Lasminingrat lahir pada tahun 1843 dalam keluarga menak—sebutan untuk golongan bangsawan dalam kebudayaan Sunda, yakni dari pasangan Raden Haji Muhammad Musa dan Raden Ayu Ria. Tumbuh dan dibesarkan sebagai keturunan terhormat, menjadikan sebutan “Raden Ayu” pun disematkan dalam panggilan dan nama atas dirinya.
Datang dari keluarga terpandang, tidak menjadikan Ayah Lasminingrat mendidik anak-anaknya secara otoriter, termasuk kepada Lasminingrat, anak perempuannya. Hal ini nampak dari keputusan Muhammad Musa untuk memasukkan Lasminingrat ke sekolah Eropa (Belanda) yang mana pada saat itu tergolong sebagai lembaga pendidikan progresif. Di sana, Lasminingrat mendapatkan banyak ilmu yang cenderung lebih beragam serta informasi terkini mengenai kondisi dunia, salah satu di antaranya seperti persiapan perang dunia ke-1.
Karakter Muhammad Musa yang gemar menulis dan membaca, juga diturunkan kepada Lasminingrat yang selanjutnya banyak berkiprah dalam dunia pendidikan dan kepengarangan. Keahlian Lasminingrat dalam menguasai tujuh bahasa (Sunda, Jawa, Melayu, Arab, Belanda, Inggris dan Perancis), menjadikan Lasminingrat juga berperan dalam pengalihbahasaan literatur asing untuk dikonsumsi secara masif oleh masyarakat Garut pada saat itu.
Buku Tjarita Erman (1875) merupakan buku alih bahasa karya Lasminingrat dari Christoph von Schmid. Karya ini dicetak sebanyak lebih dari 6000 eksemplar yang juga dicetak ulang ke dalam bahasa Jawad, Latin dan Melayu pada tahun 1900-an.
Karya lainnya adalah buku berjudul Warnasari atau Roepa-roepa Dongeng Jilid I (1876) dan Jilid II (1887) merupakan buku terjemahan dari beberapa dongeng Eropa. Di antaranya adalah Vertelsels uit het wonderland voor kinderen yang ditulis oleh Marchen von Grimm dan JAA Goeverneur. Menariknya, Lasminingrat tidak hanya merubah bahasa, namun juga menyelipkan komentar maupun gagasannya terkait isi dongeng baik di akhir maupun di awal bagian teks dari setiap karyanya.
Penggagas Sekolah Khusus Perempuan di Garut
Seiring beranjak dewasanya usia Lasminingrat, sosoknya tidak redup ketika beralih peran menjadi seorang istri. ia tetap berdaya dengan didukung oleh suaminya yakni Raden Tamtu—putra Bupati Sumedang. Namun, kebersamaannya dengan Raden Tamtu tidak bertahan lama, karena Raden Tamtu meninggal dunia. Hingga akhirnya, Lasminingrat dipersunting oleh Raden Adipati Wira Tanu Datar VII, yang pada tahun 1871 menjadi Gubernur Kabupaten Limbangan (tahun 1913 berubah nama menjadi Kabupaten Garut).
Menjadi istri dari seorang bupati—sama halnya ketika Lasminingrat masih berperan sebagai anak dari ayahnya, tidak menjadikan Lasminingrat besar kepala dan semena-mena. Justru, priviledge ini digunakan oleh Lasminingrat untuk dapat membantu kaum somah—sebutan dalam bahasa Sunda untuk rakyat biasa—dalam mendapatkan akses pendidikan dan pengetahuan. Salah satunya diimplementasikan melalui didirikannya Sakola Kautamaan Istri atau sekolah khusus perempuan.
Berdasarkan rekam sejarah, pelopor sekolah khusus perempuan apabila dirunut dari kisah asal-muasalnya, mayoritas akan berakar pada Dewi Sartika. Nyatanya, ketika Dewi Sartika ingin mendirikan sekolah dengan nama yang sama di Bandung, ia meminta bantuan kepada Lasminingrat melaluinya anaknya—Raden Ayu Mojaningrat—untuk meminta izin kepada Martanegara yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bandung dan tidak lain adalah saudara ipar dari Lasminingrat. Karenanya, sekolah yang diperuntukan bagi kaum perempuan pun didirikan di depan pendopo oleh Dewi Sartika pada 1903 dengan nama Sakola Gadis.
Singkat cerita, pada 1907 Lasminingrat pun mendirikan sekolah yang sama dengan nama Sakola Kautamaan Istri, hingga Dewi Sartika merubah dengan nama yang sama dari Sakola Gadis menjadi Sakola Kautamaan Istri. Karenanya, terlihat jasa dari Lasminingrat dalam hal penamaan sekolah.
Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Lasminingrat awalnya berbentuk kelompok belajar dalam jumlah sedikit, di ruang gamelan tepat di depan gedung Pendopo. Lasminingrat mengajak kerabatnya sesama menak dari Limbangan sebagai murid-murid pertamanya.
Sakola Kautamaan Istri sempat berganti nama menjadi Sekolah Rakyat (SR) yang juga mulai menerima murid laki-laki. Hingga pada tahun 1950, sekolah tersebut pun dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudaan Kabupaten Garut dan dirubah dengan nama SDN Ranggalawe I dan IV. Berselang empat puluh tahun setelahnya, yakni sekitar tahun 1990-an, sekolah yang digagas oleh Lasminingrat tersebut ditetapkan menjadi SDN Regol VII dan X hingga hari ini.
Perempuan pada saat itu, masih terkungkung oleh tradisi tentang perempuan yang “terbelakang dan lemah”. Namun, tidak dengan pola pikir yang dimiliki Lasminingrat. Ia telah melangkah jauh dan berusaha menepis budaya setempat yang sangat memarginalkan kaum perempuan. Sebab itu, berbagai upaya ia lakukan untuk dapat memberdayakan kaum perempuan meskipun masih dalam skala wilayah.
Jasa Lasminingrat memang pantas untuk disebut sebagai sebuah upaya dari seorang pahlawan nasional dari Sunda dan pelopor emansipasi wanita pertama. Sayangnya, data mengenai bukti perjuangannya tidak banyak ditemukan. Lasminingrat meninggal pada tahun 1948 ketika usia 105 tahun dan dimakamkan tepat di belakang Masjid Agung Garut di Komplek Pemakaman Keluarga Raden Haji Moehamad Moesa. []
Sumber :
Buku Deddy Effendy, Raden Ajoe Lasminingrat 1848-1948 (2011)
Buku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut, Profil Tokoh Garut: Mereka yang Mengharumkan Garut (2017)