Setetes Rahmat Rasulullah saw untuk Umat Manusia

Dikisahkan dalam kitab Al-Sirah Al-Nabawiyyah, karya Ibnu Hisyam, bahwa pada suatu hari ketika delegasi Kristen Najran mendatangi Rasulullah SAW, beliau menerima mereka dimasjid. Saat itu Rasulullah sedang melaksanakan salat ashar, lalu mereka meminta izin kepada Rasulullah untuk melaksanakan kebaktian dimasjid. Kemudian beliau menjawab, “Biarkan mereka melakukan kebaktian dimasjid ini” merekapun menunaikan kebaktian sembari menghadap ketimur.

Sebuah praktik toleransi yang sulit untuk dipercaya pada era modern. Jangankan mempersilahkan orang-orang Kristen untuk melakukan kebaktian di dalam masjid, bahkan untuk sekedar masuk masjid saja masih dipertentangkan oleh Ulama, bahkan cendrung tidak diperbolehkan. Dalih-dalih antipemurtadan dan antikristenisasi masih terlihat masif digaung-gaungkan dan terdengar ditelinga. Hal seperti ini sangat jauh sekali dengan apa yang ada dalam ajaran Islam itu sendiri, dan juga yang pernah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW.

Dalam hubungan intraagama, muncul masalah serius khususnya perihal sikap saling menghormati, saling menghargai, dan menerima perbedaan. Masalah perbedaan paham agama sering kali berakhir dengan konflik sosial. Contohnya hubungan antara Sunni-Syi’ah, Asyi’ariyah- Mu’tazilah, sering kali menimbulkan pertikaian, Seolah-olah Islam hadir untuk membumikan konflik dan kekerasan.

Dan juga dalam satu dasawarsa terakhir, kekerasan yang dilakukan dengan atas nama agama merupakan fenomena yang begitu masif. Seperti halnya aksi terorisme, aksi perusakan tempat-tempat ibadah dan otoriter terhadap kelompok minoritas dalam sosial dan intraagama.

Setelah mentela’ah  lebih lanjut, masalah utama toleransi disebabkan dua faktor utama. Pertama, faktor internal, yaitu paham keagaman yang dangkal, sempit dan picik. Seperti pemuka agama dan elite politik dengan mudahnya memurtadkan atau menyesatkan kelompok tertentu. Padahal Allah SWT sudah menegaskan dalam Al-Qur’an, bahwa hanya Allah lah yang menentukan iman dan kufur seseorang. Bahkan Allah swt memberikan kebebasan untuk memilih iman dan kufur seseorang (Q.S Al-Kahfi [18],29). Kedua, faktor eksternal, seperti kelompok fundamentalis yang melakukan perlawanan terhadap modernitas dan kapitalisme global. Beberapa kelompok agama bersembunyi dibelakang jubah untuk melegitimasi kekerasan terhadap modernitas dan kapitalisme global. Dan ini menimbulkan permasalahan baru, khususnya masalah toleransi.

Baca Juga:  Tipu Daya Setan dalam Merusak Akidah: Sebuah Pengantar tentang Rencana Setan dan Fitrah Manusia

Padahal islam dibawakan oleh Rasulullah SAW, salah satunya untuk menyempurnakan agama-agama sebelumnya, seperti agama Yahudi dan Kristen. Dari sini dapat dilihat bahwa agama Islam tidak antipati terhadap agama-agama yang lain, dan membawakan prinsip toleransi. Dalam sejarah islam, toleransi telah diletakkan oleh Rasulullah SAW dengan cara mengakui eksistensi agama-agama terdahulu dan kemudian menyempurnakannya.

Rasulullah SAW pernah bersabda:

Perumpamaanku dan perumpamaan nabi-nabi terdahulu, yaitu seperti seseorang membangun rumah lalu menyempurnakan dan memperindahnya kecuali sebuah batu dibagian pojok rumah. Kemudian orang-orang mengelilingi dan mengagumi tempat tersebut. Mereka bertanya mengapa batu ini tidak diletakkan? Rasulullah SAW menjawab “Saya adalah batunya dan saya adalah penutup para nabi” (H.R Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Hadis diatas merupakan salah satu pijakan penting membangun toleransi dalam keberagamaan. Yang menarik dalam sabda Nabi Muhammad SAW tersebut, yaitu prihal sikap teologis Nabi dalam menyikapi agama-agama sebelum Islam, utamanya Kristen dan Yahudi. Agama-agama diperumpamakan ibarat sebuah rumah. Rumah tersebut sudah dibangun sekian megahnya. Dan ajaran nabi bukan untuk merusak atau menghancurkan rumah tersebut, melainkan untuk meneguhkan kembali bahwa Islam hadir kemuka bumi untuk menyempurnakan dan memperindah agama-agama sebelumnya. Nabi hadir untuk meneguhkan pesan tentang keesaan Tuhan dan Kemanusiaan.

Di Madinah, Rasulullah hidup dengan suasana keberagaman, seperti beragam agama, suku dan ras. Di kota tersebut Rasulullah menjalin hubungan persaudaraan antara seluruh penduduknya, dengan mengikat mereka semua dalam satu perjanjian Piagam Madinah. Dalam piagam tersebut semua anggota kelompok dan agama diakui eksistensinya dan dilindungi hak-haknya. Semua bebas dalam melaksanakan kepercayaan dan agamanya masing-masing, tanpa boleh diganggu gugat oleh siapapun. Dan sepakat untuk membela kota Madinah jika datang pemberontak dan serangan dari luar.

Baca Juga:  Eksistensi Manusia dalam Perspektif Pendidikan Islam dan Tasawuf

Dari praktik yang telah dicontohkan oleh Rasulullah diatas, umat Islam seharusnya dapat memperhatikan nilai toleransi yang sangat luar biasa, yang kini perlu sekiranya dipelajari dan diteladani lagi oleh semua kalangan, khususnya kalangan umat Islam itu sendiri. Umat islam harus lebih membuka mata dan belajar tentang apa yang sudah dicontohkan atau dipraktikkan oleh Rasulullah saw. Dan juga mengetahui ajaran-ajaran Islam dengan utuh sehingga menimbulkan rasa toleransi yang tinggi, hal tersebut sangat perlu sekiranya dilakukan oleh umat Islam itu sendiri, sehingga tercipta suasana sosial yang saling menghormati dan menerima perbedaan.

Wallahu A’lam. []

Ahmad Askarul Afkar
Mahasiswa S1 UIN Walisongo Semarang

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Hikmah