KH. Mahsun Masyhudi: Kebijaksanaan dan Jalan Hidupnya [1]

Saya sowan pertama dan terakhir kepada KH. Mahsun Masyhudi, pada 13 September 2013 silam. Waktu itu, atas permintaan Gus Atho’, putranya, saya diminta mengisi semacam ospek bagi santri baru. Saya sowan didampingi Mas Abdullah Muhdie, sahabat saya, yang merupakan alumni PP. Mamba’ul Ihsan, Banyuurip, Ujungpangkah, Gresik, pesantren yang diasuh beliau.

Kurang lebih 2 jam saya sowan beliau. Obrolan yang asyik dan berbobot. Jika diteruskan bisa berjam-jam. Namun karena Kiai Mahsun bergegas berangkat mengajar ngaji Hikam di salah satu rumah warga, maka pisowanan saya berakhir. Tapi, meski hanya sejenak, ada banyak mutiara kebijaksanaan beliau yang saya catat. Dan, sungguh, beliau adalah air terjun yang menggelontorkan ribuan liter air, sedangkan saya hanya cangkir yang pontang panting menahan diri agar tidak retak digerojok curahan airnya. Di antara mutiara kearifa yang saya pungut dalam pisowanan tersebut adalah sebagai berikut:

“Kalau curhat langsung saja kepada Gusti Allah, bangun malam, munajat, pasti ada jawaban dari-Nya. Dialah yang menggerakkan hati.”

“Keikhlasan itu menembus ruang dan waktu. Sirr-nya orang ikhlas itu dikerumuni dan dicintai banyak orang dalam dimensi ruang waktu yang berbeda.”

Ad-dien itu sebagai nilai, esensi. Ad-dunya itu materi. Kita ruku’-sujud yang kita raih adalah substansi. Begitu pula setiap melakoni pekerjaan, niatkan sebagai ibadah. Selanjutnya jangan meremehkan profesi seseorang, sebab kita tidak tahu, jangan-jangan yang kita rendahkan itu waliyullah. Husnudzdzon.”

“NU ibarat pohon. Ulama adalah akarnya. Birokrat, teknisi, umara’ adalah batang pohonnya. Umat adalah dahan dan ranting. Akar harus menghujam bumi. Jika akar terlampau rapuh dan malah mencuat ke atas, ambruklah pohon itu.”

“Seandainya pesantren ini bubar sepeninggal saya, saya tak kecewa, karena saya telah berusaha mengukir sejarah saya sendiri. Giliran panjenengan yang muda-muda yang harus menorehkan sejarah panjenengan sendiri.”

“Ya nggak usah membenci orang yang membenci diri kita maupun membenci lembaga pendidikan kita. Mungkin mereka belum paham dengan konsep kita. Terus saja melakukan perjuangan. Ini ujian. Jika bisa melewati ujian ini, sudahlah, Allah bakal mengirim santri dari daerah lain.”

“Hidup itu kan untuk terus berproses meningkatkan kualitas pribadi kita. Terus berproses menjadi lebih baik. Jangan sampai menganggap diri kita ini SUDAH BAIK, apalagi menganggap diri LEBIH BAIK DARIPADA ORANG LAIN. Bahaya.”

“Tempat Wudlu untuk sesucen itu biasanya dekat dengan peceren (selokan). Maksudnya apa? Jadi, di sekitar pondok, yang nggak suka sama pondok biasanya juga orang-orang di sekitarnya. Itupun hanya segelintir saja. Ya begitulah hidup. Leres mboten?”

“Menelusuri Jalan Khidmah Kiai Mahsun”

Saat muda, beliau tiga tahun nderek sebagai abdi ndalem KH. A. Juwaini Nuh, Tertek Pare Kediri. Kemudian di ndalem Mbah Ma’shum Lasem selama tiga tahun pula. “Saya tidak bisa ngaji kitab saat itu. Hanya nderek yai,” tutur beliau.

Baca Juga:  Kitab “Badzl al-Nashîhah” dan Cerita Pertaubatan Tujuh Orang Wahabi Minangkabau

Hingga pada saat memijat kaki Mbah Ma’shum, Kiai Mahsun muda diminta pulang.

“Sudah cukup kamu di sini. Sudah saatnya kamu pulang.” dhawuh Mbah Ma’shum.

Kiai Mahsun hanya diam, bingung karena sejujurnya ia masih ingin mengabdi di ndalem Mbah Ma’shum.

“Sekarang, kamu sudah kuizinkan mengajar kitab. Apapun fan -nya.” lanjut Mbah Ma’shum.
Kiai Mahsun tambah bingung. Hanya saja ia melaksanakan titah gurunya.

Lha, ndilalah, biidznillah dan dengan barokah doa Mbah Ma’shum, saya yang awalnya sulit baca kitab kok mulai lancar dan mudah memahami apa yang saya baca dan yang akan saya sampaikan ya. Percaya atau tidak demikian adanya. Logika anak-anak muda sekarang mungkin sulit memahami proses ini, tapi ini yang saya rasakan,” kata beliau sambil terkekeh ringan.

Dalam banyak kisah tutur di pesantren, beberapa ulama menjadikan “khidmah” alias pengabdian sebagai salah satu pondasi pendidikan karakter.

Para kiai biasanya mempersiapkan para santri yang memiliki potensi sebagai khadimul ummah sebagai abdi ndalem yang membantu gurunya memenuhi kebutuhan sehari-hari, maupun dijadikan pengurus pondok yang membantu mendidik santri. Pendidikan semacam ini akan menempa mereka menjadi sosok yang sabar, telaten, dan memahami psikologi santri. Jangan heran jika pada khadim kiai ini di kemudian hari menjadi kiai yang bisa mengemong masyarakat.

Dalam Iqadzul Himam, Syarh Hikam, terdapat ungkapan menarik:

خِدْمَةُ الشُّيُوْخِ قُرْبَةٌ عَظِيْمَةٌ وَ مَنْقَبَةٌ جَسِيْمَةٌ

Mengabdi kepada para guru adalah sebuah ibadah yang agung dan derajat yang luhur pula.

Pilihan berkhidmah kepada guru ini mengingatkan kita pada jalan yang ditempuh para sahabat nabi. Ada Sayyidina Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu, yang menjadi abdi ndalem-nya Kanjeng Nabi dengan tugas membawa sandal beliau. [3]

Sedangkan Sayyidina Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu yang menyertai kemanapun Rasulullah melangkah dan membantu kebutuhan beliau. Sedangkan keponakan beliau, Sayyidina Abdullah bin Abbas, yang menjadi juru laden Rasulullah, didoakan oleh Rasulullah dengan kalimat agung, Allahumma Faqqihhu fiddin, ya Allah pandaikanlah dia (Ibnu Abbas) dalam urusan agama.

Sedangkan abdi ndalem lain, Sayyidina Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu, bertugas mengurusi kebutuhan rumahtangga beliau shallalahu ‘alaihi wasallam. Beliau-beliau juga menjadi perawi hadits dengan jumlah banyak, dan terpercik keberkahan Khidmah kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Sayyidina Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu memiliki usia panjang, harta melimpah yang berbarakah, serta keturunan yang banyak, sebagaimana beliau pernah didoakan Rasulullah.

Jalan Khidmah kepada guru yang telah ditempuh oleh Kiai Mahsun semasa muda, telah mengantarkannya pada jalan yang sama dengan obyek yang berbeda, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Melalui pesantren, sebagai khadimul ilmi, pelayan ilmu, dengan merawat dan mendidik santri; juga sebagai khadimul ummah, pelayan masyarakat, dengan mendampingi dan mendidik mereka dengan keilmuan agama.

Baca Juga:  Habib Luthfi

Dalam hal pengabdian ini, penulis teringat apa yang pernah disampaikan oleh KH. Anwar Manshur, Pengasuh PP. Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo dalam salah satu pengajian, yaitu pada dasarnya mengabdi di pesantren itu sama halnya dengan mengabdikan diri untuk masyarakat. Khidmatul Ma’had, Khidmatul Mujtama’. Karena itu, biasanya mereka yang telaten mengabdikan diri di pondok—baik sebagai pengurus, maupun sebagai pengajar—akan bisa merawat keanekaragaman masyarakat.

Senada dengan KH. Anwar Manshur, adik beliau, yaitu KH. Abdul Aziz Manshur (Pengasuh PP. Tarbiyatun Nasyi’in, Paculgowang, Diwek, Jombang, dan salah satu masyayikh PP. Hidayatul Mubtadiin Lirboyo Kediri), menjelaskan apabila “Santri kalau sudah pulang dari pondok harus bisa menjadi paku. Maksudnya, pertama, memperkuat dan menghubungkan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Merukunkan. Jangan sampai malah memecah masyarakat.

Kedua, juga siap tidak disebut dan tidak dianggap, karena seperti paku, ada tapi tidak kelihatan. Ketiga, paku juga harus tahan dipukul agar sesuai dengan fungsinya. Artinya siap menghadapi apapun. Jangan ngalem dan jangan minder. Harus kuat.” Demikianlah jalan hidup yang telah ditempuh oleh Kiai Mahsun dan para ulama lain.

Selain mengajar al-Hikam karya Ibn Athaillah As-Sakandari, Kiai Mahsun juga mengajar Ihya’ Ulumiddin dan mengaji Kutubus Sittah secara kontinyu. Setiap hari, beliau keliling desa. Selain memberi pengajian kepada masyarakat, Kiai Mahsun juga mendorong agar di setiap desa didirikan sebuah pesantren, minimal MTs atau Madrasah Diniyah. Bukan hanya memberi dukungan saja, melainkan secara rutin beliau mendampingi proses pembangunannya dan memberikan pengarahan.

Di antara keistimewaan Kiai Mahsun, sebagaimana saya dengar dari beberapa santrinya, adalah ketajaman mata batinnya. Seringkali beliau dimintai petunjuk lahan mana yang cocok untuk pondok dan lembaga pendidikan, mana yang pas untuk bisnis. Biasanya santri sowan dengan membawa segenggam tanah, lantas oleh beliau ditirakati, apakah tanah dari lahan tersebut cocok untuk pondok atau justru lebih pas untuk dibangun toko di atasnya. Ilmu ini sudah langka dan jarang yang menguasainya, dan Kiai Mahsun adalah salah satu pemilik kemampuan langka ini.

Para leluhur kita memang tidak sembarangan apabila mau mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Bukan hanya tinjauan strategis-geografis yang menjadi pertimbangan utama, melainkan pada aspek keberkahan maupun “x factor”. Ada tanah yang strategis jika ditinjau dari aspek geografis-politis, namun ternyata dianggap tidak membawa keberkahan apabila di atasnya didirikan lembaga pendidikan. Mereka yang memiliki ketajaman mata batin biasanya yang bisa melihat di manakah tanah yang memiliki keberkahan untuk didirikan sebuah lembaga pendidikan.

Baca Juga:  Wasiat dan Doa-Doa KH. Zubair Dahlan Sarang

Dalam istilah yang khas, disebut sebagai tanah yang “hangat dan wangi”. Sebab, hal ini bakal mempengaruhi tingkat kebetahan para santri yang tinggal di dalamnya, keamanan, keayeman masyarakat di sekelilingnya, dan hawa nyaman yang meliputinya.

Karena itu, tidak heran jika ada alumni yang sowan, beliau mendorong agar santrinya ikut merintis dan mendirikan lembaga pendidikan, baik dalam bentuk TPQ, MI, maupun pondok. “Pondok, MTs, atau Madrasah Diniyah itu BENTENG. Setiap desa idealnya punya benteng. Kalau tidak ada, berarti tak ada pertahanan. Bisa jebol dengan gampang. Kasihan masyarakat.” kata beliau suatu ketika, sebagaimana disampaikan oleh Gus Atho’, putra Kiai Mahsun, kepada saya saat bertemu dalam acara di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jakarta, 20 Februari 2019.

“Ini strategi. Ya mirip strategi pasar. Semakin banyak penjual atau toko, semakin banyak pula calon pembeli yang tertarik datang. Demikian pula dengan adanya pesantren di setiap desa. Makin banyak pula orangtua yang tertarik memondokkan anaknya, karena banyak pilihan pesantren.”

Uniknya, saat mengajar dan mendapati santrinya tertidur, Kiai Mahsun hanya melirik sekilas, tersenyum, lalu melanjutkan pengajiannya kembali.

Gus Atho’ protes, “Pripun to, bah, kok lare-lare mboten ditegur? [Bagaimana to, ayah, kok anak-anak itu tidak ditegur?]

“Lha wong aku ini ngaji untuk BELAJAR, juga untuk mengamalkan ilmu. Lha arek-arek santri itu kan yang MEMBANTU saya mengaji. Ya, aku ini yang harus berterimakasih kepada mereka.” jawab kiai yang pernah menjabat sebagai Wakil Rais Syuriah PCNU Gresik ini, enteng.

KH. Mahsun Masyhudi, guru kita, ulama bijak ini, wafat menjelang shalat tahajjud, Sabtu dinihari, 27 Ramadan 1437 H/ 3 Juli 2016. Lahul Fatihah…

Catatan Kaki:

[1] Makalah ini dipresentasikan dalam “Bedah Pemikiran dan Perjuangan Kiai NU Gresik: KH. Mahsun Masyhudi (Sesi I)”, hari Sabtu, 5 September 2020, yang diselenggarakan oleh PC Lakpesdam NU Gresik, di PP. Mambaul Ihsan Banyuurip Ujungpangkah Gresik.

[2] Bahkan, almaghfurlah KH. Asrori al-Ishaqy, pengasuh PP. al-Fitrah Kedinding Surabaya, membuat sebuah wadah masyarakat dengan nama “al-Khidmah” untuk menggambarkan pelayanan keummatan.

[3] Tidak heran jika Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani, ulama Palestina yang produktif berkarya itu pernah berkata, “Ibnu Mas’ud beruntung karena membawakan sandalnya manusia mulia, sedangkan aku beruntung karena khidmah kepada gambar sandalnya Rasulullah (Na’lu Rasulillah)”. Kemuliaan dan khasiat gambar sandalnya Rasulullah dijelaskan oleh Syekh Ahmad bin Muhammad al-Maqqari dalam karyanya, Fathul Muta’al.

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama