Metode Ibnu Rusyd Dalam Mencari Kebenaran

Ibnu Rusyd adalah satu-satunya Filosof Muslim yang paling besar pengaruhmya ke Barat. Pokok pikiran Ibnu Rusyd yang paling istimewa ialah merekonsiliasikan antara agama (wahyu) dan filsafat (akal). Menurut Ibnu Rusyd, antara agama dan filsafat sama sekali tidak bertentangan. Dengan kata lain filsafat adalah saudara kembar dari agama (antara keduanya bagaikan sahabat yang pada hakikatnya saling mencintai).

Usaha Rekonsiliasi ini di pandang sebagai ciri terpenting dalam filsafat islam. Pemikiran Ibn Rusyd sebenarnya sangat menarik untuk dianalisis. Bagaimana tidak, karya-karyanya yang begitu beragam dan dibentuk dengan tulisan-tulisan bercorak puisi, kritikan, terutama dalam menerjemahkan karya-karya filosof terdahulu seperti Aristoteles, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Bajjah, dan lain sebagainya.

Faktanya, banyak aliran-aliran agama, terutama dalam  islam yang lebih condong terhadap agama saja dan mengabaikan kebenaran filsafat. Padahal kalau kita memahami apa yang di katakan Ibn Rusyd tentang agama dan filsafat, kita tidak akan gampang terjerumus apalagi percaya kepada pemikiran-pemikiran yang radikal. Ibn Rusyd mengatakan bahwa kebenaran itu bukan hanya berasal dari agama saja, tetapi juga berasal dari jalan filsafat. Menurutnya, filsafat pada hakikatnya berfikir tentang segala hal untuk mencari dan mengetahui akan suatu kebenaran.

Sketsa profil Ibnu Rusyd

Nama Ibnu Rusyd geger kepublik ketika menjawab kritik alghazali. Siapa yang tidak mengenalnya. Abu Al-walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd nama lengkapnya. Lahir di Cordova Andalusia Sekitar pada tahun 510H/1126 M, Ia lebih populer disebut dengan Ibnu Rusyd (dibarat dikenal dengan nama averroes), Ia termasuk dari keluarga yang terkenal alim. Ayah dan kakeknya pernah  menjadi ketua Pengadilan di Andalusia, Hingga pada tahun 565 H/1169 M, ia diangkat menjadi hakim di Seville dan Cordova karna prestasinya yang luar biasa dalam bidang hukum.

Tak hanya itu, Ibnu Rusyd  tumbuh dalam keluarga yang besar sekali ghirahnya pada ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang ikut melesitkan jalan baginya menjadi seorang ilmuan. Lebih dari itu, Ibnu Rusyd adalah orang yang jenius. Terbuki ia tercatat sebagai komentator dari buku-buku Aristoteles. Ibnu Rusyd telah menulis tiga buah tentang ulasan buku-buku Aristoteles. Pertama berupa ringkasan-ringkasan, kedua dan yang ketiga merupakan komentar-komentar terhadap buku-buku tersebut. Pandangan-pandangan filsafatnya yang lain itu tertuang dalam bukunya, salah satuhnya adalah tahfut at-tahafut.

Salah satu buku Ibnu Rusyd yang melegenda dipesantren-pesantren adalah: Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Mugtasid (mengupas tuntas argumentasi dan pandangan aliran-aliran fiqh). Kitab ini menjadi yang paling terkenal jika dibandingkan dengan karya-karyanya dibidang fiqh. Beberapa riwayat mengatakan, bahwa kitab ini selesai ditulis pada usia 62 tahun, tepatnya saat ia menjabat sebgai Hakim Agung di Cordoba.

Metode Ibnu Rusyd

Menurut  Alwi Shibab, ada dua bentuk pendekatan yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd dalam mencapai suatu kebenaran. Pendekatan pertama tentu ia mulai dengan hasil penelitian filsafat , kemudian berakhir dengan mengeruaikan apa yang dijelaskan oleh agama. Cara seperti ini kita jumpai dalam bukunya yaitu fashl al-maqal. Dalam membuka pembahasan  fash al maqal ,Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan tentang hukum mempelajari filsafat menurut agama. Apakah di bolehkan, atau dilarang, atau bahkan dipertintahkan; perintah wajib, ataupun sebagai perintah anjuran.

Pendekatan kedua, ia memulai kajianya dengan menjabarkan ajaran agama, kemudian beranjak dengan rekonsiliasi dari hasil penelitian filsafat terhadap alam raya. Cara-cara ini biasanya sering ditemukan dalam bukunya al-kasyf’an manahij al-adillat Fi aqaid al-millat. Kendatipun bentuk kedua pendekatan itu berbeda, namun pada dasarnya sama, yaitu pembuktian terhadap paralelisme antara kebenaran filsafat dan kebenaran agama.

Dalam menyelesaikan pertanyaan, ada dua sudut pendekatan yang dilakukan Ibnu Rusyd. pendekatan pertama dari sudut penelitian akal, sedangkan pendekatan yang kedua dari sudut nash agama.  Untuk pendekatan yang pertama ia mulai dengan menjelaskan pengertian filsafat. Menurut Ibnu Rusyd, filsafat adalah mempelajari segala yang wujud dan merenungkan bukti tentang adanya pencipta. Menurutnya, semakin sempurna pengetahuan terhadap ciptaannya, niscaya semakin sempurna pula pengetahuan tentang pencipta.

Sementara, untuk pendekatan yang kedua Ibnu Rusyd mengemukakan ayat ayat Al-Qur’an yang dinilainya selaras dengan tujuan penelitian akal, diantaranya ayat :QS Al-Hasyr [59] : 21 dan Al-A’raf [7] :185. Aya yang pertama,menurut Ibnu Rusyd secara ekplisit menunjukkan wajib menggunakan pemikiran rasional atau rasional dan agama sekaligus sedangkan ayat yang kedua mendorong pemeluknya untuk meneliti seluruh yang ada. Disamping itu ia juga mengingatkan tentang kisah Nabi Ibrahim mencari Allah melalui penelitian akal, sebagaimana di firmankan Allah dalam QS An-An’am [6] : 75.

Karna itu, tak heran lagi jika Ibnu Rusyd menggunakan metode kias (sillogisme) Aristoteles. Premis-premis yang digunakan oleh Ibnu Rusyd adalah sebagai berikut:

  1. Premis sughroh:tujuan penelitian filsafat terhadap alam adalah untuk sampai kepada pencipta (Allah)
  2. Premis kubro:agama memerintahkan manusia mengenal Allah dengan meneliti alam dan merenungkannya.
  3. Kesimpulan mempelajari filsafat wajib menurut filsafat agama

Kata al-I’tibar dalam ungkpan Al-Qur’an Al-Hasyr [59] : 2 menurut Ibnu Rusyd, kata ini tidak lebih dari pada sekedar menyimpulkan suatu pengertian yang tidak diketahui (majhul) dari yang di ketahui (ma’lum). Metode penalaran seperti ini disebut dengan qiyas aqli. Metode berfikir  seperti ini dilakukan oleh agama. Bahkan, bentuk pemikiran seperti inilah yang paling sempurna, karena menggunakan analogi yang paling sempurna pula yang di sebut dengan Burhan argumentasi.

Lebih jauh, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa kalau ahli fiqih dibenarkan melakukan qiyas fiqih atas dasar firman Allah, QS Al-Hasyr [59] : 2, maka filosof lebih berharap melakukan qiyas aqli. Namun, menurut Ibnu Rusyd, tidak semua orang dapat melakukan metode ini;  orang orang tertentu saja, dimana jumlah mereka sedikit sekali yang di sebut ahl al-burhan (filosof). Menurut Ibnu Rusyd, kalau ahli fiqih banyak melakuan hal ini dalam berbagai hukum agama, semestinya filosof lebih berhak melakukan hal yang serupa. Padahal ahli fiqih hanya melakukan qiyas Dzanni semata, sedangkan filosof muslim melakukan qiyas yaqini, yang lebih utama dari qiyas  Dzanni.

Dari sini, tidak ada suatu larangan melakukan takwil yang sesuai dengan ketentuan Bahasa Arab terhadap nash yang hanya berbeda lahiriahnya dengan hasil penelitian akal. Hal ini kata Ibnu Rusyd, sudah menjadi konsensus umat islam tentang tidak mestinya semua teks wahyu di artikan secara lafdzi, bahkan secara metaforik. Pebedaan pendapat hanya terletak pada mana yang boleh di takwilkan dan mana yang tidak boleh di takwilkan. []

01240
Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama