Gus Dur, Mbah Hasyim, dan Politik Ikan Laut

Dunia semakin jelas terasa hambar sejak mula nisan legenda “salesman muslim terbaik” itu dipugar. Kita baru tahu bahwa selama ini canda-canda sederhana membahagiakan yang ditanam, ternyata tidak sekedar asal bebunyian. Kata-kata itu lahir dari dalamnya gejolak batin yang disimpan, ditakar, dipasrahkan. Kemudian dikeluarkan se-biasa mungkin agar tercerna tanpa gagap didengar.

Barulah sejak tiada, kita seolah berhutang pada sejarah.

Aburrahman Wahid, atau Gus Dur. Terlepas dari segala kiprah dan pemikiran super powernya sebagai rantai nahkoda Nahdlatul Ulama, presiden, cendekiawan, pun sekaligus pioner senyuman; beliau adalah individu yang mewakili kemajemukan. Pluralitas dalam pribadinya merupakan hasil dan bentuk dari proses panjang harian yang ditempuhnya secara masuk akal sebagai manusia biasa.

Hal-hal di luar kebiasaan yang biasa kita tangkap dari beliau adalah semata kredit poin dari puncak prosesnya dalam memaksimalkan aset takdir diri kala menunaikan tsunami kehidupan. Kita? Bisa juga. Asal tahu tujuannya dan tahu caranya.

Semua lini agama mengatur pola syiar ajaran yang harus diestafetkan dari generasi ke generasi, termasuk Islam sendiri dengan konsep unggulnya “bi al hikmah wa al mau’idhotu al hasanah” (dengan hikmah, santun dan ramah), jauh dari amarah, propaganda, paksa serta hal-hal bengis lainnya. Konsep ini merupakan dasar pijakan bagi seluruh pejuang muslim yang memiliki hirroh memperkenalkan Islam dalam wujudnya sebagai rahmatan lil alamin.

Islam adalah bejana besar yang di dalamnya penuh cinta kasih dan keramahan, yang airnya bisa digunakan untuk membasuh muka siapa saja yang sedang kekeringan. Bisa diminum siapa saja yang sedang kehausan. Bejana itu tak pernah memaksa siapapun penikmat airnya untuk tinggal dan berenang. Airnya menjelma nilai, yang memberi hirup kesegaran bagi yang membutuhkan kesejukan. Se-semesta alam.

Baca Juga:  Kepada Para Pembencinya, Gus Dur Bilang "Gitu Saja Kok Repot!"

Pola ini lah yang menjadi muasal lahirnya kata “politik” dalam kamus peristilahan. Sebuah upaya dan strategi yang mengatur langkah menuju kebermanfaatan; kemaslahatan tanpa tebang pilih bingkai. Bagaimanapun, romantisme bumi harus dijaga para penduduknya.

Akan menjadi tumpang tindih ketika global purpose yang menjadi visi bumi tidak disejalankan dengan pejalan parsialnya. Bahkan diimplisitkan menjadi kejayaan-kejayaan minor yang berceceran dan berserakan. Bagaimana mungkin bisa membangun istana megah bersama, sementara mobil-mobil yang mengusung meterialnya banyak memilih mampir pulang untuk ‘nempil genteng’ menambal kebocoran rumahnya masing-masing yang semestinya tidak menggunakan material hak pembangunan istana megah yang direncanakan. Jika itu terjadi, mobil-mobil itu akan sampai di titik pembangunan istana dengan bahan material yang tidak sempurna.

KH. Hasyim Asy’ari, kakek dari Gus Dur – telah turut merakit pundi-pundi semangat menuju global purpose tersebut jauh sebelum kita yang hari ini ‘semestinya’ tinggal menikmatinya. Bersama-bersama.

Gus Dur memperjuangkan hal itu selama hidupnya. Bagaimana ayat keberbedaan yang menjadi ketetapan dari Tuhan berhasil diterjemahkan secara ampuh dalam bentuk sikap dan kepribadian. Proses itu tidak dilalui secara singkat.

Kita saja yang ujug-ujug mengenal beliau karena bentuknya sudah jadi. Kita jarang bertafakkur, bagaimana proses Gus Dur membentuk (dibentuk) pribadinya sebelum menjadi bentuk itu sendiri. Sekali lagi, pluralis adalah bentuk final kepribadian yang memuat nilai. Bukan bentuk yang dilahirkan secara ladunni tanpa sebab. Pluralis dalam bentuk Gus Dur bukan sebatas hadiah istilah yang tiba-tiba.

Tarjuu an najaata wa lam tasluk masaalikaha # inna as safiinata lam tajri ala al yabas” (engkau mengharapkan tujuan “keberhasilan” namun tak kau tempuh jalan upaya menujunya # “ketahuilah” bahwa sesungguhnya kapal tak bisa berlayar di daratan).

Baca Juga:  Ngaji Kitab Al-Akhlaq Aristoteles Eticha Nicomachea (1)

Kalimat ini sesuai dengan amanat Sayyidina Ali RA dalam Kitab Ayyuhal Walad-nya Imam Ghozali,

قال علي رضي الله عنه : من ظن أنه بدون الجهد يصل فهو متمن

“Barangsiapa menyangka bahwa tanpa berusaha ia akan sampai kepada tujuannya, maka ia adalah pemimpi (orang yang menginginkan hal mustahil/ber-tamanni)

Fokus terhadap tujuan memang penting. Namun yang lebih penting dari itu adalah melakukan hal-hal manusiawi yang masuk akal secara maksimal menuju titik yang menjadi tujuan. Dari itu, Allah menciptakan Islam sebagai jalan sebelum pungkas tujuannya adalah keridhoan. Dari itu, Mbah Hasyim dkk merumuskan Pancasila sebagai landasan sebelum kita dipersilahkan bermimpi seenaknya tentang kenikmatan-kenikmatan dalam berkemerdekaan. Bukankah Syekh Hasan pernah mencambuk kesadaran kita bahwa bermimpi ingin masuk surga tapi tanpa mau melakukan apa-apa adalah dosa ?

“Lihatlah ikan yang hidup di dalam laut. Selagi ikan itu hidup, mereka bebas berenang kemanapun bagaimanapun tanpa harus terjangkit timpaan asinnya air laut. Namun ikan itu akan ikut asin, ketika ia mati di dalam air laut”. Kurang lebih demikian yang pernah diwariskan Hadratus Syaikh kepada cucunya, Gus Dur.

Ikan-ikan itu adalah kita semua. Lautan dan air asinnya tak lain adalah Indonesia dengan segala carut marutnya. Hidup yang dimaksud adalah kewarasan, kesehatan berpikir yang mengarahkan pada implementasi ahlaq dalam segala hal. Mati yang asin, adalah ketiadaan ihtiyar berbenah dan pasrah begitu saja melibatkan diri dalam carut marutnya keadaan.

Satu hal yang jarang kita teladani, sebelum Gus Dur kita kenal sebagai sosok pluralis besar, beliau itu NGAJI !

Salam !
Ternyata kalimat “GITU SAJA KOK REPOT” masih terlalu repot untuk kita pahami bersama, Gus… [HW]

Dzihan Zahriz Zaman
Alumnus PP Langitan Widang, PP Al Aziziyah Denanyar Jombang, PP Miftahul Huda Gading Pesantren Malang, PP Al Mahir Riyadl Kediri, S1 UM Malang, dan S2 UNISDA Lamongan.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama