Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (rida) lagi diridai. Maka, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” – (QS al-Fajr 89:27-30)

Manusia secara fitrah lahir, tumbuh dan berkembang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan fisiologis, id atau nafsu. Karena itu manusia membutuhkan makan, minum, dan seks. Kebutuhan-kebutuhan ini bisa positif, tapi bisa juga negatif. Tergantung konteksnya. Biasanya kita bisa mewujudkan keinginan nafsu itu di siang hari tidak ada masalah. Namun di bulan Ramadan kita tidak bisa wujudkan. Kita harus mengendalikan nafsu kita, karena tidak dibenarkan secara syar-‘iyah.

Nafsu kadang-kadang juga disebut hawa nafsu. Menurut Ibnu Qayyim (Said Abu Ukkasyah, 2015) bahwa “hawa nafsu adalah kecondongan jiwa kepada sesuatu yang selaras dengan keinginannya”. Bisa positif, bisa juga negatif. Hawa nafsu dinamakan al-hawa karena bisa menjerumuskan pemiliknya (ke dalam Neraka). Untuk bisa selamat, manusia harus bisa mengendalikan hawa nafsunya.

Jika seseorang tak berhasil mengendalikan hawa nafsunya, maka dia bisa merugikan orang lain, minimal dirinya sendiri. Secara garis besar, hawa nafsu perlu dikendalikan karena: Pertama, Keinginan dari nafsu (syahwat) hanyalah hal-hal yang bersifat kelezatan duniawi, menyenangkan bagi jasad dan bersifat fisik material, sebagaimana firman Allah swt, “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak berupa emas, perak, kuda-kuda yang tampan, dan binatang ternak dan sawah ladang atau tanam-tanaman. Demikian itu merupakan kesenangan hidup dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (QS al-Imran:14).

Kedua, Hawa nafsu cenderung membawa manusia kepada kejahatan sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Yusuf AS, “Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan-kesalahan), karena sesungguhnya nafsu (hawa nafsu) selalu menyuruh kepada kejahatan kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS Yusuf:53).

Baca Juga:  Keluarga Allah di Dunia

Ketiga, Hawa nafsu cenderung membawa manusia kepada kesesatan, sebagaimana firman Allah SWT,“Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, maka ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS Ash Shod : 26). Karena emosi tidak terkontrol sehingga bisa terjadi melakukan berbagai pelanggaran moral.

Keempat, Orang yang dikalahkan oleh hawa nafsu disifatkan Allah sebagai telah menjadi hamba bagi nafsunya (menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan) karena ia menaati nafsunya dan mendurhakai Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT,”Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka, apakah kamu dapat menjadi pemeliharanya?” (QS, al-Furqan : 43).

Orang yang dikendalikan hawa nafsu akan cenderung derajatnya turun serendah-rendahnya. Bahkan boleh jadi untuk hal-hal tertentu lebih rendah daripada binatang. Akibatnya tidak bisa dihindari pada akhirnya akan memperoleh murka dari Allah swt. Karena hidupnya lebih berlindung kepada makhluk lain.

Memperhatikan manusia yang terus diincar oleh syaitan, sehingga tidak sedikit yang dirusak oleh hawa nafsu yang menghacurkan, maka Allah swt memberikan jalan keluar yang baik yaitu dengan puasa. Nabi saw, bersabda “Ash shiyaamu junnatun”, yang artinya : “Puasa adalah perisai” (H.R. Bukhari dan Muslim). Di samping itu Nabi saw juga bersabda : “Puasa adalah perisai yang dapat melindungi seorang hamba dari siksa neraka” (H.R. Ahmad).

Lebih detail lagi tentang manfaat puasa, Rasulullah saw bersabda “Puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, ‘Aku sedang berpuasa” (H.R. Bukhari dan Muslim). Di sini orang berpuasa harus kuat, tidak boleh mudah terprovokasi untuk terlibat konflik, mulai perkataan sampai tindakan. Puasa yang benar mampu meredam gejolak emosi seberat apapun.

Baca Juga:  RMI NU Jateng Persiapan Ramadan 2020

Dalam kaitannya dengan nafsu hubungan lain jenis (seks), bahwa peran puasa juga sangat penting dan efektif untuk mengendalikannya. Mari kita cermati hadits Rasulullah saw, yang artinya: “Wahai para pemuda, siapa yang sudah mampu menafkahi biaya rumah tangga, hendaknya dia menikah. Karena hal itu mampu menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Siapa yang tidak mampu (memberikan nafkah), hendaknya dia berpuasa, karena puasa dapat meringankan atau mengendalikan syahwatnya.”(HR Bukhari dan Muslim). Di sini puasa diharapkan memiliki fungsi pengendali, sehingga mampu menahan diri.

Akhirnya kita sangat berharap dengan berpuasa Ramadan secara sungguh-sungguh, kita dapat mengendalikan diri. Dorongan hawa nafsu yang bergelora bisa diredam. Nafsu mengejar kehidupan dunia yang berlebihan bisa diredam. Kebiasaan agresivitas bisa diperlemah, hati yang membeku mudah marah bisa dicairkan, sehingga toleran dan peduli terhadap sesama. Menjadikan jiwa tenang jauh dari angkara murka dan kemarahan. “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (rida) lagi diridai. Maka, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS al-Fajr :27-30). [HW]

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah