Memahami Esensi Hijrah Review Buku : Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar!

Hijrah jangan jauh-jauh nanti nyasar adalah sebuah buku non fiksi yang ditulis oleh Kalis Mardiasih berisi pengalaman pribadi dan orang-orang disekitar penulis tentang beragama islam.

Kalis mardiasih merisaukan fenomena beragama yang di tangan sebagian kalangan begitu eksklusif dan menyeramkan. Baginya, beragama seharusnya menyenangkan, dipenuhi kebaikan. Tidak sesak oleh amarah atau hasrat penaklukan.

Kebaikan-kebaikan itu ia temukan dalam praktik keberagaman yang sederhana. Ia berbicara dengan orang-orang bersahaja, menyaksikan cara mereka mengamalkan kesalehan, dan menemukan islam yang teduh disana. Dalam dirinya, islam tumbuh bersama dengan kegembiraan.

Orang-orang menjadi lebih percaya diri dan berani berbicara di media sosial adalah kabar yang cukup menggembirakan untuk demokrasi.

Namun, bagaimana proses orang-orang tersebut menerima pengetahuan yang kemudian ia bicarakan, ia bagi, sekaligus menjadi alat untuk menjustifikasi situasi dan pendapat lain, sangat penting untuk ditinjau ulang. Apalagi kita yang terlahir pada era generasi z yang secara tanpa kita sadar sedang menciptakan sebuah skema yang mengerikan.

Aktivitas screenshot yang memudahkan persebaran informasi pribadi, budaya meme yang bebas memparodikan apa saja, hingga budaya seleb media sosial yang belakangan ini rentan menimbulkan cyberbullying  hingga berujung pada tindakan bunuh diri. Saya bukan ahli agama.

Namun, saya meyakini bahwa setiap pemeluk agama memiliki hak untuk menceritakan realitas yang ia alami sebagai manusia dewasa yang sedang menempuh perjalanan dari ketiadaan  menuju ketiadaan.

Setiap kali mendengar suara adzan yang dilantunkan oleh suara sepuh terbata-bata, melihat bangunan madrasah Islam tradisional dengan keriaan anak-anak, atau sesederhana melihat nama papan masjid di perkampungan, saya sering merasa bahwa Islam telah cukup.

Islam khir-akhir ini yang dibenak banyak pikiran orang harus berupa imperium, harus berupaya menaklukkan orang lain melalui proses-proses indoktrinasi bahkan pemaksaan, harus dekat dengan kata “kemenangan Islam” atau “kejayaan Islam”bahkan sebagian orang Islam harus berupa peperangan kabilah-kabilah seperti masa pra-kenabian.

Islam seperti itu bukan Islam yang ada dalam imajinasi saya. Saya membayangkan islam sebagai sesuatu yang sederhana. Sesederhana papan nama masjid di perkampungan.

Namun, kesederhanaan itu tentu saja tidak biasa. Ia menyimpan semua nilai yang ajaib, ia menjadi tempat pulang bagi petani yang lelah setelah meladang atau pedagang kecil yang baru saja menutup tokonya.

Mereka datang, bersimpuh, memanjatkan doa terbaik buat ibu bumi dan keturunan mereka, lalu bersalam-salaman. Salat mengajarkan manusia untuk merasa kecil dihadapan Sang Mahasegalanya.

Jamaah mengajarkan kita untuk saling peduli, zakat mengajarkan kita untuk mengingatkan bahwa ada hak orang lain dalam rezeki-rezeki yang kita dapatkan.

Puasa mengajarkan kita untuk mengendalikan diri, haji mengajarkan kita untuk hidup berdampingan dengan manusia lain serta perjalanan menuju hari akhir, dan seluruh nilai lain Islam yang tenang dan tidak berisik.

Seperti papan nama masjid perkampungan yang bisu tapi menjadi muara semua rasa kangen. Kangen itu asalnya dari cinta. Cinta itu asalnya dari perasaan ingin melestarikan kemanusiaan dan kehidupan.

Menurut saya buku ini sangat rekomendasi sekali  untuk dibaca karena kita sebagai muslim/ah jangan sampai melabeli diri sendiri yang paling baik, paling taat dan paling soleh dalam beragama, padahal beragama bukan hanya sebatas menjalankan segala syariat-syariat yang ada tetapi beragama dengan kebaikan-kebaikan yang mengembirakan.

Akhir-akhir ini kita banyak sekali melihat fenomena hijrah, Alhamdulillah turut senang dan bangga tentunya. Namun,  yang menjadi kesedihan tatkala tahu dengan beberapa orang yang katanya hijrah justru malah salah jalan. Mengapa demikian? Sebenarnya tidak ada yang masalah dengan gerakan hijrahnya, yang salah adalah sikap mereka yang paling benar dan paling suci.

Dan yang paling parahnya lagi adalah sampai mengkafir-kafirkan orang yang belum hijrah. Mereka merasa paling wah, paling oke, paling cinta sama allah, islam, nabi dan rasul. Dikit-dikit ngomongnya agama, dikit-dikit mintanya dalil. Sampai mereka lupa, esensi hijrah itu apa! Ingat, hijrah itu menjadikan diri untuk terus berusaha menjadi baik dihadapan allah dan mendekatkan diri pada-Nya.

Bukan merasa paling baik, paling suci, paling benar dan gila pujian. Naudzubillah, semoga kita dijauhkan dari hal-hal tersebut.

Ai Umir Fadhilah
Mahasiswi sekaligus Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan Lampung

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini