Kemarin secara tak sengaja saya menemukan video ceramah  KH Bahauddin Nur Salim atau yang biasa disapa Gus Baha di Kudus, 14 Juli 2020. Dalam pada itu, ada cerita menarik dari ulama yang hafal Al-Quran 30 juz ini.

Ketika puncak pertentangan Nabi Ibrahim as dengan Raja Namrud tentang ketuhanan, ia akan dihukum dengan cara dibakar hidup-hidup. Singkat cerita, kayu bakar yang banyak telah disiapkan. Api telah dinyalakan dan berkobar-kobar. Saking besar dan panas apinya, pengawal yang akan melempar “Bapak Agama Samawi” ini sampai kuwalahan. Akhirnya dibikinlah manjanik, yaitu pelontar, semacam ketapel besar. Kata Gus Baha, ide ini datang dari Iblis.

Dengan manjanik itulah, jasad Nabi Ibrahim dilemparkan ke gunung api yang menyala-nyala, berkobar-kobar. Sebagaimana kita tahu bersama, kemudian Nabi Ibrahim diselamatkan oleh Tuhan: apinya menjadi dingin, tidak membakarnya.

Namun bukan di situ titik fokus kita kali ini. Sebagaimana diceritakan Gus Baha, ada dua hewan yang terlibat di situ: katak dan cicak. Di sinilah yang menarik dan patut kita ambil pelajaran.

Melihat Nabi Ibrahim yang dilempar ke api itu, si katak lalu-lalang berusaha membantunya. Ia mengambil air dan berusaha memadamkan api yang menyala-nyala. Melalui mulut kecilnya, ia menyemprotkan air ke dalam api. Tapi, sebagaimana kita duga bersama, usaha si katak tetaplah sia-sia: api tetap berkobar dan tak padam.

Bagaimana mungkin sedikit air dari mulut katak bisa memadamkan api sebesar itu. Namun Nabi Ibrahim mengapresiasi atas komitmen katak dalam membelanya, meski tak ngefek sama sekali.

Hal ini berbeda dengan cicak. Ia malah justru meniup-niup api agar lebih besar menyala dengan mulut kecilnya. Dan sebagaimana logika kita pun, usaha si cicak sia-sia. Dengan tiupannya, api tak menjadi besar atau mengecil. Artinya: usahanya sia-sia, tak ngefek sama sekali.

Baca Juga:  Kitab Mafatih Al-'Ulum: Al-Khawarizmi (2)

Maka dalam sejarahnya, beberapa riwayat menginformasikan bahwa Sayyidah Aisyah ra pernah menembaki cicak dengan alat zaman itu, untuk mengimplementasikan bahwa cicak itu memang hewan yang tidak benar.

Namun demikian, dari kedua cerita itu, kita menjadi tahu poin pentingnya. Yaitu dari mana titik pijak kedua hewan tersebut. Berpihak ke manakah perjuangan yang mereka lakukan. Si katak berpihak kepada Nabi Ibrahim, dan si cicak berpihak kepada Fir’aun. Meski apa yang keduanya lakukan tak ngefek sama sekali, tapi spirit dan nilai pembelaan menjadi penting dalam sebuah perjuangan.

Gus Baha memberi contoh. Jika ada orang mengejek kita dengan meludahi dari jarak 10 meter, meski ludah itu tak sampai atau mengenai kita, apakah itu membuat marah? Jelas hal itu membuat kita marah. Jadi bukan pada golnya, tetapi pada dari mana titik pijak, komitmen dan orientasi itu dimulai.

Walhasil, dari sini kita belajar, bahwa dalam perspektif agama, perjuangan yang kita lakukan dalam hidup ini sesungguhnya ditentukan bukan oleh hasil akhir, tetapi juga titik pijak dan titik pihak kita terhadap segala sesuatu. Dalam artian, Tuhan tidak menilai kita apakah nanti berhasil atau tidak, menang atau tidak, tetapi apakah kita berjuang membela nilai-nilai kebenaran atau tidak.

Itulah sekelumit kisah yang saya tangkap dari apa yang diceritakan Gus Baha dan saya uraikan secara bebas. Saya kira ini menjadi penting untuk terus menjaga spirit dan energi kita dalam memperjuangkan suatu kebenaran atau cita-cita yang kita yakini. Karena semenjak itu, kata Gus Baha, fikih menyimpulkan: berkontribusi itu tidak harus menyelesaikan masalah.

Jangan lupa untuk menyeruput kopi dan tetap senyum, bahagia dan santuy  dalam menjalani hari demi hari. Semoga bermanfaat. [HW]

Rekomendasi

3 Comments

  1. […] dan tetap dengan gaya dan budaya Jawa. KH. Baha’uddin Nur Salim atau lebih dikenal dengan Gus Baha yang memiliki muhibbin baik di Indonesia maupun luar negeri, menyampaikan keilmuan Islam yang […]

  2. […] Bahauddin, yang akrab dipanggil Gus Baha dalam ceramahnya, menceritakan kisah nabi Musa yang membuat pengumuman, siapa hari ini yang bisa […]

  3. […] Ada orang miskin tapi tidak menjadikan masalah dengan kemiskinannya, bahwa ia menjadikan syukur atas kemiskinannya (setelah berusaha). Ada orang […]

Tinggalkan Komentar

More in Hikmah