اَلْيَقِيْنُ لا يَزُوْلُ بِااشَّكِّ
Al-Yaqiin Laa Yazulu bis Syakk
(Yakin Tidak Bisa Gugur Disebabkan Keraguan)

Kaidah tersebut merupakan salah satu dari 5 kaidah pokok yang ditetapkan oleh ahli fiqih. Adapun makna dari kaidah tersebut ialah jika sudah ada keyakinan terhadap sesuatu, maka jika ada keraguan yang muncul sesudahnya akan sesuatu tersebut tidak terhitung. Hal ini berdasar pada bahwa dasarnya keyakinan bernilai hukum lebih kuat dibandingkan dengan keraguan.

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, kita tidak pernah lepas dari yang namanya perasaan ragu-ragu. Keraguan yang sering kita temui ialah berkenaan dengan shalat, seperti keraguan apakah  wudu kita batal atau tidak, hingga lupa jumlah rakaat shalat. Adapun diantara dalil tentang kaidah ini berhubungan dengan shalat ialah:

Hadis dari Abdullah bin Zaid r.a. bahwasanya ia pernah mengadukan kepada Rasulullah SAW mengenai seseorang merasakan sesuatu dalam shalatnya. Maka Rasulullah SAW pun bersabda,

لَا يَنْصَرِفْ حَتّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحَا

“Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” (HR Bukhari no. 177).

Penerapan dari dalil tersebut adalah, apabila seseorang melaksanakan shalat dalam keadaan yakin suci karena telah berwudlu, kemudian di tengah shalat ia ragu apakah shalatnya batal atau tidak karena dia merasakan ada kentut. Maka orang tersebut harus menyelesaikan shalatnya dan tidak boleh membatalkannya. Ia telah yakin masih suci, baru kemudian keraguan akan kentut atau tidaknya muncul setelah keyakinanya.

Maka keraguannya yang muncul belakangan tidak bisa membatalkan apa yang telah diyakini sebelumnya yaitu masih suci, sehingga wudunya belum batal dan shalatnya tetap sah. Berbeda lagi jika seseorang tersebut yakin sudah berwudu, tetapi kemudian ia yakin pula telah buang air kecil, maka wudunya menjadi batal.

Kemudian dalam hadits lain, dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi bersabda,
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
“Apabila kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat maka buanglah keraguan itu, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah (sujud syahwi) dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Lalu jika ternyata shalatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim 1300).

Penerapan dari dalil tersebut adalah, apabila seseorang melaksanakan shalat ashar (4 rakaat), di tengah-tengah ia ragu apakah ia melaksanaan tiga raka’at atau sudah empat raka’at, dengan kata lain ia yakin sudah melaksanakan tiga raka’at tetapi ragu apakah sudah melaksanakan rakaat keempat atau belum.

Maka yang harus dilakukan adalah mengambil yang ia yakini dan membuang keraguannya. Yakni menganggapnya masih melaksanakan tiga raka’at, sehingga ia harus menambah satu rakaat.

Kaidah tersebut tidak hanya bisa ditetapkan dalam perihal shalat saja. Misalnya saja keraguan mengenai pelunasan hutang, masuknya waktu shalat, waktu sahur, dan lainnya. Jadi dalam kaidah ini bisa dikatakan, jika sudah terbangun keyakinan dalam hati, maka keyakinan tersebut tidak dapat dipatahkan oleh kondisi apapun, kecuali oleh keyakinan lain. (IZ)

Syndi Gabriella Ting
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini