Pesantren.id – Bulan September lalu di tanggal 30, even musik cadas Jogjarockarta Festival 2023 digelar di Stadion Kridosono Yogyakarta. Saya hadir di acara itu tapi di malam harinya saja, tanpa menonton penampilan beberapa band yang tampil sejak siang. Hari itu adalah akhir dari sebuah pekan yang sangat sibuk., jadi saya memilih istirahat saja di siang hari untuk mengumpulkan energi buat malam harinya.

Yang saya lewatkan dari siang hingga petang hari adalah band Delusive Purity, Iron Voltage dan BIP. Sementara itu yang saya tonton di malam hari ada Slank, Overkill dan Sepultura. Dari lineup yang ada, nampak corak musik yang diusung secara dominan di gelaran ini adalah genre thrash metal. Hanya BIP dan Slank saja yang berbeda dari yang lain.

Delisive Purity merupakan band tuan rumah pada hari itu, didapuk untuk membawakan lagu-lagu dari legenda musik thrash metal tanah air yaitu Rotor. Iron Voltage yang asal Bandung ini, adalah representasi generasi baru dari grup thrash metal dalam negeri. Sementara itu, Overkill mewakili thrash metal Amerika Serikat, sedang Sepultura merupakan grup bergenre sama dari negeri Brasil.

Sewaktu saya masuk ke arena, saat itu Slank sedang berada di panggung. Sesuai yang dijanjikan, ada Pay dan Bongky, dua mantan personel Slank yang saat ini tergabung dalam BIP, hadir menyertai Kaka dan kawan-kawan di tengah penampilan. Yang saya harapkan dari formasi reuni itu adalah lagu Mawar Merah yang sungguh saya gemari sekali interlude gitarnya. Cuma sayang lagu itu tidak ditampilkan. Tapi lumayan, lah, masih ada ‘Maafkanlah Aku’ yang juga cukup saya suka.

Saat Overkill naik panggung saya memilih ke pinggiran. Sesungguhnya saya tidak terlalu mengenal lagu-lagu dari grup ini. Grup ini termasuk dedengkot thrash metal di Amerika Serikat, tapi masih kalah populer dengan si empat besar yaitu Metallica, Megadeth, Slayer dan Anthrax. Sesungguhnya juga, yang paling saya suka dari aliran metal adalah yang punya jenis vokal ‘clean’ khususnya genre power metal atau prog-power metal. Untuk suara vokal yang bergemuruh, thrash metal adalah yang masih bisa saya nikmati, karena belum sampai ‘growling’. Metallica jadi favorit saya dalam genre ini, karena vokal yang masih relatif ‘clean’.

Bobby Ellsworth, si vokalis Overkill, punya warna suara nyaring melengking, jadi mungkin bukan bagian dari favorit saya. Begitu pula sebenarnya Sepultura, baik di masa Max Cavalera maupun Derrick Green, sama-sama punya gaya vokal yang bukan yang saya suka sekali. Tapi lagu-lagu Sepultura, khususnya dari masa vokalis lama, cukup popular di Indonesia dan punya deretan ‘riff’ yang sungguh mengasyikkan bagi saya. Jadi, meski saya minggir saat Overkill manggung, saya berniat mendekat lagi saat Sepultura naik nanti.

*

Bersamaan dengan raungan nomor-nomor dari Overkill, saya menemui Mas Anas Syahrul Alimi, ‘shohibul bait’ yang punya acara, untuk bersalaman dengannya. Ibarat seorang yang hadir dalam sebuah acara yang digelar oleh satu pesantren, saya mesti sowan menemui sang kiai yang punya acara.

Seperti biasa dalam gelaran musik yang ia adakan, Mas Anas tampil dengan gaya santri,pakai bawahan sarung dan tutup kepala berupa songkok hitam berhiaskan lambang Nahdlatul Ulama berwarna hijau. Saya sendiri malam itu pakai songkok hitam tapi tidak pakai sarung.

Setelah bersalaman dengan penyelenggara even, saya mengobrol dengan Kiai Kholil dari Pati yang saya panggil ‘pak dhe’. Dia adalah saudara sepupu ibu mertua saya, yang meski jauh lebih muda dari beliau tapi secara urutan keluarga berposisi lebih tua. Kiai Kholil yang satu circle kegiatan mengaji dengan Mas Anas, hadir sekeluarga, seluruhnya dengan penampilan yang sangat ‘nyantri’, tidak nampak mau nonton konser thrash metal sama sekali. Dengan sang ‘pak dhe’ ini, saya ngobrol ke sana ke mari, tentang pengajian, tentang kiai, juga tentang pengalaman-pengalaman spiritual. Sungguh epic, obrolan ala santri di tengah konser thrash metal diiringi gemuruh suara musik Overkill.

Di tengah kami mengobrol, ada seseorang menyela bertanya ke Kiai Kholil, menyampaikan pertanyaan-pertanyaan keheranan dengan kehadiran sosok seorang pak kiai di Tengah konser metal. Memang bersama Mas Anas, santri hadir di konser metal makin lama makin tidak aneh lagi. Jangankan yang nonton, yang punya acara saja tampil ‘nyantri’. Malam itu beberapa sosok lain yang satu Kumpulan pengajian dengan mas Anas juga nampak hadir. Ya tetap berkostum ala santri. Mereka memang masih merasa menjadi santri, sama-sama mengaji ke satu guru tertentu, meskipun sudah bukan seusia santri di pesantren pada umumnya.

Saya juga melihat, beberapa orang lain yang tidak saya kenal, juga nampak sarungan sekaligus songkokan. Sesungguhnya para penggemar musik cadas dari kalangan santri itu nyata adanya. Dan mereka tidak kikuk lagi tampil ala santri untuk nonton pertunjukan musik sejenis itu.

Kemudian saya beranjak menemui seorang kolega lain, biasa saya panggil Om Ulin, juga seorang santri. Cuma malam itu ia tidak berkostum santri, karena terlibat secara teknis sebagai bagian dari organizer acara khususnya bagian ticketing. Atas bantuan dia inilah, saya berhasil mendapat tiket tontonan malam itu.

Om Ulin hadir bersama istrinya sejak siang. Mereka berdua ini satu angkatan di satu pesantren dengan istri saya, yang tidak saya ajak. Selain dengan mereka berdua, saya ketemu juga dengan teman-teman Om Ulin, baik yang terlibat dalam penyelenggaraan even malam itu maupun yang tidak. Yang pasti, mereka itu berlatar belakang santri juga.

Dengan Om Ulin, saya berbincang tentang sepak terjang santri dan pemberdayaannya, masih diiringi lagu-lagu Overkill. Kami masih mengobrol tatkala di panggung sana grup ini menggelegarkan lagu pamungkasnya di malam itu, yang judulnya ‘F*** You’. Bobby Ellsworth meneriakkan frase judul lagu itu dengan kerasnya dibarengi para penonton. Di sini membicarakan soal santri, di sana meneriakkan itu, sungguh satu suasana nan aneh bin absurd.

Saat grup ini turun, saya dan Om Ulin bersiap mendekat ke panggung. Istrinya bilang tak paham thrash metal, kalau BIP dan Slank masih paham, jadi mau duduk di pinggir saja. Lalu kami mendekat ke depan panggung, bersama beberapa teman lain, meski akhirnya pecah tercerai akibat gelombang ‘moshing’.

*

Soal hubungan antara musik metal, Sepultura dan santri, saya punya cerita sendiri. Saat itu, pada masa pergantian antara dekade 1980an ke 1990an, sewaktu saya masih duduk di bangku SD, istilah metal mulai dikenal ramai di Indonesia. Sebelumnya, musik cadas lebih dikenal sebagai musik rock saja, meski pengusungnya sudah bisa dianggap sebagai beraliran metal.
Pada Festival Rock Se-Indonesia yang diselenggarakan Log Zhelebour tahun 1987, yang menjadi juara adalah band bernama Adi Metal. Sementara itu, pada festival yang sama di tahun1989, yang juara adalah Power Metal. Maka istilah metal pun makin dikenal oleh masyarakat Indonesia. Di tahun 1989 pula, terbentuk grup band Sucker Head yang dianggap sebagai pionir thrash metal di Indonesia.

Tahun 1991 menjadi penanda meledaknya penjualan album bergenre thrash metal dari Metallica, yang judul sama dengan nama grup ini, namun lebih terkenal sebagai ‘The Black Album’. Di tahun ini pula, Sepultura menelurkan album baru, ‘Arise’, yang membuatnya makin moncer di kancah global. Album ini direkam di Amerika Serikat, setelah album-album sebelumnya milik grup ini direkam di dalam negeri sendiri yaitu Brasil.

Juga di tahun 1991, grup thrash metal legendaris tanah air, Rotor, tebentuk. Istilah metal lalu dikenal sampai ke kampung-kampung. Di daerah saya, anak muda ada yang memelesetkan arti metal dalam Bahasa Jawa, mulai dari menek talang (memanjat saluran air) sampai meme bantal (menjemur bantal).

Salam metal merebak di mana-mana, tapi dengan isyarat tiga jari yaitu jempol, telunjuk dan kelingking, bukan hanya telunjuk dan kelingking ala Ronnie James Dio. Kebetulan waktu itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang nomor urutnya ketiga, hendak menghadapi Pemilu 1992. Maka PDI pun menggunakan isyarat salam metal tiga jari sebagai identitasnya.

Di tahun 1992 selepas pemilu, Sepultura hadir di Indonesia, manggung di stadion lebak Bulus Jakarta dan Tambaksari Surabaya. Metallica malah hadir belakangan di tahun 1993, tapi hanya di Lebak Bulus saja. Jadi bisa dikatakan bahwa dua grup inilah band luar negeri yang paling mempengaruhi jagad thrash metal Indonesia waktu itu dengan popularitasnya.

*

Saya sendiri saat itu belum begitu paham dengan thrash metal. Selera musik waktu itu masih mengikuti apa yang populer di media siar baik radio meupun televisi, meski secara khusus yang paling saya suka ya rock ballad atau metal ballad yang biasa orang Indonesia sebut sebagai slow rock. Kaset belum punya sendiri, masih numpang dengar ke orang lain.

Waktu itu kakak perempuan sekandung saya tertua, namanya Mbak Mud, sering pinjam kaset ke temannya sekolah di Madrasah Aliyah Negeri. Kakak saya ini, bersamaan dengan menyelesaikan madrasah formal di tingkat aliyah, juga belajar di tingkat aliyah di madrasah diniyah milik pesantren di dekat rumah. Sekolah madrasah formal sekaligus belajar di madrasah diniyah sampai sama-sama lulus di dua-duanya, tapi suka mendengarkan musik. Kaset-kaset yang dia bawa pulang waktu itu termasuk milik band Power Metal, Slank, Bon Jovi sampai Guns ‘N Roses, tapi tidak pernah ada kaset band thrash metal.

Saya baru kenal istilah thrash metal dari acara liputan musik bertajuk Trax yang disiarkan TVRI pusat Jakarta. Untuk konser Sepultura sendiri, waktu itu saya merasakan bahwa gaungnya lebih terasa dibanding konser Metallica. Mungkin karena sponsornya adalah merek rokok yang punya pasaran luas, maka poster konser Sepultura ini lebih mudah dijumpai di daerah-daerah. Konsernya pun di dua kota dan ada siarannya pula di TVRI, entah siaran langsung atau tunda saya lupa.

Petang itu saya baru selesai shalat maghrib di rumah dan tidak ada orang lain. Biasanya Bapak, Ibu dan kakak-kakak saya masih di warung kelontong kami yang ada di depan, di pinggir jalan besar. Saya biasa membaca Al Quran sendiri setelah shalat maghrib, kemudian dilanjutkan mengaji bersama Bapak yang sudah datang dari warung.

Tapi saya tahu kalau petang itu ada siaran konser sepultura di TVRI. Maka setelah shalat, dengan Al Quran sudah dipeluk tangan, saya diam-diam menyalakan televisi hitam putih kami. Sejenak saya melihat Max Cavalera tampil dengan gitar putih B.C. Rich khas miliknya. Tapi itu tidak lama, saya lalu matikan televisi kemudian memulai mendaras Al Quran sebagaimana mestinya.

Memang gelombang metal tak bisa untuk dibendung menembus lingkungan santri, khususnya menyentuh saya yang memang sudah punya kecenderungan suka dengan musik sejenis. Meski masih paham tak paham, saya merasa istilah metal itu sungguh keren waktu itu.

Saya membuat satu gambar di atas lembaran karton bungkus slop rokok. Yang saya gambar adalah tengkorak berambut gondrong memakai baret. Di bawahnya saya kasih tulisan berhuruf Arab bunyinya ‘metal al Islam’, sementara di baretnya saya beri emblem bertuliskan Allah, juga pakai huruf Arab. Setelah gambar jadi, lalu kertas saya lubangi dengan pisau cutter, untuk kemudian saya timpa dengan tinta pewarna di atas meja panjang tempat saya biasa mengaji sambil duduk bersila. Iya, meja ‘dhampar’ tempat saya mengaji dengan Bapak di rumah, mulai dari baca tulis Al Quran sampai belajar Ilmu Mantiq.

Selebihnya, saya tidak begitu paham soal musik metal waktu itu. Saya belakangan baru membeli kaset sendiri ketika sudah di bangku SMP, dimulai dengan kaset-kaset kompilasi slow rock. Baru saat di bangku SMA, saya mulai mengoleksi kaset-kaset Metallica. Grup ini jadi favorit saya di genre thrash metal karena vokal yang relatif ‘clean’ dan musik yang relatif ‘melodic’.

Sejak lama saya sudah tahu bahwa di kalangan santri memang ada penggemar musik metal. Tapi saya tahu juga kalau santri model begini bukanlah yang kebanyakan. Maka waktu itu saya sadar kalau antara santri dengan musik metal memang seakan ada jurang pembatas dua dunia berlainan. Tapi kini, tidak hanya yang nonton, tapi yang punya acara konser metal pun adalah seorang santri. Mas Anas orangnya, mengawasi jalannya konser sambil sarungan dan songkokan! Sungguh kenyataan yang dulu tak pernah terbersit sedikit pun.

*

Sepultura pun naik panggung dan saya ada di depannya. Moshing pit yang gaduh membuat saya harus minggir sedikit. Ikut terlibat di lingkaran itu jelas tidak mungkin, tapi headbanging masih bisa lah. Songkok pun saya simpan demi kenyamanan. Ada sedikit beda antara setlist malam itu dibanding yang ditampilkan sebelumnya di Singapura. Tapi nomor-nomor favorit saya dari era Max Cavalera yang ditampilkan tetap sama. Grup ini non-stop mengusung penampilannya tanpa encore, langsung dituntaskan dengan Roots Bloody Roots.

Bagi saya, grup ini meski bukan dari Amerika Serikat yang jadi pusat thrash metal, tapi justru sangat berhak membawa genre ini. Sepultura muncul di Brasil, negara dunia ketiga, yang sangat relevan dengan tema-tema anti kemapanan dan pemberontakan khas thrash metal. Max Cavalera dalam film dokumenter ‘Global Metal’ (2008) sempat bercerita tentang momen penampilannya di Indonesia tahun 1992. Baginya ada kesamaan antara Brasil, Indonesia, maupun Eropa Timur tentang relevansi kondisi kehidupan di wilayah tersebut terkait tema-tema yang diangkat oleh Sepultura.

Dalam film dokumenter ini, Max Cavalera juga menceritakan kesan tentang kerasnya pihak keamanan yang mengatur penonton waktu itu. Memang di masa Orde Baru, hadirnya negara dalam bentuk petugas keamanan dalam konser metal memang nampak mencolok. Negara memang mengambil kebijakan sangat ketat di waktu itu, seimbang dengan potensi kekerasan dari penonton yang juga besar. Ini terbukti dengan pecahnya kerusuhan di konser Metallica pada tahun 1993.

Di malam Jogjarockarta Festival 2023 lalu, Mas Anas sempat memperkenalkan sesorang kepada beberapa orang yang berada di dekatnya. Mas Anas menyebut dialah yang pertama kali mendatangkan Sepultura di Indonesia. Sosok yang diperkenalkan itu pun sempat menyinggung betapa konser metal di waktu itu sungguh punya potensi kerusuhan yang besar. Kini, orang bisa menikmati konser metal dengan potensi kerusuhan yang tak setinggi dulu, juga tanpa kehadiran aparat keamanan yang semasif dulu.

Salah satu lagu favorit saya yang ditampilkan Sepultura malam itu adalah ‘Territory’. Lagu ini mengisahkan tentang tingkah polah manusia dalam urusan kekuasaan wilayah. Video klip lagu ini juga menarik, mengambil setting konflik Arab-Israel, dengan mengambil gambar langsung di lokasi. Sungguh tidak terbayang di malam itu, konflik tanpa henti terkait territory ini kembali memanas. Seminggu setelah Jogjarockarta Festival 2023, pecahlah kembali perang di wilayah itu, yang entah akan bagaimana lagi kelanjutannya. []

Muhyidin Basroni
Alumni Universitas Al Azhar Kairo, peminat kajian sejarah dan seni-budaya Islam, kini mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini