Akhir-akhir ini marak terjadi kasus pelecehan seksual di pondok pesantren. Tidak tanggung-tanggung, mulai dari desember tahun kemarin, 2021, hingga saat ini, korbannya telah mencapai puluhan orang. Bahkan dari data yang diungkap Siti Aminah Tardi, Komnas Perempuan, pada tahun 2021 angka pelecehan seksual di pesantren menempati posisi terbanyak kedua pasca Universitas. Data yang dikemukakan, tentu mencoreng pesantren yang dianggap sebagai lembaga pendidikan dengan orientasi pembentukan moral terbaik.
“Penjara suci”, begitulah pesantren akrab dijuluki. Julukan ini sebenarnya disematkan karena pesantren dianggap lembaga pendidikan yang bukan hanya bertujuan meningkatkan pengetahuan peserta didiknya, namun juga berusaha menyucikan rohani atau jiwanya. Sebutan mulia demikian yang akhir-akhir ini terancam. Beberapa kabar buruk mencemarkan kesuciannya. Sejumlah pengajar, hingga pengasuh pesantren melakukan pelecehan seksual pada santri-santrinya. Mulai dari pemberitaan Herry Wirawan, sang pemerkosa belasan santri, kasus Gus Bechi, dan sang predator eks politisi sekaligus pengasuh pesantren di Banyuwangi, sangat meresahkan bagi pencinta budaya pesantren.
Seluruh orang yang pernah nyantri, apalagi menjadi pengelola pesantren, sangat terganggu pada pemberitaan ini. Bagaimana tidak, pesantren dari sejak kolonial hingga pasca reformasi, diyakini sebagai tempat orang-orang hebat. Soekarno, Gus Dur, hingga KH. Ma’ruf Amin dan sejumlah menteri pada setiap rezim selalu ada yang berasal dari lulusan pendidikan pesantren. Historis prestasi ini, seolah tak akan berarti apa-apa, diterjang oleh fakta-fakta fenomena diskriminatif yang terjadi. “Penjara suci” nampak telah tidak selayaknya disematkan. Kabar yang beredar menciptakan asumsi pesantren tak lagi suci, namun telah menjadi ruang belajar yang dinajisi pelaku-pelaku diskriminasi. Pesantren berganti menjadi penjara paling rawan dan menyeramkan bagi perempuan dan anak. Persis sebagaimana peribahasa yang menyebutkan, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”.
Nampaknya tidak objektif, jika sedikit fenomena diskriminasi seksual perempuan yang terjadi, dijadikan dasar menyebut pesantren secara keseluruhan, rawan diskriminasi. Tentu, sebaiknya secara cermat lebih dahulu memahami faktor-faktor umum yang dapat melahirkan diskriminasi terjadi. Hal yang banyak mempengaruhi adalah tingkat kesadaran luhur dan semangat pemenuhan kebutuhan naluriah manusia. Kesadaran nilai tentu banyak sumbernya, ada yang menganggap bersumber dari ajaran atau nilai luhur (seperti ajaran agama) dan ada yang menyebutnya berdasar konsensus terbaik interaksi sosial masyarakat. Sedangkan sebaliknya, semangat pemenuhan kebutuhan lahiriah manusia adalah hasrat yang jika tidak dibatasi melahirkan tindakan layaknya hewan. Pambatas yang dimaksud, tentu adalah ajaran agama yang dapat membedakan manusia dari binatang. Jadi kesadaran luhur akan beroposisi dengan kebebasan pemenuhan kebutuhan manusia.
Jika ditelisik dari kacamata strukturasi budaya, potensi diskriminasi akan selalu berlawanan tingkat dengan kuatnya kesadaran nilai. Sisi ini yang berhubungan dengan arus globalisasi. Arus globalisasi yang semakin lama semakin kuat–diakui atau pun tidak–telah mempengaruhi pola kehidupan masyarakat secara umum. Sendi-sendi kehidupan masyarakat mengalami tekanan. Era yang menurut Friedman telah menggantikan era perang dingin (cold war) ini, menimbulkan penetrasi paling kuat pada aspek nilai-nilai sosial masyarakat.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang bertujuan menguatkan nilai, sebenarnya merupakan agen perlawanan pada dampak negatif yang disebabkan oleh arus globalisasi. Sedangkan globalisasi, tidak hanya menghilangkan sekat geografis, namun juga menghilangkan sekat komunal sosial budaya. Komunal budaya pesantren pun terancam arus ini. Nilai-nilai budaya luhur agamanya mulai mengalami kerapuhan. Pengasuh, pengelola dan para ustadz-ustadz mengalami kegamangan kesadaran nilai luhur. Ajaran agama yang dipahami melemah. Media sosial dan rusaknya simbolisasi identitas agama paling banyak mempengaruhi. Sebagaimana dipahami beberapa tahun terakhir ini, agama dan ajarannya hadir ke publik hanya sebagai instrumen konflik sosial. Peran ajarannya mengalami transformasi yang besar. Dari yang semestinya dipakai sebagai penyucian jiwa berubah menjadi aset dagangan dan dagelan saling berdrama untuk merebut simpatik masa.
Pada era kontetasi politik identitas agama, tentu tidak sama dengan fenomena yang diamati oleh Marx. Strata sosial tidak lagi dipengaruhi oleh banyak modal yang dimiliki. Namun banyak dipengaruhi oleh dominasi atau hegemoni paham agama. Dengan kata lain, stratifikasi borjuis-proletar bukan lagi didasarkan modal, namun lebih tergantung pada arus hegemoni agamanya. Sisi ini, senada dengan apa yang dijelaskan oleh Gramscy bahwa klaim kebenaran dan moral menjadi hal paling kuat dalam melahirkan kuasa sosial. Jadi, jika dikatakan bahwa diskriminasi berhubungan dengan kuasa sosial, maka dapat dikatakan bahwa pemilik hegemoni moral dan kebenaran paling berkesempatan melakukannya. Dengan demikian, dalam kontestasi politik agama, tokoh agama dapat dikatakan paling rawan melakukan diskriminasi.
Fenomena diskriminasi seksual yang terjadi di pesantren akhir-akhir, bukan hanya catatan hitam yang mengganggu kesucian marwah pesantren secara kelembagaan. Akarnya masalahnya adalah politik identitas agama. Ajarannya tidak lagi ada dalam ruang-ruang refleksi jiwa manusia, namun hanya hadir sebagai image yang dipertaruhkan untuk mengais pemenuhan hasrat hewani. Sakralitas nilai yang harusnya membatasi tindakan buruk, malah dijadikan jembatan melakukan tindakan bejat. Salah satu cara menanggulangi masalah ini, tentu adalah dengan memposisikan kembali ajaran agama di ruang yang semestinya.
Para kiai pesantren perlu melawan arus dampak negatif politik identitas agama. Sebagaimana para pendahulunya, sudah saatnya kiai-kiai mempertimbangkan kembali wacana agama sebagai identitas kekuasaan sosial. Pemahaman agama yang diberikan diolah kembali agar tidak hanya menjadi kognisi untuk sukses menguasai publik atau hanya sebagai alat debat identitas komunal politik. Semestinya, lebih diarahkan untuk menjadi nilai-nilai budaya yang mampu menkerangkeng tindakan bejat masyarakat, khususnya masyarakat pesantren sendiri.
Bagi pemerintah pun demikian, harus juga ikut serta dalam menjaga nilai-nilai budaya pesantren. Diakui ataupun tidak, meningkatkan peran pesantren dalam kebijakan politik juga banyak mempengaruhi gerak perubahan nilai budaya pesantren. Banyaknya anggaran yang digelontorkan dan pengarusutamaan pesantren dalam kontestasi politik, telah banyak mengubah tradisionalitas luhur pesantren. Para pengelola pesantren banyak yang tergiur bantuan pemerintah. Wacana pembiayaan yang besar mendorong munculnya sikap pragmatis masyarakat pesantren. Bahkan banyak pesantren baru berdiri tanpa gen budaya luhur yang jelas, hanya karena ingin mendapatkan jatah bantuan pembiayaan. Sikap pragmatis demikian, tentu melemahkan nilai luhur yang selama ini kuat. []