Dalam arti separoh dari kaki perempuan bagian bawah ini boleh terbuka. Lengan tangan perempuan dan rambut yang terurai, menurutnya juga tidak termasuk aurat yang wajib ditutup.

Pandangan yang sama dengan mazhab Hanafi juga dikemukakan oleh Ibrahim al Nakha’i dan Imam Sufyan al Tsauri. Keduanya ahli fiqh besar dengan reputasi yang sama dengan para Imam Mazhab empat, meskipun dalam sejarah sosialnya kemudianpandangan fiqh mereka tidak lagi populer.

Baca Juga:  Jilbab, Hijab dan Kesalehan (1)

Dalam madzhab Maliki juga ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa muka dan telapak tangan perempuan merdeka bukanlah aurat. Pendapat yang kedua, masih sejalan dengan yang pertama, tetapi mereka menambahkan bahwa kedua telapak kaki tidak termasuk aurat. Meskipun demikian, Imam Muhammad bin ‘Abd al-Lâh al-Maghribî memberikan catatan bahwa jika perempuan merasa khawatir terhadap fitnah, yakni menarik perhatian atau mengganggu hasrat seksual laki-laki, maka perempuan tersebut harus menutup muka dan kedua telapak tangannya.

Husein Muhammad
Dr (HC) Kajian Tafsir Gender dari UIN Walisongo Semarang, Pengasuh PP Darut Tauhid Arjowinangun Cirebon, Pendiri Yayasan Fahmina Institute

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Perempuan