Keadilan merupakan suatu pembahasan yang selalu menimbulkan persoalan hingga saat ini. Persoalan ini menyangkut mengenai konsepsi keadilan itu sendiri ataupun implementasi secara praksis keadilan dalam bermasyarakat. Kedua bahasan ini selalu diulang-ulang karena dinilai cukup sulit dimengerti. Meskipun demikian tidak ada salahnya untuk senantiasa dibahas kembali dikaji ulang sehingga menemukan formula yang pas mengenai konsep keadilan dan juga implementasinya dalam kehidupan.

Perlu kita pahami, bahwasanya Tuhan menciptakan manusia adalah sebagai makhluk yang dituntut untuk bersikap adil. Bahkan sikap adil dikategorikan sebagai tugas manusia di muka bumi. Hal ini ditujukan karena adil merupakan salah satu landasan fundamental terciptanya suatu kehidupan yang damai dan sejahtera (hayyatun thoyyibatun), sehingga manusia yang tidak mampu menciptakan suatu keadilan dapat dipastikan tidak mampu juga menjalankan kehidupan dengan baik.

Setidaknya sebagai manusia yang dituntut untuk mencipatkan hayyat thoyyibat, kitaterlebih dahulu mampu untuk memahami pesan-pesan berupa perintah mengenai adil yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis nabi. Pada al-Qur’an term adil tidak hanya dinuansakan dengan kata “al-‘adl” (innallaha ya’muru bil’adli wal ihsan; QS. An-Nahl:90), melainkan juga terdapat kata “qisth” (kuunuu qowwaaminna bil qisth; QS. An-Nisa: 135), dan juga kata “wasath” (wakadzalika ja’alnaakum ummatan wasathan litakuunuu syuhadaa’a ‘alannas; QS. Al-Baqarah: 143).

Begitu pula dalam hadis nabi, nuansa keadilan juga diaspirasikan oleh nabi Muhammad kepada orang mukmin ketika menunaikan haji wada’, beliau berkata:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا ‌إِنَّ ‌رَبَّكُمْ ‌وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu. Ketauhilah tidak ada kelebihan bagi orang arab atas orang ajam (non-arab), tidak ada kelebihan bagi orang ajam atas orang arab, tidak juga bagi orang kulit berwarna atas kulit hitam dan sebaliknya, kecuali dengan takwa” (Lihat Musnad Ahmad Hadist ke 23489).

Baca Juga:  Konflik Sosial Keagamaan di Poso: Latar Belakang dan Upaya Penyelesaian Konflik

Hadis di atas memang tidak terdapat kata adil secara eksplisit, namun aspirasi Rasulullah tersebut dibangun atas dasar keadilan. Konotasi tidak ada kelebihan bagi orang yang arab dan  bukan arab serta orang kulit berwarna atas kulit hitam dan sebaliknya itu sudah mengindikasikan adil itu sendiri, yaitu sikap setara.

Pada hasilya, terma-terma adil yang terdapat dalam al-Qur’an, dan juga asiprasi hadis Rasul diatas memiliki satu nuansa yang sama dan selaras, yaitu tuntutan untuk memperlakukan sesuatu secara setara dan proporsional. Setara dalam maksud sanggup berdiri tanpa memihak. Proporsional dengan maksud menakar sesuatu secara berimbang.

Konsepsi Keadilan

Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai terma adil alangkah baiknya kita menggali kembali hasil konsepsi adil dari pemikir muslim. Karena konsepsi adil oleh sebagian pemikir muslim dimaknai secara luas dan mendalam. Sebagaimana yang diutarakan oleh Abu Qasim al-Amadi yang mengemukakan adil sebagai konsep yang menjamin atau memelihara setiap orang tanpa dipengaruhi oleh subjektifitas perasaan suka ataupun tidak, faktor keturunan, status sosial, ataupun kekuatan. Lebih lanjut beliau memaparkan bahwasanya inti dari keadilan adalah mampu menakar dengan takaran yang sama, menimbang dengan timbangan yang sama untuk mewujudkan suatu kebaikan bersama. “انّما تمضي في طريقها تكيل بمكياد للجميع وتزن بميزان واحد للجميع”(Lihat ed. Ahmad Sahal, Islam Nusantara, hlm. 316).

Sedangkan pemikir Muslim lainya yaitu Murtadla al-Muthahhari memaparkan 4 kosepsi pokok tentang adil: (Lihat Murtadla al-Muthahhari, Keadilan Ilahi, hlm. 60)

Pertama, adil dengan maksud keseimbangan. Berarti setiap manusia harus mampu eksis dengan sesuatu secara simetris. Artinya ketika seseorang menghadapi suatu persoalan, maka ia harus menyikapinya secara seimbang tidak berlebihan. Karena apabila tidak seimbang maka sudah pasti akan meghadapi kepincangan. Dengan begitu adil dengan memakai makna seimbang menghaturkan kepada pencarian ukuran dalam bentuk yang pas dan sesuai agar tidak terjadi ketimpangan.

Baca Juga:  Harlah NU di Palembang Gelar Rangkaian Halaqah: Perubahan Iklim, Reforma Agraria, hingga Perhutanan Sosial

Kedua, adil dengan maksud persamaan non deskriminasi. Maksudnya persamaan non diskriminasi adalah tidak mendiskriminasi makluk lain berdasarkan suku, ras, budaya, keanekaragaman bahasa, agama. Hal ini dikarenakan kedudukan kita sama dengan makluk ciptaan adalah sama yaitu sebagai hamba yang sama-sama diberikan otoritas untuk mewujudkan keadilan antar dengan antar sesama ciptaan.

Ketiga, keadilan dengan maksud pemberian hak kepada yang berhak. Adil dalam pengertian ini merupakan kemampuan untuk menjaga dan memelihara hak-hak setiap objek yang layak menerimanya. Imam ghozali dalam kitab ihya’ menjelaskan bahwa adil adalah ان يعطى كل ذي حقّ حقّه ‘ketika setiap pihak mendapatkan apa yang menjadi haknya” (Al-Ghozali, ihya’ ulumuddin, Juz 3, hlm. 368). Perlu ditekankan bawah setiap makhluk hidup hak-haknya harus tetap dilestarikan baik itu binatang, lingkungan, atau yang lainya karena sebagai sesama ciptaan Tuhan. Sehingga merampas hak-hak dan melanggar hak lainya merupakan suatu bentuk kezoliman dan ketidakadilan.

Keempat, adil dengan maksud pelimpahan wujud berdasarkan tingkat dan kelayakan. Dengan kata lain adil disini merupakan bentuk pelimpahan rahmat tuhan serta eksistensinya sebagai tuhan yang maha adil kepada hambanya yang siap untuk menerima pelimpahan tersebut. Hamba yang siap merupakan hamba yang mampu merenungi dan memahami adil secara kongkret, sehingga segala tindakan manusia selalu bermuara kepada keadilan.

Dengan ini konsepsi keadilan yang digagas oleh dua pemikir Muslim diatas orientasinya kepada adil dengan unsur menegakan kesetaraan, keseimbangan, serta keharmonisan agar tidak memunculkan tindakan diskriminatif.

Mewujudkan Hayyatun Thoyyibatun

Sebagaimana yang telah disinggung diatas, bahwa eksistensi manusia sebagai makhluk yang mengemban visi menegakan keadilan agar terwujudnya hayyat thayyibat (kehidupan yang baik).

Hayyatun thoyyibatun merupakan kehidupan yang diinginkan oleh sang pencipta. Meminjam istilah yang dikemukakan oleh Hamim Ilyas, hayyatun thoyyibatun merupakan kehidupan yang memenuhi tiga indikator utama, yaitu hidup yang sejahtera sejahtera-sejahteranya, damai sedamai-damainya, dan juga bahagia sebahagia-bahagianya. Hal ini berdasarkan kutipan QS. An-Nahl (16): 97 “falanuhyiyannahu hayaatan thoyyibatan”.

Baca Juga:  Konsekuensi Zina, Tak Lantas Membuat Tak Setara

Upaya untuk mewujudkan hayyat thayyibat sekiranya dapat dilaksanakan dengan mengejawentahkan konsepsi adil yang telah dikemukakan pada segala aspek bidang. Hal ini meliputi bidang hukum, ekonomi, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Sudah barang pasti untuk merealisasikan hal tersebut  harus dimulai dengan memanifestasikan konsep adil dalam diri sendiri.

Umpamanya saja dalam bidang hukum, seorang pengadil tidak boleh menilai perkara terlalu subjektif dan juga terlalu objektif. Pengadil tidak boleh melihat orang yang berperkara dari segi strata sosial. Karena pengadil harus fokus ke perkara yang menjadi permasalahan, serta mampu menggali perkara yang diadili. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah ketika beliau menolak keras meloloskan seorang perempuan dari keluarga bangsawan suku Makhzumiyah yang mencuri emas. Lalu beliau bersabda seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri maka beliau juga akan mengadilinya. Hal ini menandakan adil dihadapan hukum tidak memandang status sosial. (lihat Shohih bukhori hadis ke 4303)

Contohnya lagi dalam bidang ekonomi. Seseorang dilarang untuk praktek ihtikar (monopoli). Praktek ini harus dijauhi orang seseorang karena bertolak belakang dengan prinsip keadilan yang berupa kesenjangan sosial dan ketidakseimbangan. Praktek inijuga termasuk bentuk kezholiman karena memuat tindakan diskrimitif kepada masyarakat. Rasulullah sudah mewanti-wanti kepada umatnya untuk tidak tidak memonopoli kebutuhan pokok karena menyusahkan masyarakat.

Sudah barang tentu menegakan kesetaraan, keseimbangan, serta keharmonisan agar tidak memunculkan tindakan diskriminatif harus dilestarikan oleh setiap insan manusia. Mengingat hal tersebut merupakan asas funsamental untuk menciptakan hidup yang hayyatthoyyibat. Dengan keadilan maka sejahtera akan terealisasikan. Begitu sejahtera sudah didapatkan maka akan tercipta suatu kedamaian dalam berkehidupan. Lalu ketika kehidupanya sudah damai maka manusia akan mendapatkan kebahagaiaan baik di dunia maupun di akhirat. Inilah implikasi dari tugas manusia untuk menegakkan keadilan.

Mohammad Fauzan Ni'ami
Mohammad Fauzan Ni'ami biasa di panggil Amik. Seorang santri abadi pegiat gender dan Hukum Keluarga Islam.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini