Delapan jam kerja tidak turun dari langit. Adalah Robert Owen seorang berkebangsaan Inggris pada abad ke 19 mencetuskan, bahwa sesungguhnya 8 jam kerja adalah waktu yang cukup pantas diberikan seorang manusia untuk mengabdi pada sebuah pabrik tempat ia bekerja. Saat itu bekerja 14 jam sebagai kewajaran dan 8 jam kerja adalah impian. Anda bisa membaca atau menonton Oliver Twist sebagai gambarannya.

Menjelang tahun 1800an terdapat beberapa peristiwa penting tentang jam kerja. Tom Mann tahun 1884 membentuk “Eight Hours League” dengan tujuan agar 8 jam sehari bekerja ditetapkan menjadi peraturan. Kemudian didukung oleh The Federation of Organized Trade and Labour Union yang menyatakan bahwa tanggal 1 Mei 1886 menjadi hari pertama 8 jam diterapkan. Banyak pemilik pabrik dan perusahaan mengabaikannya, akibatnya 350.000 pekerja mogok bekerja untuk memprotes hal tersebut.

Baru pada tahun 1905 Ford Motor Company menerapkan 8 jam kerja. Hari ini, 115 tahun kemudian orang-orang sudah lupa bahwa 8 jam kerja adalah harapan masa lalu yang hari ini sudah dianggap lumrah. Pertanyaannya, apakah 8 jam kerja masih bisa kita anggap manusiawi? Pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan melihat jauh kebelakang bagaimana sejarah umat manusia memandang jam kerja.

Dalam teori peradaban (Civilization), peradaban bisa tumbuh dan berkembang karena manusia sudah terlepas dari beban hewani. Melalui berbagai perkembangan, tibanya masa revolusi neolitikum atau penemuan bercocok tanam merupakan titik awal kebangkitan peradaban. Artinya manusia bisa menanam dan beternak (domestifikasi) sehingga ia tidak selalu kelaparan. Maksudnya, berbeda dengan binatang, manusia saat itu bisa menyimpan makanan dan tidak perlu memikirkan makanan setiap hari atau 24 jam. Saat itulah lahir: WAKTU LUANG.

Waktu luang menciptakan manusia-manusia perenung. Mereka mulai memikirkan banyak hal. Bermain-main, bersantai, bersenda gurau, membuat manik-manik, dan yang paling penting; menulis dan menggambar. Temuan lukisan Gua di Sulawesi yang umurnya sekitar 40.000 tahun dikatakan sebagai lukisan paling tua di dunia lebih dari yang ditemukan di Eropa Barat maupun Australia (The New York Times, 11/12/19). Artinya orang Sulawesi sudah bersantai ria sejak 40.000 (estimasi sekitar 52.000) tahun sebelum masehi.

Baca Juga:  Refleksi Hari Buruh: Kita Semua Buruh, Bosnya itu Allah Swt

Kini waktu luang ditafsirkan berbeda. Sebagian dari anda mungkin merasa memegang gadget atau smartphone merupakan waktu jeda atau cara menikmati waktu luang. Melupakan bahwa ada banyak grup WA organisasi, lembaga, keluarga, keluarga kecil, keluarga besar dan yang paling penting; grup tempat kerja didalam gawai. Seorang Stand up Comedy pernah menyatakan tidak mungkin apabila tempat kerja hanya ada satu grup. Pasti selalu ada dua; Grup yang ada bosnya dan grup untuk membicarakan bosnya.

Kenyataan tersebut menegaskan bahwa waktu luang bahkan ruang yang luang itu hampir tidak ada sama sekali. Kalau anda memakai gadget di toilet maka bukan tidak mungkin anda menghindari notifikasi grup kerja. Hal ini menunjukkan bagaimana pekerjaan menghampiri anda bahkan ketika sedang di toilet. Namun sementara itu banyak orang merasa cara kerja masa kini sebagai sebuah pencapaian yang menyenangkan.

Baru-baru ini dikenal profesi baru dalam bisnis dunia digital sebagai ‘digital nomad’ yang merubah ruang dan waktu kerja. Kata digital adalah pekerjaannya dan nomad diambil dari kata nomaden. Yakni sebuah prilaku manusia pra-sejarah yang hidup berpindah-pindah. Para pelaku digital nomad bisa memilih tempat dan jam kerja sesukanya. Sebuah perusahaan di New York bisa membuat para pekerjanya bekerja di Bali dengan pemandangan pantai sambil meminum es kelapa hanya dengan dua hal: laptop dan wifi.

Pada awalnya ini merupakan harapan baru. Namun ternyata, ada yang terlewat. Bahwa para pekerja ini baru terlepas dari beban kerja 8 jam namun selama 24 jam tersebut bisa jadi sewaktu-waktu mereka harus segera berada di depan laptop menyelesaikan beberapa beban kerja.

Kaum digital nomad yang makin banyak di Bali mengaku bahwa perusahaannya telah menghitung biaya sewa kantor di New York lebih mahal daripada membiayai seluruh biaya hidup karyawannya selama berbulan-bulan hidup di Bali. Hal ini sempat disinggung oleh sebuah laporan jurnalistik bahwa justru jenis pekerjaan baru ini membuat perusahaan melepaskan tanggung jawab mereka untuk melindungi dan menjamin para pekerjanya ketika berada diruang dan waktu yang (dianggap) tidak bisa dijangkau perusahaan.

Baca Juga:  Refleksi Hari Buruh: Kita Semua Buruh, Bosnya itu Allah Swt

Para digital nomad belum memahami dimana letak kerugian dan pada titik mana perusahaan sesungguhnya sedang memeras mereka. Sementara tampilan luar mereka yang; ngopi di café, mengetik dipinggir pantai, dengan baju oblong sambil ketawa tidak merubah keadaan bahwa tampilan tersebut dalam rangka bekerja. Mereka memakai baju liburan meski otak mereka sedang bekerja secara maksimal demi perusahaan. Inikah masa depan pekerjaan millenials?

Cara kerja yang sebenarnya sangat memeras ini bisa diperpanjang listnya seperti pekerjaan desain grafis, transportasi online dan semua yang berbasiskan digital. Berbeda dengan perusahaan pra-digital yang memiliki beban untuk mengasuransikan aset dan pekerja mereka, memberi jaminan kesehatan pendidikan bahkan anak pekerjanya. Sekarang bisnis digital mengalihkan beban itu pada para pekerjanya sendiri. Namun sebagian orang melihat hal ini sebagai kemajuan.

Kemajuan?

Tiga bulan yang lalu, kita masih hidup dengan standar dunia; bekerja 8 jam, membeli semua kebutuhan bukan membuatnya sendiri, liburan pada waktu yang sudah ditentukan, bertemu orang asing dengan mudah, bepergian ke berbagai negara dengan pesawat dan hitungan jam melebihi rekor ikan paus sebagai satu-satunya mamalia yang mengelilingi dunia.

Tiga bulan lalu anda masih minum kopi dari brazil dengan merk Amerika, bersepatu dari Italia, duduk dengan gadget dari China, memakan nasi dari Thailand diterangi lampu dari Jepang dan memuji makanan dengan bahasa Perancis atas kenikmatan rempah-rempah dari negeri sendiri saat menonton film Korea!

Kini semua sirna dan kita harus bekerja di rumah. Menyadari bahwa sebagian besar yang kita konsumsi adalah suatu komoditas yang tidak mampu kita buat sendiri. Kemampuan yang hilang itu adalah survival skill.

Tiga bulan lalu cara bertahan hidup kita berbeda 360 derajat dengan manusia purba. Anda tidak perlu jago memanah, menunggang kuda, menyembelih hewan, menangkap ikan, berburu, atau memperbudak suku lain yang kalah perang dengan suku anda.

Baca Juga:  Refleksi Hari Buruh: Kita Semua Buruh, Bosnya itu Allah Swt

Kalau anda berada dari kelas atas menengah, hanya perlu jaringan dan sedikit usaha anda akan mendapatkan semua hasil dari kemampuan paling hebat dari kepala suku manusia purba tanpa harus pintar memanah, berburu, menyembelih dan melakukan perbudakan dari hasil peperangan yang mempertaruhkan nyawa.

Akuilah, tiga bulan yang lalu kita hidup dengan standar dunia yang sangat keliru dimana orang yang bekerja keras tetap mendapatkan hasil yang sama dan anda yang selalu menyusun strategi modal selalu mendapatkan bonus.

Iqbal Masih, seorang buruh anak dari Pakistan dipaksa bekerja seumur hidupnya. Ia berhasil kabur dan berkampanye agar membebaskan anak lainnya dari sistem perbudakan tersebut. Tahun 1995 ia tewas ditembak oleh komplotan pengusaha ketika sedang bermain sepeda. Tidak jauh, tahun 1993, Marsinah buruh perempuan dari Sidoarjo dibunuh di tengah pematang sawah dengan kondisi alat kelamin rusak hanya karena memimpin demonstrasi menuntut kenaikan gaji sebesar 550 rupiah. Mungkin itu sudah lama, namun sampai tahun 2015 di Mexico 30% buruh perempuan tidak diberikan jam istirahat. Beberapa kasus mengompol ketika bekerja.

Mari renungkan bersama, apakah kita mengambil keuntungan dari hasil siksaan semacam itu?

Baru-baru ini kaum vegetarian menggemari cashew atau kacang mede. Di India industri kacang mede begitu pesat dengan menyerap 500.000 tenaga kerja buruh perempuan. Empat puluh persen pekerjanya mengalami cedera tangan karena kacang tersebut mengeluarkan getah yang bisa membuat tangan menghitam dan busuk. Sebuah ironi karena India memiliki tradisi menghiasi tangan saat seorang wanita akan menikah. Itulah kehidupan kita tiga bulan lalu ketika santai memakan kacang mede yang dilapisi coklat. Kenikmatannya melupakan darimana mereka berasal.

Selamat hari buruh. [HW]

Iman Zanatul Haeri
Guru Sejarah MA Al-Tsaqafah Said Aqil Siroj Foundation, Alumnus Universitas Negeri Jakarta.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini