Haflah: Antara Perayaan dan Kemaslahatan

Sekitar tahun 2000an awal, saya mulai sering main kerumah teman di malang. Tepatnya dipondok Al-Maqbul, daerah bululawang. Karena mungkin disana saya bisa sering keluar jalan-jalan ke kota, juga karena sering diajak plesiran ke tempat-tempat wisata yang ada di malang raya. Suatu kemewahan yang mungkin tidak saya dapatkan di rumah waktu itu.

Bukan hanya itu, salah satu kemewahan lain yang saya dapatkan disana adalah bisa berguru pada salah satu kiai khos yang kebetulan adalah abah dari para teman saya itu. Yaitu Allahu yarham yai muhsin maqbul. Meskipun secara resmi hanya sekali ikut mengaji yaitu waktu ngaji pasaran ramadan, namun selama bertahun-tahun sering main kesana, saya sudah menampung banyak sekali ilmu dari beliau. Dan terutama, bersumber dari putra-putri juga para santri beliau.

Salah satu ilmu yang masih saya ingat adalah sikap beliau tentang haflah. Saya pernah mendengar bahwa beliau secara pribadi pernah meminta pengurus untuk mengalihkan dana haflah untuk membeli lahan persawahan. Lahan ini diharapkan nantinya menjadi sumber dana bagi bisyaroh untuk para guru yang ngajar di pondok maqbul. Jadi teknisnya setiap tahun santri tetap membayar biaya khataman akhir tahun, namun tidak semua dana yang terkumpul itu dihabiskan untuk acara tasyakuran. Sebagian besar justru digunakan untuk membeli lahan persawahan itu.

Dan keputusan ini tidak hanya setahun dua tahun, tapi berlanjut hingga beberapa tahun.

Saya sangat menyetujui dengan sikap beliau ini, saya juga membayangkan betapa banyak manfaat yang nantinya akan didapat oleh pesantren bila kebijakan ini terus dilanjutkan. Pun bila kebijakan ini hanya berjalan sepuluh tahun, saya yakin sudah sangat banyak sekali manfaat bagi masa depan pesantren.

Baca Juga:  Menjadi Tuhan

Ketika pertama kali mendengar cerita ini, saya sangat setuju dan berharap bisa mengamalkannya nanti (bila memang oleh Allah dikehendaki untuk mengelola sebuah lembaga).

Namun ternyata apa yang saya cita-citakan itu tidak sepenuhnya bisa saya laksanakan. Dua hari lagi Assalam akan mengadakan haflah yang pertama kali sejak resmi berdiri pada tahun 2017 lalu. Meskipun masih perdana, dan belum berani mengundang banyak orang, terutama para guru dan teman-teman luar pondok, namun tetap saja menurut saya ini adalah haflah yang menyalahi garis cita-cita saya tersebut.

Bukan berarti saya tidak menyetujui acara ini. Meskipun saya sudah mengutarakan idaelisme saya, juga maksud dibaliknya. Namun keputusan tetap saya serahkan kepada para pengurus pondok, yang mana sangat mungkin itu adalah hasil musyawarah dengan para pengurus yayasan juga para santri Assalam.

Dalam setiap acara haflah seperti ini pasti dibutuhkan dana puluhan juta, atau bahkan ratusan juta untuk membiayainya. Saya melihat, jauh lebih bijak bila uang tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur pondok Assalam yang masih jauh dari ideal. Dana sebanyak itu bisa digunakan untuk membangun satu asrama dengan tiga lokal, atau untuk membangun kamar mandi dengan delapan bahkan sepuluh biliknya. Atau, bisa juga digunakan untuk membeli lahan yang bisa digunakan demi kemaslahatan Pondok Assalam dikemudian hari. Keterangan ini sudah sering saya utarakan kepada setiap pengurus baru di Assalam.

Namun sekali lagi, setiap keputusan besar pasti pada akhirnya saya kembalikan kepada mereka sebagai pengurus. Saya lebih senang membiarkan mereka mengambil keputusan bersama dan memahami konsekuensi dibaliknya.

Meskipun tidak sesuai dengan angan dan cita-cita, namun acara haflah pun menyimpan banyak manfaat baik. Salah satu maksud besarnya adalah sebagai wujud syukur atas nikmat pencapaian ngaji para santri. Yang mana dalam acara syukuran ini diharapkan terkumpul doa baik bagi mereka yang khataman, dan juga bagi para santri pondok tersebut tak terkecuali.

Baca Juga:  Berhenti Berharap

Disamping, ada salah satu budaya jawa yang tersimpan dari sebuah acara resepsi ataupun haflah seperti ini, yaitu budaya ‘ngekarne’, atau memekarkan. Diibaratkan bunga, prosesi haflah ataupun resepsi dalam pernikahan adalah usaha orang tua atau guru untuk mengusahakan agar kelak hidup sang manten atau yang di’pesta’i ini bisa mekar selayak kuntum bunga.

Saya belajar filosofi ini dari almarhumah ibuk.

Waktu itu saya ngotot tidak mau ada resepsi pernikahan.

Maret 2013 saya melaksanakan aqad nikah dilampung. Dan rencana, bulan april sebulan kemudian akan diadakan prosesi resepsi di Kwagean. Namun saya sejak awal menolak ide ini. Saya berfikir, biaya resepsi yang ratusan juta itu lebih baik digunakan untuk acara pernikahan kakak, atau adik-adik saya yang lain. Saya sungguh merasa malu, bila harus merepoti orang tua lebih lagi. Saya sudah sejak lama berfikir, menjadi anak dari bapak ibuk saya saja, sudah sangat alhamdulillah. Saya tidak ingin dan tidak bisa meminta lebih lagi. Apalagi hanya prosesi pesta pernikahan yang menghabiskan dana ratusan juta. Saya merasa malu, dan merasa tidak pantas mendapatkannya.

Tidak sekali dua kali saya menolak ide resepsi ini.

Hingga akhirnya suatu waktu ibuk mengetuk pintu kamar pribadi saya. Dan setelah saya bukakan pintu, ibuk ngendikan dengan berlinang airmata: “aku pengen ngenekne acara resepsi ki ora kerono opo-opo, aku mung pengen anak-anakku kabeh tak karne. Aku wedi, lek sampean gak tak karne dewe, sok gak iso mekar koyok lia-liane (saya ingin mengadakan pesta resepsi ini bukan karena apa-apa. Aku hanya ingin semua anak-anakku saya ‘mekar’kan. Saya takut, bila kamu tidak di’kekar’kan sendiri, nanti tidak bisa mekar seperti saudara-saudari yang lain).”

Baca Juga:  Si Alim dan Si Bahlul

Saya hanya bisa terdiam dan ikut menangis karena merasa bersalah. Dan saya matur manut saja, bila memang ibuk ngersakne ada acara resepsi. Meskipun, acaranya hanya sebatas mengundang seluruh santri kwagean putra-putri, ditambah beberapa masyarakat dan kiai sekitar yang sangat terbatas. Tidak seperti resepsi pernikahan dipondok Kwagean sebelum dan sesudahnya.

Aaaah, bila ingat momen ketika ibuk menangis didepan pintu kamar tersebut, rasanya ingin seribu kali meminta maaf lagi. Ngapuntene ibuk. (Hiks, maleh mbrebes ingat almarhumah ibuk, dan segala kasih sayangnya yang wow).

Pada akhirnya, saya hanya ingin meminta doa pangestu anda semua. Semoga acara perdana haflah Assalam lancar dan penuh barokah. Saya mohon maaf belum bisa mengundang semua orang karena segala keterbatasan yang ada, namun tetap saya mintakan doa dari semua orang untuk para santri Assalam. Terutama bagi para khotimin tahun ini.

Semoga acara haflah ini menjadi jalan bagi kemekaran ilmu dan masa depan bagi para santri Assalam, dengan lantaran doa syukur dan doa tulus dari para undangan dan para pembaca sekalian.

Saya tidak mampu membalas doa anda, selain ucapan matur sembah nuwon. Semoga Allah membalas lebih baik lagi kepada anda. []

#salamKWAGEAN

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah